Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kaprah

13 Juni 2023   01:13 Diperbarui: 13 Juni 2023   07:42 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sejak puluhan tahun yang lalu terjadi perbedaan pandangan di antara aliran-aliran linguistik dunia terutama ihwal relativitas bahasa dan universalitas bahasa. Yang pertama memandang bahasa berkaitan dengan pola pikir dan budaya. Kelompok ini berkembang dalam pragmatik, sosiolinguistik, dan etnolingustik. Yang kedua mendekati bahasa lepas dari masyarakat dan budayanya. Sesuai dengan kasusnya, tulisan ini hanya membincangkan bahasa dalam konteks pertama," papar Yanwardi.

Budaya bisa memengaruhi bahasa, menurut Yanwardi, tampak dalam sistem kata ganti orang (pronomina persona) bahasa Indonesia dan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa dan Sunda. 

"Bahasa Indonesia bisa menggunakan nomina kekerabatan dan nama diri untuk menggantikan orang kedua, bahkan orang pertama, sementara bahasa Inggris tidak. Umpamanya, nomina kekerabatan seperti adik, kakak, dan bapak dipakai untuk orang kedua: ”Alamat Adik di mana?” atau ”Bapak berasal dari mana?” Bahkan, nama diri sering digunakan sebagai kata ganti orang pertama. Biasanya ini dilakukan ketika seseorang berkomunikasi dengan orang yang lebih tua (dihormati). Ketika seorang anak bernama Budi berbicara kepada ibunya, dia memanfaatkan namanya menjadi orang pertama: 

”Budi sudah makan, Bu.” Gejala itu jelas dipengaruhi budaya kita yang lebih mementingkan kolektivitas, penghormatan, kedekatan persona, alih-alih individualitas dan aspek egaliter sebagaimana dalam masyarakat berbahasa Inggris," lanjut editor Yayasan Obor ini. "Dasar inilah yang juga memunculkan "Siapa namamu?" pada masyarakat penutur bahasa Indonesia. Kita lebih mengutamakan persona, yaitu pemilik nama, untuk menjaga kedekatan hubungan atau keakraban di antara peserta komunikasi."

Kekaprahan yang lahir dari kesepakatan yang maksudkan di awal tulisan adalah budaya yang dimaksudkan oleh Yanwardi. Hanya saja, di lain pihak, bahasa pun pada gilirannya memengaruhi budaya. Adalah Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang pada awal abad ke-20 melakukan penelitian dan pengamatan. Mereka tertarik untuk memahami hubungan antara bahasa dan pemikiran manusia serta bagaimana bahasa mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan dunia.

Edward Sapir, seorang ahli bahasa Amerika, percaya bahwa bahasa mencerminkan pemikiran dan budaya seseorang. Ia menekankan pentingnya studi bahasa dalam memahami kehidupan manusia dan kompleksitas budaya mereka. Benjamin Lee Whorf, seorang insinyur dan ahli bahasa yang belajar di bawah bimbingan Sapir, mengembangkan dan menguraikan lebih lanjut gagasan-gagasan yang diajukan oleh Sapir.

Whorf mengamati perbedaan antara struktur bahasa asli Hopi dengan bahasa Inggris yang dia pelajari. Ia percaya bahwa perbedaan struktur bahasa ini mempengaruhi cara berpikir dan persepsi masyarakat Hopi terhadap waktu, ruang, dan realitas. Whorf mengemukakan bahwa bahasa Hopi memiliki konsep waktu yang berbeda dengan bahasa Inggris, yang memengaruhi cara pandang dan interpretasi dunia oleh masyarakat Hopi.

Penelitian dan pengamatan ini membawa Sapir dan Whorf untuk mengembangkan hipotesis Sapir-Whorf. Mereka berpendapat bahwa bahasa yang kita gunakan tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan pemikiran, tetapi juga membentuk cara kita berpikir. Melalui bahasa, kita mempelajari kategori pemikiran, pola pikir, dan cara memahami dunia di sekitar kita. 

Sederhananya dengan mengubah pertanyaan "siapa namamu" menjadi "apa namamu" implikasinya akan mengubah pola pikir, cara pandang dan pemahaman kita tentang dunia sekitar kita---yang dengan kata lain, budaya kita. Terasa sekali benarnya perkataan bahwa bahasa adalah jati diri bangsa. 

Kesalahkaprahan

Kekaprahan dalam satu bahasa merupakan hasil dari kesepakatan penutur aslinya lahir dari budaya yang melingkupinya. Hal ini merupakan karakter kebahasaan dan tidak untuk dibandingkan antara yang satu dengan lainnya. Bahasa-bahasa itu laksana kembang di taman ditumbuhi aneka ragam bebungaan. Kesemuanya indah sesuai kodratnya. Bila kita memaksakan indahnya mawar kepada melati atau kepada yang lainnya, maka baru timbul kejanggalan. Pun demikian dengan bahasa. Saat kita menyerap satu kata, ungkapan atau kalimat dari bahasa lain secara serampangan, kesalahkaprahan pun timbul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun