Lalu bagaimana cara anak-anak kita yang 'terkendala' menuju baiknya?
Cara Pandang (kepada) Sekolah
Setidaknya ada beberapa cara pandang dalam menyikapi keadaan ini. Pertama, sekolah harus membuka diri bahwa 'kesalahan' boleh terjadi di dalamnya. 'Kesalahan' tidak akan merenggut kernimalaannya. Sekolah tidak boleh lagi takut dicap gagal saat sebuah 'kesalahan' terjadi dalam proses pembelajaran peserta didiknya. Proses yang inspiratif, pembelajaran yang bermakna dan jauh dari kepalsuan merupakan asupan yang sangat bernutrisi bagi peserta didiknya. Proses ini serupa vaksinasi yang memberikan imunitas kepada peserta didik saat di dalam dan di luar sekolahnya, bahkan saat mereka lepas dari sekolah. Inilah proses yang dalam kata-kata Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara sebagai “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”.
Kedua, sekolah harus menerima kenyataan bahwa ia bukanlah satu-satunya lembaga pembentuk nilai-nilai. Ia harus mulai berbagi posisi penting ini dengan format 'sekolah-sekolah' alternatif lainnya bagi peserta didik yang terkendala akut mengikuti pendidikan di sekolah. Sejak tujuan dari sekolah adalah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”, maka baik sekolah maupun 'sekolah-sekolah' lainnya harus bersinergi fokus pada tujuan ini. Pendidikan, bahkan pengajaran, bukan lagi monopoli sekolah. Kembali bila mengutip perkataan Ki Hadjar Dewantara "setiap orang (bisa menjadi) guru, dan setiap rumah (bisa menjadi) sekolah."
Ketiga, dari kutipan di akhir paragraf sebelumnya — bahwa setiap rumah bisa menjadi sekolah, kita segera menemukan poin utama dari cara pandang ketiga ini: peran orang tua. Tidak sedikit di antara orang tua yang secara fatalistik menyerahkan urusan pendidikan kepada sekolah. Ini adalah sikap berlepas-tangan yang sangat keliru. Sikap seperti ini menjadikan anak-anak kita 'berkepribadian ganda'. Mereka hidup setidaknya di dua sistem nilai yang seringkali bersebarangan. Sistem nilai yang dialami di rumah dan di sekolah. Belum lagi bila kita memasukkan sistem nilai di lingkungan sekitar rumah dan sekolah. Keadaan ini memupuk subur sikap pura-pura, pragmatis bahkan munafik. Di luar apa yang kita bicara ini, cara pandang orang tua bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan, belum lagi turunannya seperti negeri versus swasta, sekolah unggulan dan non-unggulan dan banyak lagi, memperparah keadaan. Anak yang terpaksa harus dipindahkan ke sekolah lain atau ke lembangan pendidikan lainnya, seringkali dipandang sebagai anak-anak gagal, memalukan dan perlu dihukum. Anak-anak kita terhimpit dari berbagai arah.
Keempat, pemerintah sebagai pemangku kebijakan juga harus berpihak kepada sekolah. Sekolah tidak boleh lagi sebatas pabrik pendidikan. Segenap perhatian mesti dikerahkan agar pemberdayaan sekolah berjalan sesuai haluannya. Adalah tugas utama pemerintah menghilangkan feodalisme dalam persekolahan berupa sekolah unggulan dan non-unggulan. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan sekolah alternatif bagi anak-anak yang tidak bisa berkembang secara optimal dalam lembaga persekolahan konvensional. Hegemoni sekolah atas dunia pendidikan sudah saatnya dihapuskan dengan tanpa menggembosi peran sekolah itu sendiri. Kondisi ini akan membuat akses pendidikan terbuka lebar bagi setiap anak sesuai dengan masing-masing karakternya. Pendidikan seharusnya menumbuhkembangkan bukannya menyeragamkan.
Inilah barangkali cara pandang yang harus dikembangkan. Bila sekolah hanya menerima peserta didiknya yang baik-baik saja, lalu sebagaimana lazim terjadi, men-drop out mereka yang tidak memenuhi kualifikasinya. Maka, sekolah secara tidak sadar tengah mencetak musuh-musuhnya di sekeliling benteng pertahanannya. Dari waktu ke waktu, seiring bertambahnya siswa 'apkiran', lingkungan sekolah pun dikepung polutan pendidikan. Dalam batas tertentu akan tiba saat di mana benteng pertahanan sekolah akan roboh. Bukan mustahil citra agung yang disandang sekolah pun akan luruh. Judul novel A.A. Navis boleh jadi akan mengilhami seorang penulis untuk menovelkannya menjadi: Robohnya Sekolah Kami.
Mendidik dengan Cinta
Boleh jadi saya terlalu pesimistis dan terkesan menggambarkan sebuah school apocalypse. Anggap saja saya begitu. Bukankah setiap apocalypse (penyingkapan) disertai sosok juru selamat?
Adalah cinta sang juru selamat tersebut. “When a child walks in the room, your child or anybody else’s child, do your eyes light up? That’s what they’re looking for,” ungkap Toni Morisson. Ternyata, binar mata kita sangat berarti bagi anak didik kita. Hal kecil yang sangat menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sejak mata adalah jendela hati, maka binaran yang terpancar di mata mencerminkan isi di kedalaman hati. Cintalah yang harus membinar di mata para pendidik. Bayangkan bila kelas-kelas dipenuhi binaran mata pendidik dan peserta didiknya. Sungguh kelas-kelas yang begitu menjanjikan.
"As educators, the more we know about ‘who’ we teach, the more effective we will be with ‘what’ we teach. Taking time to get to know our students isn’t ‘fluff’ time, it’s academic time," ungkap Justin Tarte. Sebagai pendidik, menurut Tarte, semakin banyak kita tahu tentang 'siapa' yang kita ajar, maka semakin efektif pula kita mengajarkan 'apa' yang kita ajarkan. Meluangkan waktu untuk mengenal murid-murid kita bukanlah waktu sekedar untuk bersenang-senang, ini adalah waktu akademis. Sulit membayangkan apa yang Tarte katakan bisa terjadi bila tidak ada cinta dalam proses pendidikan. Ini merupakan bagian dari mendidik dengan cinta.