Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abu Nuwas: Jenius Sekaligus Jenaka

19 Mei 2023   13:29 Diperbarui: 20 Mei 2023   12:52 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku Abu Nuwas karya Salim Syamsuddin https://maktbah.net

Sebuah Pengantar

Tulisan sebelum ini, Abu Nuwas: Sufi Nyentrik dan Kontroversial, saya tulis tanpa menyertakan satu pun kisah jenaka khas Abu Nuwas. Hal itu sengaja dilakukan agar kita bisa fokus pada sisi serius dan kontroversi seputar sosok nyentrik sufi yang dikenal luas pertaubatannya. 

Saya hanya akan mengambil kisah jenaka Abu Nuwas dari buku yang disusun oleh Salim Syamsuddin dengan judul Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi  terbitan Al-Maktabah Al-'Ashriyah, Beirut.

"Ketika saya (Salim Syamsuddin) membaca beberapa buku tentang Abu Nawas, ternyata sebagian besar dari buku-buku tersebut perlu dibaca dengan cermat untuk membersihkannya dari beberapa kesalahan yang dapat mengurangi nilai sastra dan seni mereka jika dibiarkan apa adanya. Untuk itu diperlukan koreksi, substitusi, pengaturan modulasi dan penyesuaian kosakata dan penjelasan makna. 

Dan untuk membantu para pembaca Abu Nawas, dan untuk menunaikan tugas sesuai harapan, adalah dianggap perlu dan adalah tanggung jawab saya untuk memilih anekdot terindah, anekdot terlucu, dan puisi termanis setelah memastikan kebenaran ungkapan serta hakikat maknanya. 

Ini bukan hanya pilihan, tetapi juga cara untuk mengoreksi apa yang disebutkan dalam puisinya, dan karya saya tidak terbatas pada itu. Kesalahan dalam tata bahasa, i'rab dan pengejaan yang terjadi dalam edisi sebelumnya yang disebabkan oleh kurangnya konsentrasi dalam dalam pemilihan kosakata puisinya, gaya bahasanya dan kreativitasnya," tulis Syamsuddin dalam pengantar bukunya.

Apa yang maksud oleh Syamsuddin tadi adalah beredarnya kisah-kisah palsu seputar Abu Nawas dan Harun Al-Rasyid. Salah satu sumbernya adalah kisah Seribu Satu Malam atau Alfu Lailatin wa Lailah. Syaikh Shalih Fauzan, sebagaimana dikutip Kisah Muslim, saat ditanya  tentang kedudukan buku tersebut menjawab: "Ini adalah kedustaan dan tuduhan yang dihembuskan ke dalam sejarah Islam. Buku Alfu Lailatin wa Lailah adalah sebuah buku yang tidak boleh dijadikan sandaran. Tidak selayaknya seorang muslim menyia-nyiakan waktunya untuk menelaah buku tersebut. Harun Al Rasyid dikenal sebagai orang yang Shalih dan istiqomah dalam agamanya, serta sungguh-sungguh dan bagus dalam mengatur masyarakatnya. Beliau satu tahun menunaikan haji dan tahun berikutnya berjihad. Ini adalah sebuah kedustaan yang terdapat ke dalam buku ini. Tidak layak bagi seorang muslim untuk membaca buku kecuali yang ada faidahnya, seperti buku sejarah yang terpercaya, buku tafsir, hadis, fiqih, dan aqidah yang dengannya seorang muslim akan bisa mengetahui urusan agamanya. Adapun buku yang tidak berharga, tidak selayaknya seorang muslim terutama penuntut ilmu menyia-nyiakan waktunya dengan membaca buku seperti itu."

Sangat boleh jadi kisah-kisah yang terlalu aneh dan musykil seputar Abu Nawas berasal dari wiracarita yang dibukukan tersebut. Berikut saya coba sajikan beberapa kisah dari Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi namun saya sadur secara bebas dengan penghalusan redaksi atas beberapa pertimbangan.

Perkataan Malam Terhapus Siang

Suatu malam, Harun Al-Rasyid (766-809), Khalifah ke-5 dalam dinasti Abbasiyah, susah tidur lalu memutuskan untuk berkeliling di istananya. Tanpa sengaja ia memergoki sahaya perempuannya yang sangat cantik tengah mabuk berlenggak-lenggok (sementara menurut Gus Baha, sahaya perempuan tadi tengah mandi). Sang raja terpesona akan kecantikannya dan mendekatinya, namun si sahaya tadi menjauh. Jinak-jinak merpati. Sang raja meminta sesuatu kepadanya, dan ia mengiyakan disertai janji, "Besok pagi saya akan memenuhinya, wahai Amirul Mu'minin," – meninggalkan sang raja yang terpaku dalam pesona itu di sepanjang sisa malam.

Keesokan paginya, sang raja memanggil sahaya tersebut dan menagih janjinya. Namun sungguh tidak dinyana, ia menjawab: "Wahai Amirul Mu'min janji itu diucapkan saat malam, wa kalaamul-laili yamhuhun-nahaar (perkataan malam terhapus siang)." 

Untuk kedua kalinya sang raja dibuat terpesona. Kali ini, oleh kecerdikan si sahaya perempuan. Maka sang raja mengumpulkan para penyair istana dan menantang mereka untuk membuatkan syair yang diakhiri dengan kata-kata wa kalaamul-laili yamhuhun-nahaar.

Satu per satu sya'irul bilad (penyair istana) melantunkan syairnya. Dan giliran pun tiba bagi Abu Nawas. Dengan percaya diri ia pun berpuisi: 

"Demi perempuan muda yang kucium di istana dalam keadaan mabuk
Dan menghiasinya dengan kemabukan yang terhormat

Dan angin mengguncang bagian belakangnya yang berisi
Dan kami selipkan sebuah delima mungil ke dalamnya

Sungguh jubah itu terjatuh dari bahunya
Dari kain yang robek dan gaun yang melorot

Lalu aku berkata, 'Janji ya, sayang,' dan dia berkata:
'Kata-kata di malam hari terhapus di siang hari
.'"   

Harun Al-Rasyid pun tergelak. "Dasar engkau ini, Abu Nawas, seakan-akan engkau ada bersama kami dalam insiden tersebut," ungkapnya.

Abu Nawas menjawab, "Sekali-kali tidak, wahai Amirul Mu'minin, semua itu hanya intuisi hamba saja."

Sang raja kemudian memberikan hadiah uang kepada masing-masing penyair. Dan khusus untuk Abu Nawas, Khalifah menghadiahinya 1000 dirham. (Salim Syamsuddin, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi, hal. 22-23)

Gus Baha memberikan penjelasan bahwa peristiwa itu membuktikan kewalian Abu Nawas yang diberi karunia mukasyafah. 

Kita bisa menangkap bahwa secara halus kisah ini mengukuhkan kualitas penguasaan diri Harun Al-Rasyid. Dan Abu Nawas meski dengan jenakanya menyelipkan adegan lucu dalam syairnya, ia menunjukkan kejeniusannya dalam membaca gelagat yang dialami oleh sang Khalifah.

Penghapusan Jejak yang Sempurna 

Konon Harun Al-Rasyid sedang 'kesengsem' berat oleh sahaya perempuan yang bernama Khalisah. Siang maupun malam sang raja senantiasa bersamanya. Khalisah pun dihujani hadiah-hadiah mewah dari waktu ke waktu.

Suatu hari, Abu Nawas menghadap kepada raja Harun Al-Rasyid yang saat itu tengah duduk santai bersama Khalisah. Maka penyair kita pun mulai melantunkan syair pujiannya dalam pola nuniyah (berakhiran huruf nun). Sungguh disayangkan sang raja tidak sekalipun mengindahkan syairnya Abu Nawas. Bahkan sampai puisi selesai pun perhatian Harun Al-Rasyid terpaut lekat pada Khalisah. Hal ini membuat marah Abu Nawas.

Penyair kita pun beranjak keluar meninggalkan ruangan sang raja dalam keadaan gusar kepada sang sahaya, Khalisah. Saat melewati pintu kamar Khalisah, maka Abu Nawas menuliskan sebuah syair:

Laqad dhaa'a sya'ri 'alaa baabikum, kamaa dhaa'a 'aqadun 'alaa Khalishah

(Sungguh telah rontok rambutku atas pintumu, sebagaimana rontoknya ikatanku atas Khalisah)

Lalu ia pun bergegas meninggalkan tempat.

Keesokan paginya, saat para pelayan masuk ke kamar Khalisah mereka menemukan tulisan tersebut dan melaporkannya kepada Khalisah. Awalnya sahaya tersebut tidak percaya. Sampai akhirnya ia membacanya sendiri tulisan di lembar pintu kamarnya. Ia pun marah dan terhina. "Demi Allah, tidak ada yang menulis ini kecuali Abu Nawas," ungkapnya penuh kemurkaan. 

Ketika Harun Al-Rasyid masuk ke kamar Khalisah, didapatinya ia menangis dan saat ditanyakan apa alasannya, Khalisah memberitahukan perihal tulisan di depan pintunya. "Tidak akan ada yang berani menulis syair seperti itu kecuali Abu Nawas," cetus Khalisah sambil menangis.

Saat Harun Al-Rasyid melihat tulisan tersebut, ia  pun berkata: "Benar sekali. Tulisan ini memang tulisannya Abu Nawas. Aku akan menghukumnya dengan sangat keras. Dan aku pastikan hal ini tidak akan terjadi lagi," geram sang raja. Sang raja memerintahkan bawahannya untuk menyeret Abu Nawas. 

Saat Abu Nawas mengetahui bahwa dirinya akan mendapatkan hukuman. Ia mengambil jalan yang melewati pintu kamar Khalisah dan menghapus dua bagian dari tulisannya tanpa sepengetahuan siapa pun, lalu menghadap kepada sang raja.

Begitu melihat Abu Nawas, raja pun langsung membentaknya: "Apa yang kamu maksudkan dengan tulisanmu di pintunya Khalisah?"

Abu Nawas pura-pura tidak tahu: "Apa yang Amirul Mu'minin maksudkan ini?"

"Tulisanmu yang menghinakan aku itu," jawabnya tinggi.

"Na'udzibillah, mana mungkin hamba berani melakukan itu, wahai Amirul Mu'minin," jawab Abu Nawas tenang. "Hamba telah memuji Paduka dan bukannya menghina Paduka. Mari kita bukti, Paduka!"

"Awas bila apa yang katakan tidak benar, maka aku akan memenggalmu," tegas sang raja.

Maka keduanya pun pergi. Saat keduanya sampai di depan pintu kamar Khalisah di sana tertulis:

Laqad dhaa-a sya'ri 'alaa baabikum, kamaa dhaa-a 'aqadun 'alaa Khalishah

(Sungguh telah bercahaya rambutku atas pintumu, sebagaimana bercahayanya ikatanku atas Khalisah)

Maka sang raja pun terkagum-kagum atas kecerdasan Abu Nawas. Ia pun menghadiahinya 1000 dinar.

Berkata salah satu dari antara yang turut menyaksikan: "Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya Abu Nawas telah mengganti 'ain dengan hamzah di dua tempat dengan menghapus lengkungan pada bagian bawah 'ain."

"Aku tahu itu," ucap Harun Al-Rasyid. "Dan untuk itu aku telah menghadiahinya."

(Salim Syamsuddin, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi, hal. 23-25)

Masih ada beberapa lagi yang akan saya susulkan. Untuk beberapa hari ke depan saya harus fokus satu kegiatan istimewa dulu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun