Keesokan paginya, sang raja memanggil sahaya tersebut dan menagih janjinya. Namun sungguh tidak dinyana, ia menjawab: "Wahai Amirul Mu'min janji itu diucapkan saat malam, wa kalaamul-laili yamhuhun-nahaar (perkataan malam terhapus siang)."Â
Untuk kedua kalinya sang raja dibuat terpesona. Kali ini, oleh kecerdikan si sahaya perempuan. Maka sang raja mengumpulkan para penyair istana dan menantang mereka untuk membuatkan syair yang diakhiri dengan kata-kata wa kalaamul-laili yamhuhun-nahaar.
Satu per satu sya'irul bilad (penyair istana) melantunkan syairnya. Dan giliran pun tiba bagi Abu Nawas. Dengan percaya diri ia pun berpuisi:Â
"Demi perempuan muda yang kucium di istana dalam keadaan mabuk
Dan menghiasinya dengan kemabukan yang terhormat
Dan angin mengguncang bagian belakangnya yang berisi
Dan kami selipkan sebuah delima mungil ke dalamnya
Sungguh jubah itu terjatuh dari bahunya
Dari kain yang robek dan gaun yang melorot
Lalu aku berkata, 'Janji ya, sayang,' dan dia berkata:
'Kata-kata di malam hari terhapus di siang hari.'" Â Â
Harun Al-Rasyid pun tergelak. "Dasar engkau ini, Abu Nawas, seakan-akan engkau ada bersama kami dalam insiden tersebut," ungkapnya.
Abu Nawas menjawab, "Sekali-kali tidak, wahai Amirul Mu'minin, semua itu hanya intuisi hamba saja."
Sang raja kemudian memberikan hadiah uang kepada masing-masing penyair. Dan khusus untuk Abu Nawas, Khalifah menghadiahinya 1000 dirham. (Salim Syamsuddin, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi, hal. 22-23)
Gus Baha memberikan penjelasan bahwa peristiwa itu membuktikan kewalian Abu Nawas yang diberi karunia mukasyafah.Â