Terbayang sekolah yang merdeka dari berbagai kepentingan, selain kepentingan pendidikan itu sendiri, lalu dengan anggun menyuarakan bahwa sekolah 'mengizinkan' kesalahan terjadi agar saat nanti keluar dari sekolah, kesalahan itu tidak untuk diulang kembali. Sekolah yang menciptakan atmosfer di mana kesalahan berujung pada refleksi. Dan pelajaran pun dipetik darinya.Â
Terbayang sekolah yang tumbuh dalam dukungan tulus para pemangku kebijakan dan kepentingan, sehingga pada gilirannya sekolah menjadi taman yang di dalamnya tumbuh segala keindahan rupa, warna dan aroma potensi peserta didiknya. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan adalah guru. Masyarakat sebagai pemangku kepentingan juga adalah guru. Ada kewajiban melekat pada keduanya untuk memberikan contoh dan suri teladan yang baik. Apa yang diajarkan di sekolah idealnya konsisten dan terkonfirmasi dengan apa yang ada di luar sekolah. Bila tidak demikian, sekolah bisa menjadi pemicu gejala kepribadian ganda di kalangan peserta didiknya. Â Â
Tema Hardiknas "Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar" menuntut kepaduan langkah dan upaya antara sekolah sebagai pelaksan dengan Pemerintah dan masyarakat. Bila ini hanya sebatas jargon, tema, tagar atau malah sebatas gimmick maka nasib malang sekolah sebagai kambing hitam atas centang-perenangnya dengan tujuan pendidikan nasional masih akan episodik alias masih berbabak-babak; program wajib belajar minimal 12 tahun hanya akan berkutat pada sebatas program yang berujung mangkrak; sekolah akan menjadi sebatas ritus; dan Merdeka Belajar hanya akan sebombastis moto pada baliho pemilu.Â
Satu jam kurang jelang pergantian hari. Saya harus segera akhiri refleksi ini sebelum kehilangan 24 jam utama momentum Hardiknas ke-64 tahun 2023.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, Indonesia! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H