Hari Selasa (02/05), yang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional ke-64, tepat pertama kali saya membuat akun di Kompasiana dua tahun lalu.  Sebanyak 117 tulisan telah tertuang dalam kurun waktu 2021 hingga 2023. Tidaklah terlalu produktif untuk ukuran tulisan-tulisan ringan  dan bersifat diarial. Namun, sejak menulis adalah serupa karya seni maka faktor mood sangat berpengaruh. Untuk itu, berapapun jumlahnya plus seperti apapun tulisan itu terkategorikannya, it's a kind of state of art.
Pagi tadi, seperti umumnya di sekolah lainnya, sekolah tempat saya bertugas menggelar upacara peringatan Hardiknas yang diikuti seluruh warga sekolah. Dalam amanat, pembina upacara membacakan teks Pidato Mendikbudristek dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2023. Mas Menteri menyiratkan sebuah optimisme pendidikan kita melalui paradigma Merdeka Belajar:
"Sebanyak 24 episode Merdeka Belajar yang telah diluncurkan membawa kita semakin dekat dengan cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang menuntun bakat, minat, dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan sebagai anggota masyarakat."
Benarkah kita semakin dekat tujuan pendidikan nasional kita? Apa indikatornya?
"Anak-anak kita sekarang bisa belajar dengan lebih tenang karena aktivitas pembelajaran mereka dinilai secara lebih holistik oleh gurunya sendiri. Para kepala sekolah dan kepala daerah yang dulu kesulitan memonitor kualitas pendidikannya sekarang dapat menggunakan data Asesmen Nasional di Platform Rapor Pendidikan untuk melakukan perbaikan kualitas layanan pendidikan.
Para guru sekarang berlomba-lomba untuk berbagi dan berkarya dengan hadirnya Platform Merdeka Belajar. Selain itu, guru-guru yang dulu diikat berbagai peraturan yang kaku sekarang lebih bebas berinovasi di kelas dengan hadirnya Kurikulum Merdeka," lanjut sang Menteri. Â
Inilah indikator telah mendekatnya dunia pendidikan kita kepada cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, nama lain dari tujuan pendidikan nasional, menurut Nadiem. Beberapa perubahan positif memang dirasakan di kelas saat Kurikulum Merdeka diimplementasikan. Seperti siswa melakukan pembiasaan refleksi, pembelajaran yang mulai mengarah kepada diferensiasi sesuai karakter dan potensi siswa, pembelajaran yang kolaboratif dan tentu saja adanya proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5).Â
Hanya saja, masih ada beberapa pertanyaan besar: Mengapa siswa masih tidak bahagia saat bersekolah? Mengapa ada kecenderungan bahwa sekolah kehilangan daya magisnya sebagai pusat pembelajaran? Â Atau bahkan mengapa sekolah cenderung formalistik dan masih relatif membosankan bagi kebanyakan siswa?
Secara normatif, jawabannya adalah karena sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan belum sepenuhnya memahami tuntutan idela dari Merdeka Mengajar. Secara idealis, salah satu jawabannya bisa jadi karena lemahnya riset saat menentukan sebuah kebijakan sekrusial pendidikan. Atau, secara sarkastik, salah satu jawaban populernya adalah bahwa pengambilan kebijakan pendidikan seringkali cenderung politis alih-alih murni demi kepentingan pendidikan itu sendiri.Â
Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional ini saya membayangkan sekolah yang dicintai peserta didiknya, sekolah yang menjadi bunga mimpi peserta didiknya, dan menjadi rumah kedua bagi peserta didiknya.
Terbayang sekolah yang merdeka dari berbagai kepentingan, selain kepentingan pendidikan itu sendiri, lalu dengan anggun menyuarakan bahwa sekolah 'mengizinkan' kesalahan terjadi agar saat nanti keluar dari sekolah, kesalahan itu tidak untuk diulang kembali. Sekolah yang menciptakan atmosfer di mana kesalahan berujung pada refleksi. Dan pelajaran pun dipetik darinya.Â
Terbayang sekolah yang tumbuh dalam dukungan tulus para pemangku kebijakan dan kepentingan, sehingga pada gilirannya sekolah menjadi taman yang di dalamnya tumbuh segala keindahan rupa, warna dan aroma potensi peserta didiknya. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan adalah guru. Masyarakat sebagai pemangku kepentingan juga adalah guru. Ada kewajiban melekat pada keduanya untuk memberikan contoh dan suri teladan yang baik. Apa yang diajarkan di sekolah idealnya konsisten dan terkonfirmasi dengan apa yang ada di luar sekolah. Bila tidak demikian, sekolah bisa menjadi pemicu gejala kepribadian ganda di kalangan peserta didiknya. Â Â
Tema Hardiknas "Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar" menuntut kepaduan langkah dan upaya antara sekolah sebagai pelaksan dengan Pemerintah dan masyarakat. Bila ini hanya sebatas jargon, tema, tagar atau malah sebatas gimmick maka nasib malang sekolah sebagai kambing hitam atas centang-perenangnya dengan tujuan pendidikan nasional masih akan episodik alias masih berbabak-babak; program wajib belajar minimal 12 tahun hanya akan berkutat pada sebatas program yang berujung mangkrak; sekolah akan menjadi sebatas ritus; dan Merdeka Belajar hanya akan sebombastis moto pada baliho pemilu.Â
Satu jam kurang jelang pergantian hari. Saya harus segera akhiri refleksi ini sebelum kehilangan 24 jam utama momentum Hardiknas ke-64 tahun 2023.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, Indonesia! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H