Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sisi Lain

13 April 2023   11:34 Diperbarui: 13 April 2023   11:38 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oh iya sedikit spoiler, karena ini adalah dunia tasawuf jadi mohon bersiap untuk menemukan kemuskilan-kemuskilan dalam penjelasan berikut ini. Mari kita mulai.

Pertama, thayyuz-zamani (lipatan waktu). Adapun lipatan waktu adalah ketika waktu pendek di satu tempat dan diperpanjang di tempat lain. Seperti kisah seseorang yang telah melewati tahun-tahun di satu tempat dan di tempat lain satu jam atau satu hari. Dikisahkan seseorang yang keluar untuk mandi di sungai Efrat di Irak pada hari Jumat menjelang tengah hari, dan ketika dia selesai mencuci dia tidak menemukan pakaiannya, maka dia menyusuri sebuah jalan untuk mencarinya dan akhirnya sampai dia memasuki Mesir, di mana dia menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Dia tinggal selama tujuh tahun, kemudian suatu ketika dia pergi mandi pada hari Jumat dengan sungai Nil Mesir, dan setelah selesai, dia menemukan pakaian pertamanya---yang ia dulu cari-cari, lalu dia menyusuri sebuah jalan, dan dia pun berada di Bagdad sebelum sholat Jumat sejak hari dia keluar.

Kedua, thayyul makan (lipatan tempat). Adapun pelipatan tempat misalnya di Mekkah, jika seseorang berada di negara lain. Hal ini  sudah diketahui oleh para wali Allah, diantaranya Syekh Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dia berkata: "Demi Allah, tidaklah para wali  pergi dari satu titik ke titik lainnya dalam sekejap sampai-sampai bila mereka bertemu dengan orang-orang seperti kita, dan jika saja mereka tidak punya kekuatan, maka sungguh mereka telah diserang [saking kagetnya akan kemunculan mereka]."

Ketiga, thayyud-dunya (lipatan dunia). Adapun melipat dunia adalah ketika engkau menutupi jaraknya dengan kezuhudan dan ketidakberhajatan darinya serta mencapai keyakinan penuh dalam hati kita, sehingga apa yang datang pada kita akan menjadi kenyataan, atau seperti kenyataan. 

Keempat, thayyun-nufus (lipatan diri/jiwa). Adapun melipat jiwa, adalah ketiadaan dirinya dalam Allah, tercapainya puncak dan sempurnanya perjumpaan. Sebagaimana perkataan Syekh Abu Al-Abbas Al-Mursi: "Dalam hal ini, bukan masalah bumi terlipat untuk kita, baik kita berada di Mekkah atau negara lain, melainkan keaadaan diri kita terlipat dari kita pada saat kita bersama Tuhan kita."

Dalam Jurus Melipat Bumi ala Ulama Sufi, Khoirum Millatin mengutip pernyataan Syeikh Abul Abbas Al-Mursi lainnya berkenaan dengan karamah dalam pembahasan thayyul ardhi (melipat bumi) yang adalah nama lain dari thayyul makan: "Melipat itu ada dua macam yaitu yang sifatnya kecil dan besar. Adapun yang kecil itu adalah melipat yang dilakukan oleh ulama-ulama sufi dengan cara dilipatnya bumi untuk mereka dari wilayah bagian timur hingga wilayah bagian barat dalam satu waktu. Sedangkan melipat dalam arti besar adalah melipat sifat-sifat nafsu."

Kisah-kisah sufistik ini setidaknya bisa temukan dalam syarah (penjelasan) kitab Al-Hikam berjudul Iqazhul Himam fi Syarhil Hikam karya Ibnu Ajibah al-Hasani. Fenomena mempersingkat jarak dan waktu (atau sebaliknya) menggugat keabsulatan ruang dan waktu dalam kekaprahan sehari-hari. 

Kisah lainnya dari berbagai sumber tidak kalah mencengangkan. Bagaimana kita menalar kisah seorang sahabat yang shalat 1000 rakaat dalam semalam, atau mengkhatamkan 41 kali Al-Qur'an dalam satu malam? Atau, riwayat masyhur tentang lamanya shalat Nabi Muhammad saw di mata Asiyah ra namun nampak biasa bagi Sang Nabi. 

Atau, bahkan kisah malam yang menjadi lebih lama demi memberi kesempatan Ali bin Thalib turut berjamaah dengan Rasulullah saw seperti dikisahkan dalam kitab Al-'Ushfuriyyah karangan Syaikh Muhammad bin Abu Bakar. Saat Sayyidina Ali menuju ke mesjid untuk berjamaah dengan Rasulullah saw di waktu subuh. Sayangnya, di depan beliau berjalan seorang kakek yang sangat renta. Karena takjim kepada yang sepuh, Sayyidina Ali memilih untuk berjalan pelan di belakangnya. Hingga fajar terlihat nyaris akan terbit. Demi melihat keutamaan akhlak ini, Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk menahan punggung Rasulullah saw pada posisi rukuk beliau sedemikian lama agar Sayyidina Ali masih mendapatkan 1 rakaat  berjamaah dengan beliau saw. Bukan itu saja, Allah SWT pun menyuruh malaikat Mikail untuk menahan matahari agar ia tidak terbit demi sempurnanya dua rakaat shalat Sayyidina Ali.

Fenomena rekayasa ruang dan waktu nampaknya bukan hal yang asing dalam dunia sufisme. 

Teknologi Warp Drive

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun