Adalah Andre Atunes, gitaris asal Portugal yang mengenalkan saya pada Nusrat Fateh Ali Khan, seorang penyanyi qawwali. Lagu yang dibawakannya berjudul Sanson Ki Mala Pe. Awalnya saya kira lagu berbahasa Urdu tersebut merupakan gubahan sufi dari kalangan muslim. Ternyata penciptanya adalah Meera Bai atau lebih dikenal sebagai Mirabai, seorang mistikus beragama Hindu dari abad ke-16. Sanson Ki Mala Pe, (Inggris: On the Rosary of Breath) kurang lebih berarti 'Dalam Nafas Rosario'.
Sedikit tentang rosario. Menurut Britannica rosario, juga disebut tasbih, (dari bahasa Latin rosarium, 'taman mawar') adalah latihan keagamaan di mana doa dibacakan dan dihitung pada untaian manik-manik atau tali yang diikat. Dengan untaian manik-manik atau tali juga bisa disebut rosario. Praktik ini tersebar luas, terjadi di hampir setiap tradisi agama besar di dunia.Â
Adapun tentang qawwali menurut Asia Society dalam Qawwali: From Sufi Ritual to Commercial Pop, qawwali adalah sebuah musik persembahan yang mengungkapkan praktik mistis Sufi di kawasan Asia Selatan, terutama di kawasan Afghanistan, Pakistan dan India. Istilah qawwali berasal dari kata Arab qaul, yang berarti  berbicara atau berkata, sehingga menekankan kepada keutamaan kata-kata dalam lagu genre ini. Fungsi utamnya adalah memahamkan para pendengarnya akan kata-kata dan pesan dari lagu.
Sebuah terjemahan dari satu bait qawwali anonim berbahasa Urdu yang banyak dikenal dengan judul Allah Hu (Dialah Allah!), disajikan Hiromi Lorraine Sakata, penulis artikel ini, sebagai berikut:Â
Ketika Bumi belumlah ada, begitu juga semesta,
Tidak ada bulan dan matahari, dan juga langit,
Ketika rahasia itu belumlah disingkapkan,
Ketika tidak ada apapun, yang Ada hanyalah Engkau.
Dalam Qawwali - A Detailed Take On The 650+ Years Old Musical Genre disebutkan bahwa qawwali lahir di anak benua India pada abad ke-13 setelah invasi Islam. Genre musik ini berakar dari asal yang sama yang melahirkan genre musik lainnya, Khayal Gharana dari musik klasik Hindustan. Asal-usul qawwali dapat ditelusuri dari empat warisan musik tarekat Sufi yang datang ke India: Chistiya, Qadiriya, Suhrawardiya dan Naqsybandiya. Dari keempat tarekat tersebut, tarekat Chistiya berkontribusi lebih pada awal dan pembentukan musik qawwali.
Entah bagaimana, saya selalu berpikir bahwa ada semacam keterikatan pendekatan dan gagasan antara tasawuf dan fisika kuantum. Seperti halnya saya juga melihat ada kaitan antara tasawuf dan musik jazz. Tentang yang kedua ini barangkali akan saya tuliskan secara terpisah.
Sungguh menarik saat membaca tulisan Ibrahim Bijli Syed dalam Tasawwuf (Sufism) and Quantum Physics. Dr. Syed menulis:Â
"Tasawwuf (umumnya dikenal sebagai tasawuf) dan teori kuantum memiliki beberapa kesamaan. Misalnya, Sufi dan fisikawan memiliki pandangan yang sangat mirip tentang dunia. Berbeda dengan pandangan dunia mekanistik Barat, para sufi menganggap semua hal dan peristiwa yang dirasakan oleh indera sebagai saling terkait dan terhubung, aspek atau manifestasi yang berbeda dari realitas tertinggi yang sama. Bagi mereka, pencerahan adalah pengalaman menjadi sadar akan kesatuan dan keterkaitan timbal-balik segala sesuatu, melampaui gagasan tentang diri individu yang terisolasi, dan mengidentifikasi diri mereka dengan realitas tertinggi.
Sains eksakta pasti diungkapkan dalam bahasa matematika yang sangat rumit, sedangkan tasawuf didasarkan pada meditasi dan menegaskan bahwa wawasan sufi tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Realitas, seperti yang dialami oleh para sufi, sama sekali tidak dapat ditentukan dan tidak dapat dibedakan. Mereka tidak melihat intelektualitas sebagai sumber pengetahuan mereka, tetapi hanya menggunakannya untuk menganalisis dan menginterpretasikan pengalaman pribadi mereka."
Teori kuantum menyiratkan keterhubungan esensial dari alam semesta, sehingga memaksa kita untuk melihat alam semesta bukan sebagai kumpulan objek fisik tetapi sebagai jaringan yang kompleks dari hubungan antara berbagai bagian dari keseluruhan yang terpadu. Inilah bagaimana kaum Sufi mengalami dunia.Â
Sebagian orang berpendapat bahwa fisika kuantum membuka perspektif tentang keberadaan Tuhan karena fisika kuantum memiliki beberapa fenomena yang sulit dipahami dan tidak dapat dijelaskan dengan cara yang konvensional. Beberapa di antaranya adalah efek pengamatan, superposisi, entanglement, dan nonlokalitas.
Dalam efek pengamatan, perubahan dalam perilaku partikel sub-atomik hanya terjadi ketika mereka diamati atau diukur. Ini menyiratkan bahwa observasi dan pengamat dapat mempengaruhi kenyataan fisik, yang dapat ditafsirkan sebagai bukti adanya entitas yang ada di luar fisika yang dapat mempengaruhi kenyataan fisik.
Superposisi mengacu pada kemampuan partikel sub-atomik untuk berada dalam dua atau lebih keadaan secara bersamaan. Ini menimbulkan pertanyaan apakah kenyataan fisik memiliki keadaan yang pasti atau apakah kenyataan fisik memiliki kemungkinan yang tidak terbatas, yang dapat diinterpretasikan sebagai keberadaan Tuhan yang memungkinkan segala kemungkinan.
Entanglement adalah fenomena di mana dua partikel sub-atomik saling terkait dan memiliki koneksi yang tetap bahkan jika mereka berada jauh satu sama lain. Ini bisa dianggap sebagai bukti adanya hubungan yang tidak dapat dijelaskan secara fisik yang mengikat semua bagian dari alam semesta bersama-sama.
Nonlokalitas mengacu pada kemampuan partikel sub-atomik untuk mempengaruhi satu sama lain bahkan jika mereka berada di ujung yang berlawanan dari alam semesta. Ini menyiratkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari fisika yang mengikat seluruh alam semesta bersama-sama, yang dapat diinterpretasikan sebagai keberadaan Tuhan.
Namun, penting untuk diingat bahwa fisika kuantum masih merupakan bidang penelitian yang aktif dan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sementara beberapa orang mungkin melihat bukti keberadaan Tuhan dalam fenomena fisika kuantum, pandangan ini tidak dapat diterima secara ilmiah karena bukti yang dapat diandalkan tidak tersedia.
Dewasa ini, teori kuantum menawarkan banyak paradoks dan fenomena yang membuat kebanyakan kita pening. Para sufi pun masyhur dalam sejarah telah banyak membuat pening khalayak awam. Karya-karya tokoh Sufi seperti misalnya, Attar (w. 1299), Hafiz (abad ke-14), Ibn al-Arabi (w. 1240), Rumi (w. 1273), Basmati (w. 875), menurut Syed, penuh dengan kontradiksi yang menarik perhatian. Dalam konteks Sufisme, paradoks sering digunakan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang realitas spiritual dan mencapai kesatuan dengan Tuhan.Â
Salah satu contoh paradoks dalam tasawuf adalah konsep fana dan baqa. Fana mengacu pada keadaan di mana individu melarutkan dirinya sendiri dalam Tuhan sehingga ia kehilangan identitas terpisahnya, sementara baqa mengacu pada keadaan di mana individu mempertahankan identitasnya sendiri sambil mengetahui bahwa ia tetap terhubung dengan Tuhan. Kedua konsep ini terlihat saling bertentangan, namun dalam sufisme keduanya dianggap penting dalam mencapai 'kesatuan' dengan Tuhan.
Secara pandangan awam, seperti saya, terlihat bahwa konsep fana dan baqa berlawanan satu sama lain. Paradoks ini menunjukkan bahwa tasawuf memandang dunia dan realitas dalam cara yang berbeda dengan cara pandang yang umum kita, termasuk pemikiran Barat melalui fisika klasiknya. Â
Dunia pemikiran seperti ini dalam sejarah Islam pernah mencapai titik tertingginya. Hal ini salah satunya setelah ada persentuhan dengan filsafat Yunani. Pada bagian Islamic Schools of Thought dari Revelation, Rationality, Knowledge and Truth, Imam Jamaah Muslim Ahmadiyah yang ke-4, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad rh menerangkan madzhab-madzhab pemikiran dalam Islam, termasuk kalangan sufi. Salah satunya adalah pandangan bahwa dunia fisik itu semu, dan yang ada hanyalah bayangan dari pikiran. Jadi setiap orang berbeda dalam mempersepsi dunia fisiknya.Â
"Aspek ketidakpastian dan ketidakpercayaan kesan-kesan seperti tersebut di atas, melahirkan sekte sufi lain yang sama sekali mengingkari keberadaan lahiriah dari benda-benda dan mengklaim bahwa kebenaran abadi hanyalah gagasan subyektif. Mereka yang lebih ekstrem di antara mereka menolak sama sekali keberadaan bentuk fisik eksternal apapun, termasuk tubuh mereka sendiri," tulis Sang Imam.
Lalu sebuah anekdot dikisahkan. Konon pimpinan sufi dari tarekat ini dipanggil ke istana seorang raja untuk mengadakan debat dengan beberapa ulama terkemuka pada masanya. Tetapi yang membuat semua orang takjub sekaligus kecewa, ternyata hasil dari perdebatan itu justru kebalikan dari apa yang mereka harapkan. Dalam beberapa tukar argumen dan kontra-argumen, para akademisi hebat istana goyah dari kedalaman argumen mereka, tergagap dan kehilangan kata-kata. Tidak ada yang berhasil menandingi kelenturan logika halus sang sufi. Pada titik ini, raja mendapat ide cemerlang dan memerintahkan penjaga rumah gajah untuk membawa gajahnya yang paling ganas ke halaman istana. Gajah yang satu ini kebetulan terserang penyakit gila yang tidak kalah dari sang Sufi. Satu-satunya perbedaan mungkin adalah bahwa dalam pikiran sang sufi realitas luar tidak ada. Sementara si gajah itu sendiri hanya ingin menghancurkan semua realitas lahiriah di luar dirinya. Dari satu ujung lapangan sang sufi didorong ke tempat terbuka dan dari ujung lainnya si gajah dilepaskan. Sang Sufi tanpa kehilangan nafasnya, segera berlari menyelamatkan nyawanya.
Melihat hal ini, sang raja berteriak dari balkon istananya, "Jangan lari wahai Sufi dari bayangan semu gajah ini. Dia hanya fatamorgana dari imajinasimu!"
"Siapa yang melarikan diri?" balas sang Sufi. "Itu hanya fatamorgana dari imajinasi Paduka."
Demikianlah akhir dari kesulitan sang sufi, tetapi tidak untuk perdebatan itu sendiri. "[Hingga kini] perdebatan masih terus berlangsung," seloroh Sang Imam.
Â
Kuantum: Metafisikanya Fisika?
Werner Heisenberg dalam bukunya Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science menulis:
"Kemajuan terbaru dalam fisika modern hanya bisa dipahami ketika seseorang menyadari bahwa di sini dasar-dasar fisika telah mulai bergeser; dan bahwa pergeseran ini telah menimbulkan perasaan bahwa dasar-dasar ini akan terpisah dari ilmu pengetahuan."
Kalimat ini mengingatkan obrolan lawas dengan senior saya, Farzand Abdullatif saat tinggal di kediaman almarhum Raden Ahmad Anwar di kawasan Pasirpogor, Bandung. Saya yang hanya berbekal rasa ingin tahu suka keluar dari bidang saya untuk bertanya tentang fisika kuantum dan sebagainya. Kang Andi, begitu biasa saya memanggilnya, adalah lulusan S3 fisika teoritis Australia National University.Â
Saya juga suka meminjam buku-buku untuk dibaca. Dan dari salah satu bacaan terkuak kedekatan Heisenberg dengan salah satu raksasa dalam teori kuantum, Niels Bohr. Melalui mentoring yang dilakukan mestilah ada transmisi keilmuan yang kuat dari Bohr kepada Heisenberg. Jadi saya memilih untuk mencari jejak sufisme dalam sosok sang guru alih-alih dari sang murid.
Bohr, seorang fisikawan terkenal yang terlibat dalam pengembangan fisika kuantum, memiliki pandangan yang terinspirasi dari pemikiran Sufi dalam cara memahami realitas fisika. Salah satu pernyataan ekstremnya adalah ketika ia mengatakan bahwa "tidak ada yang benar-benar nyata kecuali dalam tautologi." Dalam konteks fisika kuantum, Bohr berpendapat bahwa kita tidak dapat memahami objek fisik secara terpisah dari pengamatan atau pengukuran yang kita lakukan pada objek tersebut. Sebagai gantinya, objek fisik hanya dapat dipahami melalui hubungannya dengan alat pengukur yang digunakan untuk mengukurnya. Pernyataan Bohr ini dapat dianggap ekstrem karena mengimplikasikan bahwa realitas fisik tidak dapat dipahami secara objektif atau independen dari pengamat, dan bahwa semua konsep fisika harus diartikan melalui pengukuran atau tautologi.Â
Ya, pemikiran Bohr memang sangat menarik dan mempengaruhi banyak fisikawan dan filosof dalam pemahaman tentang realitas fisika. Terinspirasi oleh pemikiran Sufi, Bohr menekankan bahwa realitas fisika tidak dapat dipahami secara terpisah dari hubungannya dengan pengamat atau perangkat pengukuran yang digunakan, dan bahwa pemahaman kita tentang realitas fisika selalu tergantung pada cara kita mengamati atau mengukurnya. Pemikiran ini memberikan pandangan baru tentang realitas fisika yang lebih fleksibel dan kontekstual, serta mengajarkan kita bahwa kita harus selalu menyadari keterbatasan dan ketergantungan dari cara kita memahami dunia. Â
Ada beberapa tokoh Sufi yang terindikasi mempengaruhi pemikiran Bohr, di antaranya adalah Maulana Jalaluddin Rumi, seorang penyair dan filsuf Persia yang dikenal karena karya-karyanya yang mendalam tentang Sufisme, seperti "Mathnawi". Rumi menekankan pentingnya pengalaman langsung dalam mencapai pemahaman spiritual, dan memandang dunia sebagai jaringan keterhubungan yang saling terkait.
Selain Rumi, ada juga Ibn al-Arabi, seorang filosof dan sufi besar dari abad ke-12 yang dikenal karena kontribusinya dalam memahami hubungan antara manusia, Tuhan, dan dunia. Ibn al-Arabi menekankan pentingnya pengalaman langsung dan perspektif holistik dalam memahami realitas, dan memandang bahwa segala sesuatu dalam alam semesta saling terkait dan berhubungan satu sama lain.
Bohr, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran ini dalam membangun pandangan dunia dan pemahaman tentang realitas fisika. Dia memandang bahwa pengalaman langsung dan perspektif holistik sangat penting dalam memahami sifat dan sifat dasar alam semesta, dan bahwa hubungan antara manusia dan alam semesta harus dipahami secara menyeluruh dan terhubung.
Jum'at Agung
Saya tersadar bahwa saat menulis ini, saudara-saudara Kristiani sedang merayakan Jum'at Agung.Â
Dan karena hari ini Jum'at pertama di bulan April, adalah jadwal saya untuk bertugas sebagai khatib.Â
Jum'ah mubarakah untuk kita semua! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H