Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbaliknya Arah Kecerdasan

6 Juni 2022   09:07 Diperbarui: 6 Juni 2022   11:19 1692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

It's the question that drives us,

the question that brought you here.

You know the question just as I did.

(Trinity, The Matrix)

Tahun 1999, salah satu tahun yang paling fenomenal bagi mereka yang termasuk Generasi X. Tonggak terhebohnya adalah fenomena Y2K atau Year 2000.

Kehebohan itu berawal dari kekhawatiran akibat isu---waktu itu istilah hoaks belum sepopuler sekarang----bahwa kemungkinan adanya kesalahan penghitungan oleh komputer yang disebabkan sistem penyimpanan tanggal yang hanya menyediakan dua digit untuk tahun, dengan asumsi kedua digit pertama adalah "19". Misalnya, 01/01/00. 

Alih-alih 1 Januari 2000, komputer membacanya sebagai 1 Januari 1900. Kekhawatiran inilah yang kemudian melahirkan banyak kehebohan. Istilah millennium bug sontak menjadi populer. 'Kutu' milenium di sini tentu artinya adalah sesuatu yang tidak beres jelang terbitnya milenium baru, tahun 2000.

The Matrix

Pada tahun yang sama, sebuah film besutan Wachowski bersaudara, The Matrix dirilis dan menjadi box office. Cerita film ini tentang seorang hacker yang bernama Neo yang ingin mencari tahu tentang apa sebenarnya di balik realitas dan lalu bergabung dengan sebuah kelompok pemberontak melawan program-program komputer penjaga yang disebut agen-agen. Para pemberontak ini dipimpin oleh Morpheus. Laman New Scientist menurunkan sebuah tulisan dengan judul Life's A Sim and Then You're Deleted:

"Betul sekali. Hidup Anda mungkin sebenarnya adalah program komputer yang dikembangkan oleh masyarakat pasca-manusia yang hidup dalam apa yang Anda pikirkan sebagai masa depan.

Dalam sebuah makalah yang dikirimkan ke jurnal Mind, Bostrom telah menguraikan dengan tepat bagaimana dia mencapai kesimpulan yang mengerikan ini. Penalaran dimulai dengan satu premis sederhana. Pada titik tertentu, peradaban akan mengembangkan komputer yang sangat kuat yang mampu meniru apa yang kita sebut kesadaran. Dan jika premis itu benar, sisanya mengikuti secara logis."

Nick Bostrom adalah seorang filsuf di Universitas Yale, dan dia yakin film laris Hollywood lebih dekat dengan kebenaran daripada yang ingin dipercaya oleh banyak dari kita. Dia telah melakukan perhitungan, dan dia menganggap bahwa kita bisa saja hidup di dalam sebuah simulasi.

Sean O'Neill masih di laman New Scientis menulis dengan judul yang mengusik pikiran, The Human Universe: Could We Become Gods? Ia menyatakan bahwa:

"Apa pun kemungkinan klaim ini, itu menimbulkan pertanyaan yang menggiurkan: bisakah kita membuat simulasi seperti itu? Bisakah kita menjadi dewa dari alam semesta buatan yang dihuni oleh makhluk yang begitu pintar sehingga mereka dapat mempertanyakan tempat mereka sendiri di alam semesta mereka?

Persyaratan pertama adalah menciptakan kecerdasan buatan yang dapat melakukan berbagai tugas intelektual yang sama seperti manusia. 

Menurut ahli robotik kognitif Murray Shanahan dari Imperial College London, tidak ada alasan untuk berpikir kita tidak bisa, meskipun itu bisa memakan waktu puluhan tahun. 

"Tidak ada yang ajaib tentang otak; ia tidak melampaui fisika. Jadi tentu saja dimungkinkan untuk membangun entitas fisik yang dapat melakukan apa pun yang dapat kita lakukan," katanya.

Tapi dibutuhkan lebih dari kekuatan komputasi kasar untuk membangun otak. "Yang penting adalah struktur, pola, koneksinya," kata Peter Bentley di University College London, dan kami belum memiliki cetak biru otak yang cukup rinci untuk mereproduksinya. Tetapi Proyek Otak Manusia 10 tahun Uni Eropa sedang mengerjakannya.

Benarkah kita, homo sapien, telah sepandai itu? Atau akankah kecerdasaan kita terus meningkat sehingga mampu menyingkap semua rahasia keberadaan kita?

Terpantik Guru Nyentrik Jebolan UPI

Johan Riadi adalah alumnus UPI. Ia mendirikan sekolah alternatif Bumi Matahari. Ia juga aktif melakukan edukasi melalui kanal youtube yang diberi nama Guru Gembul. Sampai hari ini tidak kurang dari 460 video telah ia unggah. menggoda kita dengan sejumlah pertanyaan yang menggelitik. 

Salah satunya adalah apakah kecerdasan manusia akan terus meningkat hingga manusia kemudian bisa menyamai Tuhan? Atau dalam tagline di videonya ke-446, Guru Gembul mengusik kita dengan pernyataan bahwa 'Tuhan menciptakan manusia agar ia (manusia) menjadi Tuhan yang baru'. 

Sebuah pernyataan yang memang bukan untuk dikonsumsi semua orang. Pembaca bisa menyimak langsung dari link yang disematkan pada tagline tersebut. Saya tertarik untuk mendiskusikan tentang kecerdasan manusia itu sendiri.

Sebagai gambaran umum, manusia kini telah mampu melakukan antara clonning, menciptakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence, rekaya genetika dan sibernetika. 

Dalam puncaknya, manusia seakan bisa 'menciptakan' makhluk baru. Pernyataan Murray Shanahan bahwa 'Tidak ada yang ajaib tentang otak; ia tidak melampaui fisika. Jadi tentu saja dimungkinkan untuk membangun entitas fisik yang dapat melakukan apa pun yang dapat kita lakukan' menggambarkan arogansi supremasi ilmiah manusia atas tesis ini. Namun benarkah kita semakin cerdas?

Steve Connor di laman Independent mengutip pernyataan Profesor Gerald Crabtree, kepala  laboratorium genetika di Universitas Stanford di California, yang telah mengajukan gagasan ikonoklastik bahwa alih-alih menjadi lebih pintar, kecerdasan manusia justru telah mencapai puncaknya beberapa ribu tahun yang lalu dan sejak saat itu terjadi penurunan lambat dalam kemampuan intelektual dan emosional kita.

"Saya berani bertaruh bahwa jika seorang warga biasa dari Athena 1000 SM tiba-tiba muncul di antara kita, dia akan menjadi salah satu rekan dan rekan kita yang paling cerdas dan paling intelektual, dengan ingatan yang baik, berbagai ide dan pandangan jernih tentang isu-isu penting," kata Profesor Crabtree dalam makalah provokatifnya yang diterbitkan dalam jurnal Trends in Genetics.

"Lebih jauh lagi, saya kira dia akan menjadi salah satu teman dan kolega kita yang paling stabil secara emosional. Saya juga akan membuat taruhan ini untuk penduduk kuno Afrika, Asia, India atau Amerika, mungkin 2.000 hingga 6.000 tahun yang lalu, "kata Profesor Crabtree.

"Dasar taruhan saya berasal dari perkembangan baru dalam genetika, antropologi, dan neurobiologi yang membuat prediksi yang jelas bahwa kemampuan intelektual dan emosional kita secara mengejutkan sangat rapuh," katanya.

Kita Boleh Jadi Lebih Pintar, Tetapi Tidak lebih Cerdas

"Anda mungkin tidak menyadarinya, tetapi kita hidup di zaman keemasan intelektual. Sejak tes kecerdasan ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu, skor IQ kita terus meningkat. Bahkan rata-rata orang saat ini (2019) akan dianggap jenius dibandingkan dengan seseorang yang lahir pada tahun 1919---sebuah fenomena yang dikenal sebagai efek Flynn," goda David Robson dalam artikelnya Has humanity reached 'peak intelligence'?

Apa pun penyebab efek Flynn, menurut Robson, ada bukti bahwa kita mungkin telah mencapai akhir era ini -- dengan kenaikan IQ yang terhenti dan bahkan berbalik. Jika Anda melihat Finlandia, Norwegia dan Denmark, misalnya, titik balik tampaknya terjadi pada pertengahan 90-an, setelah itu IQ rata-rata turun sekitar 0,2 poin per tahun. Itu akan menjadi perbedaan tujuh poin antar generasi. Itu artinya kecerdasan kita secara global menurun.

Betapa cerdasnya leluhur kita yang bisa membangun piramida, candi, Stonehenge dan lebih banyak lagi. Sementara kita kini sibuk mengelak dengan berteori bahwa semua pekerjaan agung tersebut merupakan buah karya Alien. Kita terlihat pandai karena kita bisa dengan mudah mengakses informasi melalui gawai kita. Secara potensial kita tidak lebih cerdas dari generasi sebelum kita.

Bayangkan betapa kerja kerasnya para penjelajah terdahulu, mengingat jalur secara manual, memetakannya, mendokumentasikan dan seterusnya jauh sebelum ada aplikasi navigasi seperti sekarang ini. Kata-kata Einstein mengenai Newton dengan indahnya menggambarkan kualitas kecerdasan generasi sebelum kita, "Alam baginya (Newton) adalah seperti buku terbuka, yang huruf-hurufnya mampu ia baca dengan tanpa susah payah."

Teknologi sebagai hasil dari kreasi ilmiah kita ironinya menjadi penyebab menurunnya potensi dan kreativitas ilmiah kita. Sebuah siklus kebinasaan diperlukan untuk membangkitkan kembali potensi manusia. Kiamat boleh jadi terjadi berulang untuk merefresh sistem yang sudah jenuh dan memberi kesempatan kepada awal yang baru untuk terbit.

Kita Diciptakan untuk Bertanya

Barangkali tujuan tertinggi kita sebagai puncak kreasi di semesta ini adalah untuk bertanya. Bertanya dan menanya dengan benar hingga tiba di batas tanya yang bernama misteri.

Dan Tuhan adalah Maha Misteri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun