"Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan." (Ki Hajar Dewantara)
Arti Sebuah Nama
Tergoda juga untuk mencari tahu mengapa Raden Mas Suwardi Suryaningrat, Bapak Pendidikan Indonesia, memilih nama Ki Hajar Dewantara.Â
Apakah nama Hajar terinspirasi oleh dua ulama yang menggunakan julukan Ibnu Hajar, yakni Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Hajar al-Haitami?
Z. Arifin Junaidi dalam tulisannya Santri Itu Bernama Ki Hadjar Dewantara menyebutkan kemungkinan bahwa Ki Hajar Dewantara mengambil namanya dari Ibnu Hajar al-Asqalani. Junaidi, Ketua LP Ma'arif NU PBNU dan Sekretaris Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), menyatakan bahwa Kiai Sulaiman Zainuddin Abdurrahman, pengasuh pesantren di Kalasan, Prambanan.Â
Konon Ki Hajar mencetuskan konsep Tri Among: Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah memberi semangat) dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan) berdasarkan ajaran Al-Qur'an.
"Tak banyak yang tahu bahwa kredo itu diinspirasi dan dijiwai ayat-ayat Al Qur'an. Ing ngarso sung tulodo diinspirasi dari ayat laqad kaana lakum fi rasulillahi uswatun hasanatun, yang artinya 'sungguh dalam diri Rasulullah itu ada suri tauladan yang baik'. Ing madyo mangun karso dijiwai ayat wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil aalamin, artinya 'tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebar rahmat untuk seluruh alam'.Â
Tut wuri handayani sangat dijiwai ayat fadzakkir innamaa anta mudzakkir, artinya 'belajarkanlah, sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya seorang pembelajar (membuat manusia belajar)'." (Junaidi, Santri Itu Bernama Ki Hadjar Dewantara)
Sementara itu, Bambang Sokawati Dewantara, putra dari Ki Hajar dalam buku Ki Hajar Dewantara Ayahku mengisahkan bahwa asal-usul nama Ki Hajar berasal dari kelakar R.M. Sutatmo Suryokusumo---anggota Budi Utomo sekaligus kakak sepupu R.M. Suwardi Suryaningrat sendiri---yang menyebutnya Ki Ajar.Â
Sebutan ini diberikan atas kekagumannya kepada Suwardi Suryaningrat dalam ilmu keguruan dan pendidikan. Pada tanggal 3 Februari 1928 Suwardi sebagaimana dikutip dari Asal Usul Nama Ki Hajar di laman National Geographic Indonesia secara resmi berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Nampaknya apa yang disampaikan Bambang lebih otentik dibandingkan daripada yang dikemukakan oleh Z. Arifin Junaidi.Â
Hanya saja bila kita mencoba menengahinya, penggunaan 'Ki' sebelum nama depan dan pemilihan 'Dewantara' sebagai nama belakang, Ki Hajar mengisyaratkan kepada kita kekokohannya dalam berwawasan kenusantaraan. Ia tidak ingin tercerabut dari akar budayanya sendiri. 'Ki' menunjukkan identitas kejawaan.Â
Sementara 'Dewantara' mengisyaratkan sikap toleransi Ki Hajar terhadap keberadaan nilai-nilai religi di Nusantara. Nama yang dipilih Ki Hajar Dewantara secara keseluruhan menggambarkan filsosofi pendidikan atau tuntunan yang ia jalani dan ajarkan.
Dialog Dua Dunia
Menarik sekali apa yang disampaikan Iwan Syahril, guru sekaligus Dirjen GTK Kemendikbud sebagaimana dilansir lama Kemdikbud dengan judul Tokoh yang Berpengaruh terhadap Filosofi Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar adalah tokoh dunia dalam bidang pendidikan.Â
Saat belajar ilmu pendidikan di Belanda Ki Hajar dipengaruhi oleh pemikiran Friedrich Frobel tokoh pendidikan asal Jerman dan Maria Montessori  ahli pendidikan dari Italia. Sepulang dari Belanda, Ki Hajar juga mempelajari pemikiran Rabindranath Tagore, tokoh peraih nobel sastra di luar Eropa yang pertama. Inilah tiga tokoh dunia yang mempengaruhi filsafat pemikirannya dalam dunia pendidikan.
Namun, di sisi lain, menariknya dua dari ketiga tokoh yang Ki Hajar kagumi juga gayung bersambut mengagumi Bapak Pendidikan kita. Tagore dan Montessori secara terbuka menunjukkan sikap hormat terhadap pemikiran dan gagasan Ki Hajar.Â
Bahkan menurut Iwan Syahril, Tagore mengunjungi Taman Siswa, pergi secara fisik ke Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1927.Â
Sementara Montessori mengunjungi Taman Siswa Yogyakarta di tahun 1940. Lebih jauh Iwan Syahril menyebutkan bahwa saat Tagore kembali ke India ia membuatkan ruangan khusus kesenian yang terilhami dari apa yang dilihatnya di Taman Siswa Yogyakarta.
Ki Hajar bukan lagi tokoh pendidikan nasional, ia adalah tokoh dan pemikir dalam bidang pendidikan kelas dunia yang mendialogkan nilai-nilai pendidikan Nusantara di panggung internasional. Rabindranath Tagore dan Ki Hajar mewakili Dunia Timur sementara Montessori dari Dunia Barat.Â
Sungguh indah membayangkan bila Frobel hidup sezaman dengan Ki Hajar dan berdialog secara pemikiran.
Kurikulum Merdeka
Saat Al-Wahid---sekolah di mana saya belajar menjadi pendidik selama 22 tahun ini---mendapatkan kesempatan menjadi pelaksana Kurikulum Merdeka---dan nampaknya atas pertimbangan sebagai guru yang terhitung lama mengajar saja---saya termasuk anggota di dalam Komite Pembelajaran.Â
Bulan Mei dan Juni nanti, kami akan menjalani pelatihan selama 23 hari secara daring.
Kesempatan berharga ini telah memberikan ruang pengenalan terhadap filsafat dan pemikiran Ki Hajar tentang pendidikan. Sejak SD saya sudah mendengar nama Ki Hajar Dewantara. Sejak kecil sudah tahu kalau Ki Hajar adalah Bapak Pendidikan Indonesia.Â
Akan tetapi baru akhir-akhir ini---dan saya sangat malu mengakuinya meski akan sangat memalukan untuk tidak bersikap jujur bila menyembunyikannya---saya mengetahui begitu hebat filosofi dan pandangan Ki Hajar dalam bidang pendidikan. Merdeka belajar misalnya, lahir dari konsep among Tut Wuri Handayani di mana guru memerankan dirinya sebagai fasilitator sementara murid berada di depan dengan segala keunikan potensi dirinya belajar menemukan dirinya. Â
Kutipan pernyataan Ki Hajar yang saya tuliskan sebagai pembuka tulisan ini bahwa 'pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan' menegaskan posisi pendidikan sama sekali bukan sekedar memandaikan murid apalagi mengajarinya, melainkan jauh lebih jembar dari itu, pendidikan adalah membentuk peradaban yang bersendikan nilai-nilai budaya bangsa. Dalam konteks kebangsaan, pendidikan tidak lain dari upaya menjaga sekaligus memastikan keberlangsungan Indonesia itu sendiri. Â
Terasa sangat moderen dan melampui masanya. Saya merasa kuno dan tertinggal.
Saya menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh peserta didik yang pernah berbagi ruang dalam pembelajaran namun tidak mendapatkan layanan yang memadai dari saya sebagai pendidiknya.
Maafkanlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H