Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memaknai Hari Bumi 2022

22 April 2022   15:52 Diperbarui: 24 April 2022   03:21 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bumi dan Kita

Kehidupan memiliki segudang pelajaran untuk diajarkan kepada kita tentang bagaimana hidup dengan baik di atas planet Bumi. Bukan dalam jumlah kecil, mengingat fakta bahwa kehidupan telah berkembang di sini selama 3.85 milyar tahun. Namun, seberapa lamakah itu sesungguhnya? Jika kita anggap usia Bumi 4.5 milyar tahun dan kita pampatkan menjadi 1 tahun, maka 144 tahun akan setara dengan 1 detik......Betapa mudanya spesies kita ini!  

Merinding rasanya membaca tulisan yang dilansir di Biomimicry Net ini. Betapa tidak signifikannya kehadiran kita dalam linimasa planet yang kita huni ini.

Masih di laman yang sama, saya membaca:

"Kini ada 30 juta spesies lainnya di atas planet ini. Bersama mereka, kita mewakili kurang dari 1% dari semua spesies yang pernah hidup sejak kehidupan pertama kali muncul di Bumi 3.8 milyar tahun lalu."

Juga saat membaca paragraf berikut ini:

"Apakah Bumi ini untuk kita? Tentu saja bukan, setidaknya bila kita perhatikan sejauh ini. Bumi ini bukan untuk kita jarah dan habiskan. Bumi dan para penghuningnya merupakan sebuah koleksi kisah kebertahanan hidup yang luar biasa yang mana kita di sini untuk belajar darinya.  

Ketika kita merevisi kisah kita menjadi sesuatu yang kita lihat di Bumi ini dan keanekaragaman hayati sebagai model sekaligus mentor bagi kita, maka hanya dengan begitu, kita akan memiliki motivasi dan sudut pandang yang benar untuk cocok tinggal di dalamnya, untuk bertahan hidup dan berkembang."

Inilah kearifan yang layak kita miliki saat merayakan Hari Bumi tanggal 22 April 2022. Dan perayaan itu bertepatan dengan hari Jum'at ini, Jum'at ketiga dalam bulan Ramadan tahun 2022.

Bulan dan Kita

Masih tentang Bumi kita. Takanori Sasaki, dari Universitas Kyoto sebagaimana dalam tulisannya When a Day Lasted Only 4 Hours (Ketika Sehari Hanya Lamanya Hanya 4 Jam) menyebutkan bahwa sehari tidak selamanya 24 jam. Kenyataannya, lama hari itu pernah hanya 4 jam saja. Sasaki mengatakan bahwa terbentuknya Bumi dan Bulan itu terjadi 4.5 milyar tahun lalu, dan pengaruh Bulan terhadap Bumilah yang menentukan variasi lama hari dan bulan sepanjang sejarah planet Bumi. Menurutnya, hipotesis yang paling diterima tentang terbentuknya bulan terjadi akibat tabrakan besar antara planet seukuran Mars dengan planet yang kemudian kita kenal sebagai purwa-Bumi.

"Tabrakan tersebut telah menghasilkan sejumlah besar serpihan di sekitar Bumi, yang kemudian menyatu dan melahirkan Bulan pada orbit yang hanya sedikit di atas ambang Roche (jarak minimum dari pusat sebuah planet agar satelitnya dapat mengorbit tanpa diremukkan oleh kekuatan gravitasinya). Ambang tersebut sejauh tiga kali jari-jari Bumi, namun kini Bulan berada sejauh 60 kali dari jari-jari Bumi, dan akan berhenti menjauh saat jaraknya mencapai 80 kali lipat dalam jangka waktu milyaran tahun," ungkap Sasaki.

Bulan ternyata memang menjauhi Bumi dari waktu ke waktu. Para ahli mengukur jarak Bumi dan Bulan dengan cara menembakkan sinar laser, dipantulkan dan kembali sampai di Bumi. Dengan menggunakan metode ini, pada tahun 1969, diputuskan bahwa Bulan berjarak 384,400 km dari Bumi. Lalu percobaan membuktikan hal yang mengejutkan bahwa hasil analisis dari Januari 1992 sampai April 2001, para peneliti menemukan bahwa Bulan bergerak menjauh 3.8 cm per tahunnya.

Lalu bagaimana Bulan mempengaruhi lamanya hari dan bulan? Sasaki menjelaskan:

"Bulan menarik masa air dan hal ini mengurangi kecepatan rotasi Bumi. Pada saat yang sama, perubahan pasang-surut akibat rotasi Bumi menarik Bulan, menghasilkan momentum sudut dan secara perlahan menjauh. Bulan pun melambat, mengurangi lama waktu suatu bulan."

Ketika Bulan hanya berjarak tiga kali jari-jari Bumi, lama satu hari di Bumi hanya 4 jam. Seiring waktu, 30.000 tahun setelahnya, durasi hari bertambah menjadi 6 jam. Setelah Bulan berusia 60 juta tahun, satu hari di Bumi lamanya menjadi 10 jam. Dan saat leluhur manusia pertama muncul 4 juta tahun lalu, lama satu hari sudah mendekati 24 jam.

Posisi Bulan semakin penting saat kita menjalani bulan Ramadan. Ia menjadi penanda bermula dan berakhirnya bulan Agung yang kini kita berada di ujung puluhan keduanya.

Ibu Pertiwi dan Ibu Menara Kura-Kura

Pertiwi, nama lain Bumi, berasal dari kata Sanskerta Prithvi. Menurut Weda ia merupakan istri dari Dyaus Pita, dewa langit. Membaca Dyaus Pita mengingatkan kita kepada Zeus Pater alias Jupiter. Sementara menurut Purana, Prithvi adalah istri dari Varaha. Varaha adalah avatar yang dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua-dua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakeram, terompet dari kulit kerang, teratai, dan gada.

Perkenalan saya dengan Bumi berawal dari buku paket bahasa Sunda, Taman Pamekar, yang di dalamnya ada dongeng bahwa Bumi berada di atas tanduk seekor sapi. Saya masih ingat saat SD dulu menatap lekat-lekat ilustrasi planet yang saya tinggali berada di ujung tanduk seekor sapi. Sepuluh tahun kemudian, saya membaca buku Stephen Hawking (1942-2018) A Brief History of Time (Riwayat Sang Kala). Ia mengisahkan dengan jenaka pengalaman Bertrand Russell (1872-1970) saat 'disemprot' seorang ibu sehabis kuliah umumnya tentang kosmologi. Si ibu dengan semangat mengatakan bahwa Bumi itu datar berada di atas punggung seekor kura-kura dan bukan seperti yang sang filosuf Inggris tadi uraikan.

Saat dengan penuh keyakinan Russell balik bertanya, "Ibu yang baik, kura-kura tadi berdiri di atas apa, ya?"

Jawaban si ibu benar-benar membuat Russell terhenyak (atau boleh jadi menahan tawa). "Terus sampai ke bawah adalah kura-kura," tandasnya dengan yakin.

Tawa saya langsung sirna saat membaca pertanyaan yang berujung pertanyaan retoris dari Hawking. "Kebanyakan orang akan menganggap bahwa gambaran ketidakberhinggaan semesta kita seperti halnya menara kura-kura terkesan menggelikan, akan tetapi mengapa kita merasa lebih tahu?

Sebuah sikap yang sering saya dengar dari senior saya, Farzand Abdul Latif sebagai scientific modesty (kerendahan hati ilmiah).

Hari Bumi

Kita, manusia, adalah satu-satunya makhluk penghuni Bumi yang akan dimintai pertanggung jawaban atas perlakuan kita terhadap tempat di mana kita tinggal. Hari Bumi tahun ini mengambil tema Invest in Our Planet (Berinvestasi di Planet Kita). Sebuah pesan untuk tidak menyia-nyiakannya. Sebab ia unik dan boleh jadi tak tergantikan sebagaimana kata-kata Carl Sagan (1934-1996) berikut:

"Perhatikan lagi titik itu. Itu adalah Bumi. Itulah kita. Di atasnya setiap orang yang kita kasihi, setiap orang yang kita kenal, setiap orang yang pernah kita dengar, setiap manusia siapapun itu menjalani hidup mereka. Seluruh dari kegembiraan dan penderitaan kita, ribuan agama, ideologi, dan doktrin ekonomi yang meyakinkan, setiap pemburu dan penjelajah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pencipta dan penghancur peradaban, setiap raja dan petani, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang penuh harapan, penemu dan penjelajah, setiap guru moral, setiap politisi korup, setiap superstar, setiap pemimpin tertinggi, setiap orang suci dan pendosa dalam sejarah ras kita tinggal di sana---di atas butiran debu tertahan dalam sinar matahari.

....

Telah dikatakan bahwa astronomi adalah pengalaman yang membuat kita rendah hati dan membentuk karakter. Mungkin tidak ada gambaran yang lebih baik atas naifnya kesombongan manusia selain gambaran jauh dari dunia kecil kita ini. Bagi saya, itu menggarisbawahi tanggung jawab kita untuk memperlakukan satu sama lain dengan lebih baik, dan untuk melestarikan dan menghargai titik biru pucat, satu-satunya rumah yang pernah kita kenal." (Carl Sagan, Pale Blue Dot, 1994)

Selamat Hari Bumi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun