"Apa beda semut dengan manusia?" tanya Yaqzhan, si bungsu, saat kami berjalan ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah.
"Kita menyadari keberadaan semut di sekitar kita," jawab saya. "Semut nampaknya tidak seperti kita," tambah saya.
"Bukan itu jawabannya, Bah. Kita bisa kesemutan, sementara semut tidak bisa kemanusiaan," tukasnya penuh kemenangan.
Kita akrab dengan jawaban si bungsu tadi. Saya sengaja tidak memilih jawaban tersebut. Saya ingin mengajarinya bahwa kedua jawaban sama-sama belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Manusia dan semut sejauh ini belum bisa berkomunikasi secara komunikatif. Bahasa menjadi tantangan berat untuk sebuah konfirmasi.
Sesampainya di rumah---memanfaatkan momentum Hari Kartini. Giliran saya yang menggoda Sabeela, si cikal.
"Tahu gak siapa nama asli dari RA Kartini? Hari ini Hari Kartini, lho," tanya saya.
"Belum tahu, Bah," jawabnya dengan nada keheranan.
"Harum," jawab saya. "Kan ada dalam lagunya. 'Ibu kita Kartini harum namanya'."
Sejurus kemudian saya sadar kalau kami berbeda generasi. Saya masuk generasi x, sementara Sabeela dari generasi z. Eksplorasi atas lagu-lagu wajib nasionalnya tidak selebar saat saya tumbuh. Bila kita dengan semut terkendala oleh konfirmasi, maka saya dengan Sabeela terkendala oleh karakter generasi.
Teka-Teki untuk Abu Nawas  Â
Saya tidak bisa memastikan keaslian cerita ini. Teramat banyak kisah kejeniusan yang berbalut kejenakaan dinisbahkan kepada sosok legendaris Abu Nawas. Sejatinya Abu Nawas adalah sosok yang benar-benar ada. Beberapa sumber menyebutnya sebagai pujangga Arab sekaligus sufi yang hidup antara tahun 756-814 M.Â
Sifat nyentrik dan parodiknya telah menjadikan ia simbol dari kejenakaan. Bahkan, saat bersyair sendu dengan judul Al-I'tiraf (Pengakuan) ia masih menyisipkan kejenakaan.
Ilaahi lastu lil-firdausi ahlan, walaa aqwa 'ala naaril-jahiimi. Ya, Tuhanku hamba memang tidak layak atas Firdaus-Mu, namun hamba juga tak akan tahan atas api neraka-Mu. Begitulah Abu Nawas. Ia 'bermanja-manja' dan 'berjenaka' dengan Tuhan-nya dalam I'tiraf-nya. Abu Nawas atau Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami adalah antitesis bagi wajah kaku, muram dan tidak humanis dalam beragama. Â Â Â
Salah satu kisah yang dinisbahkan kepada Abu Nawas adalah tentang tiga orang yang menghadap kepada khalifah Harun Al-Rasyid untuk minta putusan atas perkara mereka.
"Begini baginda, saya, Ahmad, mempunyai dua ekor kambing betina, Zulfikar mempunyai seekor kambing jantan, sedangkan Zubair tidak mempunyai kambing. Karena itulah Zubair yang setiap hari harus bekerja menggembalakan kambing.Â
Apabila ketiga kambing itu beranak pinak, maka pembagian keuntungannya juga telah kami sepakati, yakni saya mendapat separuh dari jumlah kambing, Zulfikar memperoleh sepertiga dari jumlah kambing, sedangkan Zubair yang menggembala dan merawat yang mendapat bagian seperdelapannya," terang Ahmad, sebagaimana saya kutip dari tulisan Nur Romdlon, Kecerdikan Abu Nawas selesaikan persoalan pembagian kambing.
Konon, jumlah kambing hasil ternak bersamannya tersebut berjumlah 23. Tentu tidak mudah untuk membagi 23 ekor kambing dengan porsi pembagian tertentu sebagaimana disebutkan Ahmad.
Adalah Abu Nawas yang harus menyelesaikannya. Dan kembali ia bisa menyelesaikan kasus pelik tersebut.
"Tolong bawakan kambing itu masuk semuanya!" pintanya kepada ketiga orang tadi. "Izinkan saya meminjam kambing Baginda, seekor saja!" kata Abu Nawas kepada Harun Al-Rasyid.
"Nah, sekarang saatnya saya akan membagi kambing tersebut sesuai dengan porsi kalian saat perjanjian!" kata Abu Nawas setelah menambahkan kambing milik Harun al Rasyid.
"Ahmad yang berhak memperoleh separuh kambing, maka boleh mengambil 12 ekor. Sedangkan engkau Zulfikar yang memperoleh bagian sepertiganya, maka boleh mengambil delapan ekor!" kata Abu Nawas memerintahkan.
"Terakhir Zubair yang memperoleh bagian seperdelapannya, maka engkau berhak mengambil bagian 3 kambing. Sisa satu, karena saya tadi meminjam satu ekor kambing milik baginda, maka ini saya kembalikan lagi kambing tersebut."
Semua bahagia dan sang Khalifah pun tidak kehilangan kambing kesayangannya.
Sebelum Covid-19 Menenggelamkan Apel Rabu Pagi
Jauh sebelum Corona-19 menyapa kita, saya beberapa kali---tentu dalam tahun pelajaran yang berbeda---menggunakan teka-teki ini untuk menggoda anak-anak SMA Al-Wahid. Biasanya saat apel Rabu pagi. Halaman parkiran sekolah merupakan tempat favorit pagelaran teka-teki berhadiah ini.
Untuk penjelasan matematikanya pembaca bisa membaca tulisan Hendra Gunawan, pengajar matematika di Fakultas MIPA ITB, Teka-Teki Pembagian Warisan. Bila Abu Nawas harus membagi 23 ekor kambing, Hendra, sang dosen matematika ITB mendapat tantangan untuk membagikan warisan 17 ekor kambing.Â
Meski berbeda alur cerita dan jumlah kambing yang harus dibagikan namun pola matematikanya tetap sama.
"Bila kita hitung: 1/2 + 1/3 + 1/9 = (9 + 6 + 2)/18 = 17/18, ternyata lebih kecil daripada 1. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hitung-hitungan ini. Pertama, pemilihan bilangan 18 sebagai jumlah kambing yang mudah dibagi (karena mempunyai banyak faktor).Â
Kedua, menguraikan 18 sebagai jumlah dari beberapa faktornya, termasuk 1, yaitu 18 = 9 + 6 + 2 + 1, yang setara dengan 1 = 1/2 + 1/3 + 1/9 + 1/18. Selanjutnya, kita dapat menyusun teka-tekinya dengan 'menyembunyikan' suku terakhir yang sama dengan 1/18 itu," papar Hendra.
Kuncinya ada pada penyebut dari pecahan yang menjadi porsi pembagian orang yang diteka-tekikan. Bila kita perhatikan penyebut dari tiga pecahan 1/2, 1/3 dan 1/9, maka ketiganya merupakan faktor dari bilangan 18.
 Karena 1/2 + 1/3 + 1/9 sama dengan 9/18 + 6/18 + 2/18 = 17/18 masih perlu 1/18 lagi untuk menjadi 18/18.Â
Jadi memang perlu 1 ekor kambing untuk menjadikan pembagian warisan berupa kambing itu mungkin untuk dilakukan. Begitu pula halnya dengan 1/2 + 1/3 + 1/8 untuk kasus 23 kambingnya Abu Nawas. 2, 3 dan 8 merupakan faktor dari bilangan 24.Â
Dengan pola yang sama kita dapatkan bahwa 1/2 + 1/3 + 1/8 sama dengan 12/24 + 8/24 + 3/24 = 23/24.
Abu Nawas tahu itu. Itulah rahasia Abu Nawas dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi Harun Al-Rasyid, sekaligus mengamankan kambing sang Khalifah Abbasiyah yang dipinjamnya tadi.
Tantangan Berbalas Cokelat
Karena terbatas oleh waktu, biasanya saya menceritakan teka-teki ini lalu meminta Alwahidians untuk memberikan komentar atau pandangan mereka tentang teka-teki ini.Â
Beberapa di antara mereka ada yang berhasil membuat kagum teman-temannya. Atas jawaban dan terutama atas hadiah cokelat yang saya berikan kepada si penjawab. Cokelat memang selalu membawa keceriaan. Â Â
Saya tidak meminta mereka menjelaskan matematikanya. Alwahidians ditantang untuk menjelaskan mengapa 1 kambing itu bisa terlibat tetapi tidak mengubah jumlah kambing yang seharusnya dibagikan.Â
Sebatang cokleat diberikan kepada Alwahidian yang menganalogikan 1 ekor kambing tadi sebagai sebuah katalis dalam reaksi kimia. "Seperti halnya sebuah katalis dalam reaksi kimia. Ia menyebabkan reaksi menjadi lebih cepat untuk mencapai kesetimbangan tanpa mengalami perubahan kimiawi diakhir reaksi.Â
Katalis tidak mengubah nilai kesetimbangan," jelasnya mengutip pelajaran yang ia dapatkan di kelas.
Pagi-pagi meriah itu tersimpan dalam lembaran kenangan Al-Wahid. Suasana pagi yang kita harapkan dapat kita jumpai kembali dalam lembaran yang akan kita buka di depan sana. Semoga!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H