Momen Agustusan selalu diperingati secara meriah sebagai bentuk suka cita atas kemerdekaan Bangsa Indonesia dari belenggu penderitaan penjajahan.
Semua lapisan masyarakat merayakannya, panggung hiburan digelar di berbagai wilayah, di kampung, di kota bahkan di istana negara.
Perubahan zaman, mempengaruhi cara masyarakat merayakannya. Sosial media menuntut semua orang untuk menirunya, memelihara perbudakan tontonan yang tidak mengandung tuntunan demi FYP dan viral.
Meski kekhasan Agustusan masih kental terasa seperti panjat pinang, balap karung, balap bakiak, lomba makan kerupuk, atau lomba makan pisang masih banyak memeriahkan, namun panggung Agustusan kini perlahan-lahan tergantikan oleh fenomena FOMO sosial media. Zaman dulu, tari-tarian tradisional masih menjadi top performa dalam panggung Agustusan, menjadikan Agustusan terkesan sakral dan penuh makna, namun sekarang tergusur oleh joget-joget tiktok yang tak karuan.
Kreatifnya Perlombaan Agustusan, Namun tidak Untuk Sound Horek
Standar tiktok sudah merasuki semua sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk seni dan budaya. Lomba-lomba agustusan dimodifikasi menjadi lebih beragam dan seru, positifnya Agustusan menjadi ajang adu kreatif dan suguhan yang tidak membosankan.
Mirisnya, kekinian itu tidak dibarengi dengan standar yang lebih tinggi, justru semakin banyak budaya baru yang entah apa manfaat dan nilai seninya. Sebut saja battle sound horek yang marak di wilayah Jawa Timur, alih-alih banyak sanjungan, justru mengundang banyak hujatan, sudah biaya sewanya mahal, merusak rumah-rumah masyarakat, menelan korban pula seperti yang terjadi di Jombang, lansia meninggal dunia karena terkena serangan jantung akibat kerasnya suara sound horek.
Tari Remo Yang Terjajah Tarian Joget Tiktok
Zaman boleh berganti, kesakralan Agustusan tidak boleh tergadai. Dulu, di wilayah Jombang setiap malam pentas Agustusan kesenian ludruk atau tarian remo selalu  menjelma sebagai tontotan yang menakjubkan. Tiap RT mengirimkan muda mudinya untuk menari remo mengikuti alunan musik gamelan, ibu-ibu bersorak ria di bawah panggung sebagai tim hore dan bapak-bapak konsisten sebagai penyawer ulung.
Tontonan semacam itu nampaknya, sudah mulai hilang sejak Tiktok merubah standar hidup masyarakat. Musik-musik DJ Remix memenuhi playlist panitia Agustusan, tarian joget tiktok yang tak karuan dengan koreo yang membosankan justru dilombakan, anak-anak kecil tanpa malu menirukan gaya joget orang dewasa yang tak senonoh menghilangkan kesakralan panggung Agustusan. Joget-joget tiktok kini menjadi trend setelah penjajahan K-POP. Padahal negeri ini tidak kurang kesenian koreo yang menawan.
Sepertinya setiap generasi akan menemui masanya sendiri, generasi 90-an beken dengan joget-joget India, generasi 2000-an populer dengan joget-joget ala boyband girlband, generasi 2010-an pandai meniru K-POP dan kini generasi 2020-an terhipnotis oleh joget-joget tiktok. Lalu kapan masa gemufamire atau SKJ kembali booming di tanah kelahirannya sendiri.
Pentas Seni Agustusan Yang Ideal
Idealnya perayaan Agustusan dibuat meriah tanpa menghilangkan kesakralan nilai Agustusan yang menjunjung tinggi nilai etika dan kepantasan.