Hening suasana malam ingatkanku akan sebuah kenangan. Terasa amat sangat sejuk tatkala hati ini mengingatnya. Ingin rasanya kembali dalam masa itu. Namun, aku sadar waktu tak mungkin bisa kembali. Sebait catatan dalam buku harianku seakan membuatku masuk lebih dalam akan masa-masa indah dikala itu.
"Aku anak Pramuka, Aku gak boleh manja. Hujan tak akan surutkan langkahku. Ini tanggung jawab, ini amanah, harus diselesaikan saat itu juga. Seberat  apapun medan yang kutempuh, harus bisa  aku selesaikan karena aku anak Pramuka. Gak boleh Manja! "
Ngoro, 7 Februari 2015
Yah, itulah sepenggal catatan dari buku harianku. Aku ingat benar saat harus mengendarai motor di tengah derasnya hujan di malam hari yang gelap. Seakan tak ingin lepas dari kenangan, kusandarkan tubuhku di kursi kerjaku, sambil menikmati teh hangat buatan nenekku tercinta.
"Kak Yogi..Kak Yogi." suara cewek dari kejauhan terdengar memanggilku.
Langkahku terhenti sejenak setelah mendengar suara memanggil namaku. Kubalikkan tubuhku, sembari mencari-cari siapa yang memanggilku.
"Kak, susah amat sih buat ketemu sama Kak Yogi, dari tadi di cari gak ketemu -ketemu, sekarang ketemu pura-pura gak dengar lagi." dengan nafas terpenggal-penggal dia mencoba berbicara denganku.
"Maaf kak, bukannya pura-pura gak dengar, ini masih banyak pekerjaan kak jadi ya bawaannya keburu-buru terus, maaf  kak ya." jawabku kepada cewek itu yang kukenal bernama Kak Riza kawan karibku di Pramuka.
Memang dia sering mencariku untuk menyampaikan pesan-pesan dari guru atau menyampaikan proposal kepadaku.
"Baik, permintaan maaf diterima asal nanti pulang sekolah mau nraktir aku bakso di kantin "omongnya asal sambil mengajakku duduk di kursi depan kelas.
"Haha bisa aja nih anak. Memangnya ada apa sih kak ?" tanyaku dengan penuh keheranan.
"Gini lho, kakak dari tadi itu disuruh menemui Pak Hadi di ruang guru, tapi karena Kak Yogi  daritadi susah dicari, Pak Hadi nunggu Kak Yogi gak datang-datang, ini tadi Pak Hadi titip pesan ke aku, kalau Kak Yogi nanti sore ditunggu di rumah beliau buat nganterin proposal lomba Pramuka di Malang itu lho kak."  mencoba menjelaskan kepadaku, meski aku susah konsentrasi karena tangannya itu lho yang ikut gerak naik turun ala birama.
"Hah, sore ini? Aku sore ini ada rapat OSIS buat kegiatan purnawiyata kita dua bulan lagi, gimana ini ya, tapi baiklah kak aku akan usahakan." seakan tak percaya dengan penjelasan Kak Riza yang membuatku semakin pusing.
Gimana lagi, inilah tanggung jawab mau nggak mau, siap nggak siap ya harus siap. Seperti prajurit yang siap bertempur di medan perang dalam keadaan apapun. Tidak masalah, dengan seperti ini aku semakin bisa melatih jiwa kepemimpinanku, toh ini juga baik buat masa depan. Benar nggak?
Berjalan menuju kelas, dari kejauhan  aku melihat cewek yang selama ini diam-diam aku taksir berjalan ke arahku, ini membuatku jadi GR dan gerogi.Â
Perlahan demi perlahan langkah kitapun sampai pada titik yang sama, dia taburkan senyuman paling indahnya kepadaku, melukiskan sejuta harapan indah, suaranya yang lembut dan menggetarkan hati terucap menyapaku dengan lembut amat sangat lembut lebih lembut dari helaian kapas.Â
Akupun membalasnya dengan senyuman termanisku juga, yang kata ibuku paling buat ngangenin. Aku tak bisa berkata-kata, hanya itulah balasan yang bisa aku berikan kepadanya.Â
Sungguh aku gerogi. Lebih baik bicara di depan banyak orang atau berpidato diacara perpisahan sekolah daripada berbicara dengannya. Kata-katapun seolah tak ingin keluar dari mulutku saat itu. Sungguh aku heran kenapa itu bisa terjadi kepadaku.
"Ya Tuhan mimpi apa aku semalam, Engkau mempertemukanku dengan dia saat aku sedang pusing-pusingnya mikirin ini proposal." gumamku dalam hati. Senyuman indahnya itu lho yang buat diri ini seakan tak ingin berpaling darinya.
"Yogi, nanti jadikan rapat OSIS kan?" Tanya seseorang yang aku kenal, Aldi rekan seperjuanganku di OSIS. Kita sering gila-gilaan dulu ketika aku belum menjadi ketua OSIS, namun sekarang terasa jauh, ngobrolpun hanya ketika kita bertemu di rapat OSIS. Sudah jaranglah tidak seperti dulu.
"Apa? Â Iya apa, iya rapat OSIS Â nya jadi pulang sekolah iya jadi o." jawabku dengan gelagapan membuat Aldi menertawaiku dan berjalan pergi berpaling dariku.
"Ingat Yog ingat jangan mikirin cewek dulu, tuh proposal banyak yang harus direvisi." celetuknya seakan menyadarkanku kalau aku harus segera ke kelas karena pelajaran jam selanjutnya segera dimulai.
Seperti biasanya kelas hari ini dijam ke-empat adalah  bahasa Indonesia, untungnya guru bahasa Indonesiaku orangnya gokil, lumayanlah buat menyegarkan ini kepala yang pusing banget.
"Assalamualaikum, maaf permisi Pak Janto mau panggil Yogi." terdengar suara bapak-bapak yang seketika membuat kelasku yang awalnya ramai penuh canda tawa karena kegokilan guruku, perlahan-lahan mereda. Ternyata Wakasek Kesiswaanku, Pak Eko.
"Waalaikumsalam." serentak penghuni kelas menjawab salam.
"Iya pak silakan, silakan Yoginya di pungut tidak apa-apa." Â jawab Pak Janto yang kembali membuat suasana kelas penuh tawa.
"Ciyee yang lagi dicariin " saut Rizal, raja resek kelasku. Tapi,gitu-gitu dia teman baikku lho.
Suasana kelaspun penuh tawa, penuh kegokilan seakan terbebas dari beban-beban hidup. Namun, di luar kelas. Aku dan Pak Eko duduk berdua di kursi yang ada di teras kelas. Seperti bapak yang sedang berbicara kepada anaknya.
"Yogi, besok proposal purnawiyata harus segera ada di tangan saya, karena waktunya sudah kurang dua bulan lagi lho, kita belum cari sponsor. Pak Eko berharap nanti pulang sekolah kamu ke ruangan saya bawa file proposal purnawiyata untuk saya koreksi" dengan sorot mata yang tajam kearahku beliau mengutarakan maksud hatinya saat memanggilku ini tadi.
"Maaf pak, besok saja ya pak karena sore ini saya ada rapat OSIS buat melanjutkan rapat purnawiyata pak setelah itu saya ke rumah Pak Hadi buat ngantar proposal lomba Pramuka ke Malang" aku menjawab maksud hati beliau dengan suara yang amat pelan berharap membuat beliau iba kepadaku.
Setelah urusanku dengan Pak Eko telah selesai, beliau pergi meninggalkanku duduk sendiri di kursi teras kelasku. Pikirku dari pada masuk ikut pelajaran lebih baik ke ruang OSIS ngerjakan proposal lomba Pramuka toh laptopku ada di ruang OSIS.Â
Baiklah sedikit nakal gak apa-apa. Meskipun aku jarang ikut pelajaran bukan berarti aku nakal lho ya, dan bukan berarti nilaiku jelek, buktinya nilaiku malah cenderung naik.Â
Dibandingkan mereka yang gak punya kesibukan, nilaiku masih melesat  diatas angin lho, lumayan 15 besar peringkat kelas dari 35 anak di kelas. Gak sombong haha
"Kringgggg...kringggg...kringggg." Suara lonceng berbunyi tiga kali menandakan pulang sekolah telah tiba. Sekali lagi, itu tidak bagiku karena agendaku masih banyak hari ini. Berjalan kembali menuju kelas, aku bertemu dengan sahabatku SMP Â yang kini sudah cukup jauh, karena kesibukan kita masing-masing.
"Semangat Pak Yog...semangat!" Sambil menepuk pundakku. Iya memang kalau di sekolah, teman-temanku lebih suka manggil aku Pak Yog.
Di depan kelasku aku berjalan menindik-nindik sambil menengok ke arah dalam kelas. Melihat apakah sudah  sepi kelasku, syukurlah ternyata sudah. Aku merapikan barang-barangku.
Pukul 14.00 pun sudah tiba, rapat OSIS pun sudah harus aku mulai. Aku bersyukur mempunya rekan-rekan  pengurus  OSIS yang selalu disiplin sehingga aku bisa memulai rapat dengan tepat waktu.
"Duduk siap grak. Sebelum kita mulai rapat pada hari ini marilah kita berdoa sesuai dengan keyakinan kita masing-masing berdoa mulai" pimpinku memulai rapat hari ini ketika tepat pukul 14.00 tiba.
Di luar tak sangka disangka, berjuta-juta tetesan air jatuh menghantam bumi. Suara keras halilintar seakan menyuruh siapa saja untuk diam dalam keheningan. Rapatpun sebentar lagi usai, tapi di luar hujan deras ditambah halilintar keras lagi, padahal sore ini  aku harus  ke rumah Pak Hadi.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 sore, hujan-pun masih dengan derasnya turun ke bumi. Apalagi saat ini listrik padam, jadi bertambah rintanganku. Suasana saat itu, seakan tak mau bekerjasama denganku. Seusai shalat Ashar, aku berpikir dalam-dalam.
"Kalau aku ke rumah Pak Hadi besok gimana ya, besok ada latihan pramuka jadi gak bisa. Tapi amanah-nyakan sore ini gimana ya." Tanyaku kepada halilintar yang sedang berteriak keras..
"Baiklah amanah ya amanah, kalau sore ya sore, apapun rintangannya tak peduli, tetap harus segera dijalankan." omongku sendiri dibawah tetesan air hujan, aku berjalan menuju tempat parkir untuk mengambil motorku.
"Ya Tuhan,aku gak bawa jas hujan, gimana ini" Aku semakin kebingungan.
Matahari-pun yang sedari tadi sore tak terlihat karena awan hitam pembawa hujan menutupinya, membuat dunia terasa gelap, terlebih sekarang sudah hampir maghrib.Â
Bisa dibayangkan gelapnya seperti apa, ditambah listrik di daerah sekolahku padam, mungkin ada pemadaman listrik ya. Dengan langkah yang tidak terisi sedikitpun akan keraguan, aku mantapkan langkahku.Â
Sebenarnya aku tidak tahu pasti dimana rumah Pak Hadi, yang aku tahu rumah beliau ada di dekat Pasar. Jauh dari sekolahku, pastinya juga jauh dari rumaku. Iya disana  di pelosok perbatasan kota ini.Â
Angin sore seolah-olah berkompromi dengan air hujan untuk membuat tubuhku menggigil kedinginan. Helm yang aku pakaipun rasanya sudah penuh dengan air. Aku gak boleh manja, aku harus kuat dengan bekal yakin itulah aku tetap berani melanjutkan perjalanan.
Di toko dekat pasar aku mencoba untuk berteduh sejenak untuk mengingat dan mencari tahu tentang rumah Pak Hadi, barangkali aku pernah tahu tapi sekarang lupa.
"Oh iya aku ingat rumah Pak Hadi  masuk ke gang itu" bicaraku seolah-olah bicara pada derasnya air hujan yang sedari tadi sore setia menemaniku.
Akupun kembali melanjutkan perjalanan. Rumah-rumah di gang yang aku masuki tak ada satupun yang terlihat jelas, semuanya terlihat samar-samar. Seperti  meraba-raba jarum yang hilang di ubin pada malam yang gelap, aku mencoba menebak-nebak dan akhirnya memutuskan memasuki pekarangan rumah seseorang yang aku yakini itu rumah Pak Hadi.
 "Assalamualaikum." Salamku ke arah pintu rumah sambil menggigil kedinginan seperti anak kucing kehujanan.
"Wa`alaikumsalam, Iya Yogi ayo masuk Yog." Jawab Pak Hadi yang saat itu aku lihat sangat berbeda hanya memakai sarung dan  kaos tidak seperti saat di sekolah. Beliau memperkenankanku masuk ke dalam rumahnya.
"Maaf pak, disini saja. Ini pak proposal yang bapak minta, maaf pak tadi saya tidak bisa menemui bapak saat di sekolah, saya ada di ruang wakasek" Balasku dengan menyerahkan proposal kepada beliau.
"Ya sudah pak maaf, saya pulang dulu sudah malam takut nenek gelisah mencari saya" lanjutku sembari berjabat tangan dan mencium tangan beliau.
"Sekali lagi terimakasih Yog ya hujan--hujan gini kamu datang kemari padahal rumah kamu jauh, maaf merepotkan Yog ya." Ucap beliau meminta maaf dan berterimaksih kepadaku.
Diderasnya air hujan, tubuhku mengginggil. Dingin rasanya tubuhku seakan-akan tulangku dimasukkan kedalam freezer kulkas dan kulitku menjadi pembungkus balok-balok es. Hari semakin malam, sang rembulan-pun yang remang-remang  menjadi teman perjalanan pulang.Â
Menihkmati kerasnya suara halilintar ciptaan Tuhan. Dengan hati yang lega sekali karena telah berhasil menjalankan amanah, meski diri sendiripun tak terhiraukan. Hujanpun serasa kagum denganku. Ia menemaniku sepanjang perjalanan pulang. Akhirnya aku bisa menyelesaikan amanah ini.
Seperti merangkai pionering, tongkat dan tali yang dirangkai kuat membentuk bangunan kokoh, awalnya terasa lemah dan susah menemukan simpul yang kuat, karena konsistensi untuk terus belajar dan menjadi yang terbaik, berdirilah pionering kokoh itu. Sama halnya dengan keberhasilan, didasari oleh niat dan di jalankan oleh usaha yang giat.
Pramuka membentuk karakterku, pantang menyerah dan totalitas dalam menyelesaikan tugas. Pramuka terbukti mampu menciptakan sumber daya manusia yang profesional dan proporsional.
Jombang, 15 Februari 2015, diedit Indramayu, 14 Agustus 2023.
Selamat Hari Pramuka Ke-62.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H