Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Pertanian melarang eskpor porang berupa bahan mentah seperti umbi. Ekspor porang ke luar negeri harus berupa bahan setengah jadi atau bahan jadi. Seperti dikutip dari Kompas.com (1/8/2021).
Pasalnya porang merupakan salah satu bahan baku industri yang kaya akan manfaat. Selain itu umbi porang juga berpotensi besar menjadi bahan pangan alternatif selain padi atau jagung.
Kandungan glukomanan yang tinggi, menjadi kelebihan dari porang. Karena glukomanan berperan penting sebagai bahan baku industri seperti lem dan kosmetik, selain itu juga menjadi bahan pangan alternatif yang kaya gizi dan mampu menurunkan kadar gula dalam darah.
Porang (Amorphophallus muelleri blume) merupakan tanaman hutan yang dewasa ini banyak dibudidayakan oleh petani karena memiliki harga tinggi. Umunya porang dibudidayakan di bawah pohon naungan seperti pohon jati atau di bawah jaring paranet dalam skala komersial luas.
Dampak Larangan Eskpor Umbi Porang
Larangan ekspor umbi porang memberikan pukulan tersendiri bagi industri porang. Tidak hanya di sektor hilir, sektor hulupun terhantam. Perlu adanya penyesuaian dan persiapan hingga pelaku industri porang dapat pelan-pelan berkompromi dengan keadaan.Â
Tidak hanya bagi pelaku hilir saja seperti pengepul atau pabrik-pabrik porang, di sektor hulu-pun petani sangat terdampak akibat larangan eskpor porang ini.
Di Indonesia, porang banyak dibudidayakan di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Nusa Tengga Barat.Â
Selain umbi porang, pemerintah juga melarang penjualan benih porang berupa benih katak atau benih umbi. Melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 30/2021 tentang Pengawasan Peredaran Benih Porang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai daerah sentra terbesar porang.
Nilai Ekspor Porang Anjlok
Sejak 2021 silam, pelarangan ekspor bahan mentah porang berupa umbi diketatkan. Pemerintah berupaya mendorong industri untuk dapat mengekspor porang dalam bentuk bahan setengah jadi seperti chips porang atau bahan jadi seperti beras, tepung, atau mie.
Alasannya adalah agar mampu meningkatkan nilai tambah secara ekonomi untuk komoditas porang. Seperti yang disampaikan oleh Deputi Bidang Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan NFA Andriko Noto Susanto dikutip dari Bisnis.com (20/7/2023).