Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cultuurstelsel, di Balik Alasan Belanda Memilih Tebu dan Kopi Bukan Sagu atau Padi

4 Maret 2023   18:06 Diperbarui: 6 Maret 2023   11:33 2518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Van den Bosch mengenalkan gagasan sistem tanam paksa yang kemudian terkenal dengan nama Cultuurstelsel  (Kartodirjo dan Suryo, 1991: 53) "

Motif utama cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1830 dilatar belakangi oleh kondisi keuangan khas negara Belanda yang defisit dan menyebabkan hutang negara yang cukup besar.

Hal ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu kekalahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).

Selain itu kegagalan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelumnya yaitu Thomas Stamford Raffles (1811-1816)  untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang gagal lewat kebijakan sistem sewa tanah (landrente). Faktor dalam negeri Belanda adalah terjadinya perang Napoleon serta isolasi ekonomi yang terjadi saat itu.

Sehingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal barunya yaitu Van Den Bosch mencetuskan gagasan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di wilayah jajahannya seperti Indonesia untuk mendukung memulihkan keuangan negara Belanda.

Sistem tanam paksa di Indonesia memiliki ciri-ciri yaitu keharusan setiap desa untuk menyisihkan 20% luas tanahnya untuk ditanami komoditi-komiditi ekspor seperti tebu, kopi, kina dan teh.

Hasil panen tanaman tersebut dijual ke Pemerintah Hindia Belanda dengan harga yang telah ditentukan. Jika hasil penjualan panen tersebut melebihi jumlah pajak yang harus dibayarkan desa ke Pemerintah Belanda, maka kelebihan tersebut akan dikembalikan ke desa sebagai khas desa, namun jika kurang dari jumlah pajak yang harus dibayar desa, maka desa wajib membayarnya dari sumber-sumber yang lain.

Tidak hanya itu, bagi warga yang tidak memiliki tanah maka wajib bekerja di 20% kebun-kebun milik Belanda selama 75 hari dalam setahun. Aturan-aturan terkait pelaksanaan sistem tanam paksa termuat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22.

Awalnya, cuulturstalsel secara harfiah dimaknai sebagai kebijakan budidaya tanaman terutama tanaman ekspor untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, secara pelaksanaan, cuulturstalsel dimaknai sebagai sistem tanam paksa tidak terbatas pada ekonomi saja, melainkan juga sosial politiknya sehingga sangat menyengsarakan rakyat.

Kewajiban Rakyat Menanam 150 Batang Kopi

Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia era Kolonialisme Belanda terjadi dalam periode tahun 1830 hingga 1870. Selama itu rakyat Indonesia hidup dalam penderitaan penjajahan hasil pertanian oleh Belanda.

Dalam pelaksanaanya, sistem tanam paksa rakyat dimandori oleh para lurah-lurah desa mereka, namun tetap dalam pantauan dari pegawai-pegawai Eropa terutama dalam hal budidaya tanaman dan muat hasil panen.

Di setiap daerah di Indonesia, Belanda memberlakukan tanam tanaman komoditi ekspor yang sesuai dengan iklim dan kondisi geografis wilayah tersebut.

Contohnya di beberapa wilayah di Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyarakarta rakyat diharuskan untuk menanam tebu sesuai dengan aturan sistem tanam paksa yang berlaku.

Di Pulau Sumatera, Belanda memaksa rakyat untuk menanam lada seperti yang dilakukan di Lampung dan Palembang, dan tanam kopi di Minangkabau.

Kewajiban tanam paksa kopi di Minangkabau ini ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gubernur Sumatra’s Westkust Andreas Victor Michiels tertanggal 1 November 1847. Surat tersebut mengatakan setiap keluarga yang memiliki tanah dan iklim yang cocok untuk tanaman kopi, diwajibkan menanam kopi sebanyak 150 batang.

Rakyat diwajibkan menjual kopinya hanya ke Belanda dengan harga yang sangat murah dibandingkan harga jual ekspor Belanda. Hal inilah yang menambah rakyat semakin menderita.

Tidak hanya itu, di Ambon, Belanda tergiur dengan cengkehnya, di Minahasa dengan tanaman kelapanya, dan Banda dengan tanaman pala. Di wilayah-wilayah dataran tinggi, Belanda mengeksploitasi tanaman teh rakyat. Semua dilakukan dengan sistem tanam paksa dan perampasan paksa.

Dalam beberapa sumber sejarah dikatakan, awalnya Belanda memang mengharuskan 20 % lahan rakyat atau desa untuk ditanami komoditi tanaman ekspor, namun secara praktik Belanda memaksa untuk menanami hingga setengah dari luas lahan untuk ditanami tanaman ekspor dengan harga hasil panen yang rendah.

Mengapa Tebu dan Kopi?

Sistem tanam paksa dengan mengharuskan menanam komoditi tanaman ekspor seperti tebu, kopi, kina, teh, kelapa, cengkeh, dan tembakau yang merupakan komoditi tanaman perkebunan di Indonesia berlangsung 40 tahun lamanya.

Mengapa Belanda memilih tanaman perkebunan? Bukankah makanan pokok masyarakat Indonesia saat itu adalah ubi-ubian, sagu, jagung dan padi?

Seperti tujuan utama Pemerintah Belanda bahwa komoditi tanaman-tanaman ekspor adalah untuk diperdagangkan di Eropa, maka rempah-rempah Indonesia yang sejak jaman VOC sudah dikenal di dunia semakin diperluas untuk dikembangkan apalagi setelah sistem tanam paksa diterapkan. Daripada harus menanam komoditi tanaman baru dan membuka pasar baru.

Tujuan pasar utama adalah bangsa Eropa yang lebih suka mengkonsumsi rempah-rempah ataupun kopi, dengan sumber karbohidrat utamanya adalah dari gandum bukan dari padi atau jagung. 

Hal yang normal, jika Belanda lebih memilih komoditi perkebunan seperti kopi atau tebu untuk dikembangkan bukan jagung ataupun padi.  Komoditi perkebunan Indonesia yang cukup potensial dimanfaatkan sebagai sumber penghasil dana yang menggiurkan bagi pemerintahan kolonial Belanda.

Dampak dari sistem tanam paksa inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia saat itu begitu menderita, pasalnya lahan-lahan yang biasa ditanami padi, jagung, atau sagu harus dengan paksa ditanami tanaman-tanaman ekspor untuk Belanda.

Akibatnya pasokan makanan masyarakat Indonesia sangat sedikit, kelaparan tak terhindarkan terjadi.

Selain itu, dari sisi budidaya tanaman, tanaman-tanaman perkebunan cocok untuk dikembangkan secara luas di wilayah Indonesia yang tropis. Tanaman perkebunan ditanam hanya sekali, namun dapat dipanen berkali-kali. Secara bisnispun tanaman perkebunan lebih menjanjikan daripada tanaman pangan masa itu.

Sehingga hal inilah yang melatarbelakangi Belanda lebih memilih tanaman perkebunan seperti tebu dan kopi daripada tanaman pangan seperti jagung, sagu atau padi.

Referensi :

Sondarika, W. Dampak Culturstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870. Jurnal Artefak. Universitas Galuh Ciamis. 

Yuan, L.F. 2018. Perkebunan Kopi Di Karesidenan Banyumas Masa Tanam Paksa Tahun 1836-1849. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah 2018. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak (kompas.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun