Tujuan pasar utama adalah bangsa Eropa yang lebih suka mengkonsumsi rempah-rempah ataupun kopi, dengan sumber karbohidrat utamanya adalah dari gandum bukan dari padi atau jagung.Â
Hal yang normal, jika Belanda lebih memilih komoditi perkebunan seperti kopi atau tebu untuk dikembangkan bukan jagung ataupun padi. Â Komoditi perkebunan Indonesia yang cukup potensial dimanfaatkan sebagai sumber penghasil dana yang menggiurkan bagi pemerintahan kolonial Belanda.
Dampak dari sistem tanam paksa inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia saat itu begitu menderita, pasalnya lahan-lahan yang biasa ditanami padi, jagung, atau sagu harus dengan paksa ditanami tanaman-tanaman ekspor untuk Belanda.
Akibatnya pasokan makanan masyarakat Indonesia sangat sedikit, kelaparan tak terhindarkan terjadi.
Selain itu, dari sisi budidaya tanaman, tanaman-tanaman perkebunan cocok untuk dikembangkan secara luas di wilayah Indonesia yang tropis. Tanaman perkebunan ditanam hanya sekali, namun dapat dipanen berkali-kali. Secara bisnispun tanaman perkebunan lebih menjanjikan daripada tanaman pangan masa itu.
Sehingga hal inilah yang melatarbelakangi Belanda lebih memilih tanaman perkebunan seperti tebu dan kopi daripada tanaman pangan seperti jagung, sagu atau padi.
Referensi :
Sondarika, W. Dampak Culturstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870. Jurnal Artefak. Universitas Galuh Ciamis.Â
Yuan, L.F. 2018. Perkebunan Kopi Di Karesidenan Banyumas Masa Tanam Paksa Tahun 1836-1849. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah 2018. Universitas Negeri Yogyakarta.
Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak (kompas.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H