Sehingga perlu melakukan penelitian mandiri untuk melihat anomali perubahan cuaca yang ada, sehingga dampak dari anomali perubahan cuaca tersebut bagi tanaman padi dapat diantisipasi leih cepat dan tepat.
Selain itu, menurut mereka ramalan cuaca BMKG sifatnya global bukan spesifik lokal atau mikroklimat.
Sudah hamper 14 tahun perkumpulan petani curah hujan Indramayu ada. Eksistensi dan pengaruhnya masih sangat terasa bagi petani-petani di luar perkumpulan.
Mereka dianggap sebagai petani penggerak yang tidak hanya bermodal teori saja melainkan juga pengalaman dan data-data ilmiah.
"Kondisi yang dihadapi petani sekarangkan makin rentan ya, makin tidak menentu karena konsekuensi perubahan iklim. Bagaimana petani kalau tidak mencatat, hanya diingat, kan bisa lupa, perlu ada dimensi ilmiahnya, dimensi sebagai peneliti sebagai ilmuwan. Jadi mencatat itu merupakan sebuah tradisi baru, kebiasaan baru yang tidak mudah, tapi akhirnya saya pikir, ada manfaatnya mencatat" Terang Prof Yunita dalam wawancaranya dengan BBC News Indonesia.
P2TPI tidak hanya didampingi oleh Prof Yunita melainkan juga didampingi alm. Kees Stigter agrometeorologi asal Belanda.
 Tidak hanya belajar mengukur curah hujan, P2TPI juga belajar bagaimana menyikapi cuaca terhadap kondisi tanah, tanaman, dan pupuk agar tanaman padi mereka tetap tumbuh produktif dan efisien secara biaya.
"Kemudian dari evaluasi itu ada eksperimen-eksperimen yang kita lakukan, yaitu dengan eksperimen varietas, eksperimen tanah dan pupuk" Ucap Nurkilah ketua P2TPI.
Meski mereka memegang data-data ilmiah, mereka juga tidak melupakan ajaran nenek moyang yaitu ilmu titen atau pranata mangsa menggunakan penanggalan jawa. Sehingga kedua ilmu tersebut dikolaborasikan dan dikombinasikan.
Perlu dukungan nyata dari pemerintah baik daerah maupun pusat agar perkumpulan-perkumpulan semacam ini berkembang ke seluruh pelosok Indonesia.