"Sebenarnya SKCK itu fungsinya apa sih? Kok eks-koruptor bisa nyaleg lagi, apa mereka nggak melampirkan SKCK sebagai persyaratan. Diskriminatif dong, bekas narapidana pencurian ayam saja kalau melamar kerja tetap harus melampirkan SKCK, kan sama-sama mantan pelaku kejahatan"
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan secarik kertas ini. Ya, SKCK seringkali menjadi syarat penting dokumen yang harus dilampirkan dalam melamar suatu pekerjaan atau untuk mendapatkan beasiswa pendidikan.
Terlihat saat musim melamar pekerjaan, banyak masyarakat terutama para lulusan-lulusan baru yang mengejar SKCK hingga ke Polres ataupun Polsek di wilayahnya. Hanya untuk mendapatkan satu lembar kertas yang berisikan catatan Kepolisian tentang biodata warga negara pernah atau tidak melakukan tindakan pidana. Hal ini menunjukkan, betapa saktinya kertas bernama SKCK di Indonesia.
Namun apa jadinya jika SKCK hanya sekadar dijadikan sebagai syarat belaka dan sumber diskriminatif warga negara?. Buktinya eks-koruptor bisa nyaleg lagi tanpa harus melampirkan SKCK. Padahal menjadi legislatifkan "terhormat", masak legislatif "bekas koruptor", kotor sekali kualitas legislatif kalau seperti itu. Lalu masihkah relevan fungsi SKCK?
Jika kita melihat Pasal 240 ayat (1) huruf G Undang-undang Pemilu no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi :
"Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".
Dilanjutkan pada pasal 240 ayat (2) huruf C berbunyi :
“Surat pernyataan bermeterai bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana”.
Cukup jelas bukan, bahwa sebenarnya negara pun diskriminatif kepada warga negara melalui aturan tersebut. Jika masyarakat biasa saja harus melampirkan surat catatan kebaikan jika ingin melamar suatu pekerjaan, mengapa eks koruptor yang jelas-jelas maling dan pelaku kejahatan diijinkan nyaleg lagi tanpa melampirkan surat catatan kebaikan? Sebaiknya SKCK dihapus saja sebagai syarat administratif apapun di Indonesia.
Padahal menjelang Pemilu 2019 lalu, KPU pernah merilis aturan bahwa eks-koruptor tidak boleh nyaleg lagi, tetapi Mahkamah Agung (MA) justru membatalkan aturan tersebut dan memperbolehkan eks-koruptor nyaleg lagi.