Setiap tempat selalu membawa kisahnya masing-masing. Terlebih tempat baru yang belum pernah kita datangi sebelumnya.
Gunung Sumbing, salah satu gunung di Jawa Tengah dengan ketinggian 3.371 mdpl menjadikannya gunung tertinggi ke-tiga di Pulau Jawa, hal itu membuat daya tarik Gunung Sumbing semakin kuat dikalangan para pendaki gunung.
Mumpung masih di Temanggung sebelum mutasi penempatan baru, kami mendaki Sumbing melalui jalur religi yaitu Desa Glapansari Kecamatan Parakan.
Pos perbatasan desa dengan area persawahan menjadi titik berkumpul sekaligus awal pemberangkatan kami. Kami bertiga ditemani dengan pemuda desa yang siap menjadi “tourguide”.
Rencana awal kami memulai pemberangkatan pukul 07.00 WIB, namun nyatanya harus molor hingga pukul 09.00 WIB akibat motor yang kita tumpangi untuk menuju sampai di Perhutani (Pos Masuk) tidak kuat menanjak, alhasil kita jalan kakisejauh 3 KM, jalan bebatuan, tanjakan curam, cukup menguras tenaga kami, padahal perjalanan yang sesungguhnya belum dimulai.
Sebelum melakukan pendakian gunung alangkah baiknya kita memahami jalur-jalur pendakian resmi. Jalur pendakian Gunung Sumbing secara resimi terdapat 5 jalur, yaitu jalur Garung cocok untuk pendaki pemula, Jalur Cepit atau Glapansari dengan keindahan pemandangannya,
Kemudian, jalur Kali Angkrik melalui basecamp Desa Butuh dan Desa Mangli Kabupaten Magelang, jalur Bowongso yang ada di Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo , dan Jalur Sipetung di Kledung, Temanggung.
Selalu update informasi sebelum melakukan pendakian ke gunung sumbing, masing-masing jalur sudah ada kontak informasi yang bisa dihubungi.
Kembali lagi, setelah cukup istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Jalanan yang rimbun penuh rerumputan dan pohon-pohon tua yang bertumbangan yang pertama menyambut perjalanan kami. Maklum, pendakian Sumbing baru dibuka kembali untuk umum 7 Mei 2022.
Satu jam tak terasa perjalanan kami sudah tiba di pos 1, sekeliling kami hanya ada ilalang dan rerumputan yang rimbun sekali, mirip dengan hutan hujan tropis yang tak pernah dijamah sebelumnya.
Mungkin pandemi beberapa waktu lalu, menjadi cara Tuhan agar pohon-pohon, rerumputan dan binatang-binatang di dalamnya benar-benar merasakan kedamaian tanpa ada interaksi dengan manusia yang cenderung mengganggu.
Perjalanan menuju pos dua, dikagetkan dengan sosok misterius. Keluar dari semak-semak, berjalan menyebrang dari jalan yang kita lalui, sosok hitam, berkaki empat, yang paling ditakuti pendaki siapa lagi jika bukan “Si Bagas” alias si babi hutan yang ganas.
Memang Gunung Sumbing dikenal dengan banyak babi hutannya yang ganas, yang tak segan mengganggu atau merampok makanan para pendaki.
Lega rasanya, si bagas langsung kembali menghilang, kami tidak bisa membayangkan jika dia menyerang kami, karena sekeliling kami hanya ada semak-semak belukar, tidak ada tempat untuk mengamankan diri.
Pepohonan yang rimbun, tergantikan dengan padang ilalang yang luas setelah kami memasuki perjalanan menuju pos 3.
Bekas kebakaran hebat di tahun 2018 masih nampak segar, pohon-pohon yang kering hangus, ilalang yang menggundul menjadi saksi, semoga tidak terjadi kembali dan alam Gunung Sumbing kembali menghijau.
Sepanjang perjalanan hanya ilalang yang menemani, dari ketinggian sekitar 2.500 Mdpl, indahnya Kawasan Temanggung dan Wonosobo terlihat jelas, memang siang itu cuaca sedang cerah-cerahnya, matahari sedang terik-teriknya, memaksa kami harus pandai mengelola energi dan asupan makanan perbekalan.
Tai babi hutan yang masih segar kembali kita jumpai, menandakan “si bagas” baru saja menyusuri tempat ini, wajar kan rumahnya, sedangkan kami adalah tamunya.
Tiba di watu kasur, bebatuan besar yang berbentuk seperti kasur menyambut kami. Mungkin itulah sebabnya tempat peristirahatan ini dijuluki watu kasur.
Tepat pukul 15.00 WIB terlihat dari jam tangan yang kami pakai. Pemuda desa menyarankan kami mengambil air untuk tambahan pasokan di sungai dibawah tebing.
Awalnya cukup ngeri, Ketika mendengar “di bawah tebing”, setelah dituntun dan ditemani pemuda desa cukup aman jalur yang dilalui untuk turun menuju sungai.
Khas sungai pegunungan, air yang jernih, sejuk dan suara rintikan air yang mengalir pelan cukup membuat syahdu suasana. Bergantian kami membasuh muka, merasakan kesegaran air murni pegunungan sumbing, segar sekali rasanya.
Cukup lama kami beristirahat di tempat ini, setelah shalat asyar dan dhuhur yang kami gabung dan cukup mengambil pasokan air, kami kembali bergegas menuju waktu kasur. Tidak terasa sudah pukul 17. 00 WIB.
Melanjutkan perjalanan menuju pos segara wedi, salah satu rekan kami mengalami kelelahan hebat, alhasil kita beristirahat kembali dan menyuplai tubuh dengan makanan yang kita masak.
Sambil menikmati makanan yang kita masak, begitu indah sekali matahari yang terbenam diantara pegunungan sindoro dan prau. Merah jingga khas senja yang “didewakan” anak indie begitu nyata cantiknya dari atas sumbing.
Malam semakin menggelap, untungnya sinar rembulan begitu terang, membantu kami berjalan. Di luar kehendak kami, kami terpisah dengan pemuda desa yang menjadi tourguide. Padahal Sebagian besar pembekalan kami ada disana.
Berjalanan perlahan sambal membopong ringan langkah kaki teman kami yang sedang sakit, kami menyusuri jalan hanya berdasarkan feeling, karena belum ada yang pernah mendaki sumbing via jalur religi.
Suasana semakin menegang dan mencekam, kami tersesat tinggal bertiga. Teman kami yang sakit dan yang membopongnya jauh tidak terlihat, padahal kami berjalan tepat di depan mereka. Pikiran sudah berkecamuk, hingga pukul 22.00 WIB kami belum juga sampai di segara wedi, sekali lagi kami menyimpulkan bahwa kami benar-benar tersesat.
Angin malam yang begitu riuh, kabut yang semakin tebal memaksa kami mendirikan tenda darurat menghindari jika ada binatang buas atau cuaca yang berubah menjadi ekstrim.
Terlelap dalam tidur singkat, suara langkah kaki mendekati tenda. Kami saling melempar kuasa siapa yang berani mengecek keluar.
Aku mengalah, mengecek keluar tenda ditemani sinar sentolop, didapati tidak ada apa-apa, hal itu membuat kami semakin pucat. Berlagak acuh dengan kondisi malam itu, kamipun beristirahat dengan tenang.
Matahari timur mulai menampakkan rona jingganya, kami keluar tenda dan sedikit meresapi apa yang sebenarnya terjadi dengan kami semalam.
Setelah selesai membereskan tenda, kami memutuskan untuk kembali menuruni Gunung Sumbing. Tengok ke atas tengok ke bawah, kanan kiri tersadar, bahwa semalam kami mendirikan tenda tepat di tebing rajawali, yaitu tepat di bawah puncak rajawali, semakin merinding kami menyadarinya.
Meski kami tidak bisa berdiri di papan tulisan puncak rajawali Gunung Sumbing, kami tetap bangga dengan pencapaian kami, ini adalah puncak kami, terlebih kami sudah berani hingga sampai di tebing rajawali yang konon katanya ngeri dan rumah bagi macan tutul Gunung Sumbing.
Gunung sumbing akan menjadi kisah tersendiri bagi kami, dengan segala kemisteriusannya. Memang selain kondisi tubuh yang baik, pembekalan yang memadai, niat dalam perjalanan ke alam bebas harus benar ditata.
Salah niat akan mengakibatkan hal-hal buruk sering terjadi. Gunung sumbing cukup ramah untuk kami yang baru bertamu kepadanya, terutama keramahan para babi hutan penghuningnya.
Terima Kasih, Next Prau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H