Mungkin pandemi beberapa waktu lalu, menjadi cara Tuhan agar pohon-pohon, rerumputan dan binatang-binatang di dalamnya benar-benar merasakan kedamaian tanpa ada interaksi dengan manusia yang cenderung mengganggu.
Perjalanan menuju pos dua, dikagetkan dengan sosok misterius. Keluar dari semak-semak, berjalan menyebrang dari jalan yang kita lalui, sosok hitam, berkaki empat, yang paling ditakuti pendaki siapa lagi jika bukan “Si Bagas” alias si babi hutan yang ganas.
Memang Gunung Sumbing dikenal dengan banyak babi hutannya yang ganas, yang tak segan mengganggu atau merampok makanan para pendaki.
Lega rasanya, si bagas langsung kembali menghilang, kami tidak bisa membayangkan jika dia menyerang kami, karena sekeliling kami hanya ada semak-semak belukar, tidak ada tempat untuk mengamankan diri.
Pepohonan yang rimbun, tergantikan dengan padang ilalang yang luas setelah kami memasuki perjalanan menuju pos 3.
Bekas kebakaran hebat di tahun 2018 masih nampak segar, pohon-pohon yang kering hangus, ilalang yang menggundul menjadi saksi, semoga tidak terjadi kembali dan alam Gunung Sumbing kembali menghijau.
Sepanjang perjalanan hanya ilalang yang menemani, dari ketinggian sekitar 2.500 Mdpl, indahnya Kawasan Temanggung dan Wonosobo terlihat jelas, memang siang itu cuaca sedang cerah-cerahnya, matahari sedang terik-teriknya, memaksa kami harus pandai mengelola energi dan asupan makanan perbekalan.
Tai babi hutan yang masih segar kembali kita jumpai, menandakan “si bagas” baru saja menyusuri tempat ini, wajar kan rumahnya, sedangkan kami adalah tamunya.
Tiba di watu kasur, bebatuan besar yang berbentuk seperti kasur menyambut kami. Mungkin itulah sebabnya tempat peristirahatan ini dijuluki watu kasur.
Tepat pukul 15.00 WIB terlihat dari jam tangan yang kami pakai. Pemuda desa menyarankan kami mengambil air untuk tambahan pasokan di sungai dibawah tebing.