Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Tengah Modernisasi, Sistem Upah Bawon di Indramayu Masih Membumi

1 Agustus 2022   18:00 Diperbarui: 1 Agustus 2022   21:09 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanam padi (Dokpri 2021)

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Indramayu pada tahun 2020 merupakan produsen beras tertinggi secara nasional. Memiliki luas panen padi 226.626 hektare (ha). Dari luas ini, diperoleh produksi padi 1.363.312 ton gabah kering giling (GKG) atau produksi berasnya sebesar 782.132 ton. Menjadikannya sebagai lumbung padi nasional.

Secara geografis, Kabupaten Indramayu terletak di pesisir utara Pulau Jawa dengan panjang garis pantai 147 Km. Jarak terpanjang Kabupaten Indramayu menurut garis lurus adalah Barat Timur 70 Km dan Utara – Selatan 40 Km. 

Meski memiliki sawah padi terluas di Jawa Barat, petani-petani Indramayu nyatanya  tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tradisi kearifan lokal dalam sistem budidaya maupun pengupahannya.

Salah satu tradisi nenek moyang yang masing dijalankan hingga sekarang adalah tradisi sistem pengupahan bawon. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bawon adalah pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak sedikitnya padi yang dipotong.

Lebih luasnya, sistem upah “bawon” merupakan sistem bagi hasil yang diberikan kepada buruh tani yang mengerjakan sepetak lahan dari mulai masa tanam padi sampai masa panen, yang besarnya bagi hasil tersebut bergantung pada luas lahan pertanian dan hasil produksi padi. 

Upah bawon tersebut didapatkan dari hasil bekerja memotong padi secara bersama-sama atau dalam bahasa jawa disebut dherep. 

Dalam proses panen, pelibatan tetangga atau keluarga di sekitar kawasan rumah pemilik lahan cukup diperlukan. Bagi warga desa, hal semacam ini adalah sebagai upaya untuk memupuk kerukunan, kekeluargaan dan semangat gotong royong antar masyarakat.

Pengerjaan proses panen biasanya dilakukan kurang lebih 20 orang per hektarenya. Pembagian tugasnya meliputi tim pengarit atau pemotong padi, tim perontok padi dengan mesin (gerabak) dan tim pengemas gabah dalam karung, termasuk tim penimbang dan pengangkut hasil panen dari sawah ke rumah pemilik lahan.

Penerapan sistem pengupahan bawon, pada dasarnya berlandaskan semangat gotong royong dan tolong menolong antar masyarakat. Pembayaranya pun menggunakan gabah basah atau gabah kering panen (GKP) dengan perhitungan skala perbandingan ataupun persentase, yang perhitungannya bisa berbeda dari setiap daerah, standarnya 1:6, 1 untuk penderep , 5 untuk petani pemilik lahan.

"Dihitung saja mas, kalau saya dapat 6 ton luas 1 bau (0.7 Ha), jadi buat bawonnya dibagi 6 ketemu 1 ton, nah sisanya 5 ton itu saya bawa pulang" Ujar Pak Ijah, Salah satu ketua kelompok tani di Indramayu.

Sistem pengupahan bawon dinilai lebih praktis dan mudah untuk diterapkan. Selain itu bagi petani pemilik lahan hal ini mengurangi resiko kehilangan hasil panen di sawah dan sekaligus meningkatkan rasa sosial dengan masyarakat lainnya.

Bagi pendherep atau tenaga kerja pemotong padi, sistem pengupahan bawon menciptakan rasa kepastian. Kepastian ketersedian pasokan beras di rumah dan dapat menjadi tabungan jangka panjang bagi keluarga.

"Kalau dibayar gabah, itu awet, mau beli apa-apa harus diuangkan dulu, jadinya irit" Ujar mas Darto salah satu pendherep.

Sistem pengupahan bawon dapat menjadi motivasi bagi para petani pemilik lahan untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Karena semakin tinggi produksinya maka hasil bersihnya  pun semakin tinggi. Buruh tani atau petani penggarap pun juga akan senang ketika mendapat bagian bawonnya banyak.

Hanya saja sistem bawon ini memiliki kelemahan yaitu, karena pendherep atau pemotong padi adalah tetangga sendiri bahkan saudara sendiri, maka mengurangi sikap profesionalitas dalam bekerja. Timbulnya sikap sungkan maka pengawasan menjadi lemah dan biasanya petani pemilik lahan akan menambah hasil bawon milik pendherep yang dinilainya bekerja bagus.

Sehingga dari sisi ekonomi, sistem upah bawon cenderung mengalami ketidak stabilan, apalagi jika terjadi gagal panen atau poso. Namun dari sisi sosiologis sistem bawon merupakan salah satu cara untuk meningkatkan rasa persaudaraan antar masyarakat dan mampu mengurangi kesenjangan sosial.

Kegamangan Dibalik Penghapusan Sistem Bawon

Setiap perubahan jaman pasti memiliki konsekuensi, entah hilangnya kebudayaan, munculnya tradisi baru atau bahkan lahirnya suatu perubahan baru.

Perubahan-perubahan tersebut semakin jelas terasa setelah adanya modernisasi teknologi sejak awal abad ke-20. Revolusi industri dengan penggunaan mesin-mesin canggih perlahan menggantikan tenaga manusia.

Sama halnya modernisasi di dunia pertanian, pada tataran sistem pertanian modern, dua persoalan yang paling umum dijumpai adalah mengenai aspek produksi dan aspek pemasaran.

Faktor produksi terkait erat dengan biaya produksi yang harus dikelola secara efisien.  Namun terdapat faktor determinan yang harus diperhitungkan lebih yaitu perubahan kebudayaan yang dibawakan oleh faktor teknologi (Rahardjo, 2004).

Dampak dari teknologi pertanian adalah pengaruh atau akibat introduksi dan penggunaan alat teknologi pertanian untuk melaksanakan operasi pertanian yang dapat berakibat positif maupun negatif di dalam masyarat tani.

Penggunaan teknologi pertanian seperti mesin transplanter dan mesin combine dinilai mengancam keberlangsungan penerapan sistem upah bawon lebih luasnya pada ketersediaan tenaga kerja pertanian di desa.

Pada aspek ekonomi, antara petani pemilik lahan sempit dan pemilik lahan luas (berdasarkan kategori BPS), terdapat kesenjangan. Petani dengan lahan luas cenderung memiliki sumber daya modal yang besar sehingga mudah untuk menerapkan alih teknologi di sawahnya, dampak positifnya pengerjaan sawah lebih cepat dan efisien. Akibatnya buruh-buruh tani atau pendherep di desa tersebut alih profesi dan merantau ke kota. 

Sebaliknya, petani yang memiliki keterbatasan pada modal, dan tetap menggunakan cara-cara tradisional akan kesulitan mencari tenaga kerja untuk menjalanan operasional usaha taninya, toh pun jika ada pasti akan meminta upah yang lebih tinggi. Memiliki konsekunsi peningkatan biaya operasional.

Kesenjangan dan ketimpangan semacam inilah yang menjadi kegamangan ditengah arus modernisasi yang berusaha pelan menghapus sistem pengupahan bawon. 

Sebagai bahan perbandingan, biaya panen padi menggunakan mesin combine per hektare saat ini rata-rata adalah Rp. 1.500.000 sampai dengan Rp.2.000.000 dengan tenaga operasional 2 orang yang dapat diselesaikan dalam waktu satu hari.

Sedangkan biaya upah pemotong padi manual adalah per harinya Rp. 120.000 sampai dengan Rp. 150.000 . Membutuhkan paling tidak 2 hari untuk selesai. Per hektare dengan jumlah tenaga kerja 20 orang, maka biaya upah pemotong padi adalah Rp. 3.000.000, kalau dua hari jadi Rp. 6.000.000 jauh lebih besar dibandingkan memakai mesin combine.

Meski teknologi memudahkan dan cukup efektif menurunkan biaya operasional usaha tani, namun aspek-aspek sosiologis tidak dapat dianggap mudah untuk menyesuaikan. 

Beragamnya kondisi sosial ekonomi petani terutama modal, tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan dan budaya menjadi permasalahan sendiri dalam penerapan teknologi apalagi sampai menghapus sistem yang sudah mengakar kuat sebagai tradisi seperti sistem upah bawon.

"Sebenernya kalau dihitung matematis ya memang rugi mas, tapi kita gak bisa meninggalkan bawon langsung, banyak aspek sosial yang gak bisa dikalahkan" Ucap Pak Carma Koordinator petani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun