Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Tengah Modernisasi, Sistem Upah Bawon di Indramayu Masih Membumi

1 Agustus 2022   18:00 Diperbarui: 1 Agustus 2022   21:09 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanam padi (Dokpri 2021)

Penggunaan teknologi pertanian seperti mesin transplanter dan mesin combine dinilai mengancam keberlangsungan penerapan sistem upah bawon lebih luasnya pada ketersediaan tenaga kerja pertanian di desa.

Pada aspek ekonomi, antara petani pemilik lahan sempit dan pemilik lahan luas (berdasarkan kategori BPS), terdapat kesenjangan. Petani dengan lahan luas cenderung memiliki sumber daya modal yang besar sehingga mudah untuk menerapkan alih teknologi di sawahnya, dampak positifnya pengerjaan sawah lebih cepat dan efisien. Akibatnya buruh-buruh tani atau pendherep di desa tersebut alih profesi dan merantau ke kota. 

Sebaliknya, petani yang memiliki keterbatasan pada modal, dan tetap menggunakan cara-cara tradisional akan kesulitan mencari tenaga kerja untuk menjalanan operasional usaha taninya, toh pun jika ada pasti akan meminta upah yang lebih tinggi. Memiliki konsekunsi peningkatan biaya operasional.

Kesenjangan dan ketimpangan semacam inilah yang menjadi kegamangan ditengah arus modernisasi yang berusaha pelan menghapus sistem pengupahan bawon. 

Sebagai bahan perbandingan, biaya panen padi menggunakan mesin combine per hektare saat ini rata-rata adalah Rp. 1.500.000 sampai dengan Rp.2.000.000 dengan tenaga operasional 2 orang yang dapat diselesaikan dalam waktu satu hari.

Sedangkan biaya upah pemotong padi manual adalah per harinya Rp. 120.000 sampai dengan Rp. 150.000 . Membutuhkan paling tidak 2 hari untuk selesai. Per hektare dengan jumlah tenaga kerja 20 orang, maka biaya upah pemotong padi adalah Rp. 3.000.000, kalau dua hari jadi Rp. 6.000.000 jauh lebih besar dibandingkan memakai mesin combine.

Meski teknologi memudahkan dan cukup efektif menurunkan biaya operasional usaha tani, namun aspek-aspek sosiologis tidak dapat dianggap mudah untuk menyesuaikan. 

Beragamnya kondisi sosial ekonomi petani terutama modal, tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan dan budaya menjadi permasalahan sendiri dalam penerapan teknologi apalagi sampai menghapus sistem yang sudah mengakar kuat sebagai tradisi seperti sistem upah bawon.

"Sebenernya kalau dihitung matematis ya memang rugi mas, tapi kita gak bisa meninggalkan bawon langsung, banyak aspek sosial yang gak bisa dikalahkan" Ucap Pak Carma Koordinator petani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun