Lereng Gunung Slamet di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah menyimpan potensi alam yang sungguh menawan. Suburnya sumber daya alam yang ada, sebagai anugerah tiada tara dari Tuhan Yang Maha Esa. Sektor-sektor ekonomi berkembang dengan pesat dan maju yang berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Seperti pengembangan ekowisata dan agrowisata yang kekinian banyak diminati turis domestik ataupun manca negara.
Salah satu sektor yang banyak dilakoni adalah sektor pertanian. Banyak penduduk asli yang memilih bekerja sebagai petani, kesehariannya dihabiskan untuk di ladang bercocok tanam dan membudidayakan berbagai aneka jenis tanaman sayuran yang menghasilkan seperti budidaya bawang merah, bawang daun dan bawang putih.
Selama 40 hari bertugas di wilayah Tegal "atas" pada akhir 2021 silam, tidak hanya mempelajari sektor pertaniannya saja, tetapi sosial budaya masyarakatnya yang masih kental cukup menarik untuk turut menjadi bahan pembelajaran.
Menariknya, ada satu petani yang masih cukup muda dan dia adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang mengalami kondisi autisme ringan atau menurut diagnostik dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition atau DSM-5, masuk dalam level 1 autisme.
Sebut saja Rio, umurnya mungkin kurang lebih 25 tahun. Meski memiliki gangguan komunikasi sosial (social communication disorder), dia nampak cukup cekatan dalam menjalankan aktivitasnya seperti saat mencangkul atau mengairi tanaman. Rio adalah anak ke-3 dari 3 bersaudara.
Ayahnya bekerja sebagai guru dan petani, begitupun juga ibunya. Rio sejak kecil mendapatkan pendidikan dari sekolah luar biasa di daerah tersebut. Memiliki orangtua dan lingkungan yang mendukung bagi tumbuh kembangnya, menjadikan Rio sebagai pemuda difabel yang mandiri dan teladan.
Hari-hari Rio banyak membantu orangtuanya di ladang yang saat itu sedang musimnya tanam bawang putih. Rio dipercaya untuk menangani pengairan dan membantu saat panen.
Menurut orangtuanya, Rio adalah anak yang rajin, meski begitu dia tidak boleh sampai kelelahan karena itu akan mengganggu emosinya. Karena saat emosinya sedang tidak baik, dia cenderung akan lebih agresif.
"kadang kalau dia mau sesuatu, tetapi kita gak paham apa maksudnya, dia pasti akan marah-marah, dan ya udah kita biarkan saja sampai tenang sendiri" Tutur ibunya saat berbincang santai di gubuk tepi sawahnya.
Sambungya, pernah saat Rio sedang marah, dia merusak tanaman yang ada di depannya. Tetapi, mereka hanya bisa membiarkannya saja sampai dia kembali tenang.
Statusnya sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), tidak membatasi aktivitasnya bermain dengan teman sebayanya. Teman-temannya sangat memahami Rio ketika dia sedang mengajaknya untuk bermain. Kadang ketika Rio Sedang marah ketika jauh dari rumah, teman-temannya selalu memanggil orangtuanya dengan harapan agar Rio bisa tenang kembali.
Di balik keterbatasannya, Rio cukup dikenal di lingkungannya sebagai petani muda panutan. Seringkali mewakili ayahnya ketika ada acara dalam kelompok tani. Dia dinilai cukup proaktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh kelompok tani. Seperti saat ada penyuluhan atau kegiatan jual beli hasil panen di saung poktan. Tidak banyak anak muda yang mau terjun ke dunia pertanian, sehingga ini menjadi motivasi bagi anak-anak muda lainnya agar tidak mau kalah dengan Rio yang semangatnya tinggi menjadi petani milenial dengan berkebutuhan khusus.
Keberhasilan Rio yang dianggap sebagai petani muda panutan, tidak lepas dari peran orang tua dan keluarga Rio dalam mendidik dan mendampingi tumbuh kembangnya. Belajar dari Rio, bahwa komunikasi efektif bagi Anak Berkebutuhan Khusus mampu meningkatkan kestabilan emosi dan meningkatkan eksistensi dirinya dalam masyarakat.
Bagaimana Cara Keluarga Membangun Komunikasi Efektif Dengan Anak Berkebutuhan Kusus?
Belajar dari kisah Rio, orangtua sebagai lingkungan pertama yang ada di keluarga memiliki peranan terpenting dalam tumbuh kembang dan kematangan emosional anak. Seluruh anggota keluarga harus mampu menerima apapun keadaan anak dengan ikhlas dan menghargai keberadaan mereka dalam keluarga. Selain itu, keluarga juga harus saling mendukung dalam mengoptimalkan perkembangannya. Sehingga dari penerimaan tersebut dapat menentukan cara komunikasi yang efektif dengan mereka.
Psikologi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Yogyakarta, Devi Riana Sari mengatakan, komunikasi dengan anak penyandang disabilitas dilakukan berbasis penerimaan, tanpa penerimaan, anak akan menyadari perbedaannya dan kemungkinan besar langsug membuat jara. Selain itu, langkah penting dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak penyandang disabilitas adalah dengan mengembangkan pertemanan atau afiliasi.
“Pola komunikasi ini akan mempertahankan hubungan antara orang tua dengan anak,” kata Devi dalam suatu diskusi.
Ibu Nefrijanti Sutikno sebagai pembicara dalam acara Parents Sibling dengan membahas tema Komunikasi Efektif dengan Anak Berkebutuhan Khusus yang dilasanakan oleh London School Centre for Autism Awareness (LSCAA)2016 lalu menyampaikan, komunikasi efektif dengan anak berkebutuhan khusus yang pertama yaitu identifikasi dengan menyamakan persepsi dan kedua membuat perintah sederhana.
Salah satu mengaplikasikan dalam berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus membuat jadwal rutinitas. Dalam membuat jadwal rutinitas buatlah bersama si anak susunlah jadwal kegiatan dari pagi hingga malam.
Tips dan trik agar konsisten dan kontinu adalah dengan melibatkan seisi rumah, bekerjasama dengan tempat terapi/sekolah, karena penyandang autis tidak suka kejutan, pastikan dalam satu frekuensi sinyal yang sama, catat dan pelajari kejadian berulang.
Kembali lagi pada kisah Rio, rutinitas Rio setiap hari di ladang dengan bercocok tanam merupakan salah satu cara komunikasi efektif yang sudah dilakukan orangtuanya secara konsisten dan kontinu, karena dengan begitu orangtua dan Rio dapat membangun kedekatan emosional yang lebih untuk memahami apa yang diinginkan oleh Rio.
Saat Rio sedang emosi tinggi atau tatrum, kedua orangtuanya juga bersikap membiarkannya saja sampai kembali tenang. Hal itu bukan bermaksud mengacuhkan melainkan sebagai bentuk pengertian agar anak dapat mengekspresikan emosinya secara bebas tanpa terkekang selama tidak membahayakan.
Seperti yang disampaikan oleh Nuryanti Yamin selaku Ortopedagog dan Co-Founder Drisana Center di teamLab Future Park Jakarta Mall Gandaria City, Jakarta Selatan dalam suatu diskusi, cukup memperhatikannya sampai emosi si anak mereda. Kemudian, dekatkan diri untuk memberikan perhatian. Jangan sampai si anak merasa terintimidasi atau menjadi tidak nyaman.
"Kalau dia sudah agresif sekali sama orang, kita cukup pegangin aja tangannya. Karena anak ini tidak bisa dipeluk. Ada sih yang bisa dipeluk, tapi sebaiknya tidak dipeluk," imbuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H