Mohon tunggu...
Dody Wibowo
Dody Wibowo Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti bidang Pendidikan Damai

Konsultan untuk bidang pendidikan damai dan studi perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pukullah Anakmu, Cubitlah Muridmu

2 Juli 2016   10:02 Diperbarui: 2 Juli 2016   12:29 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berawal dari berita seorang guru yang diperkarakan ke polisi oleh orangtua murid yang anaknya dicubit sang guru, berkembanglah pembicaraan mengenai bentuk pemberian hukuman kepada murid. Ada pihak yang menganggap sah-sah saja guru memberi hukuman fisik kepada murid. Hukuman fisik yang dianggap wajar adalah cubit dan jewer. Pihak yang membolehkan hukuman fisik ini juga berargumen bahwa ketika mereka kecil dulu, mereka juga mendapat hukuman sejenis, baik dari guru maupun orangtua dan bagi mereka hukuman seperti itu membuat mereka menjadi manusia yang lebih baik; mereka belajar. Pernyataan bahwa orangtua murid terlalu “lebay” sampai melaporkan kasus ini ke polisi juga didukung dengan penyebaran foto sang anak yang merokok, sehingga dianggap wajar bahwa anak yang melakukan tindakan tidak baik (dalam hal ini adalah merokok) maka dia pantas mendapat hukuman fisik.

Dukungan terhadap hukuman fisik ini juga disampaikan oleh pihak yang menyatakan bahwa orangtua juga memberi hukuman fisik kepada anak di rumah, jadi boleh saja guru melakukan hukuman serupa. Seorang guru yang bimbang apakah boleh memberikan hukuman fisik kepada anak menyatakan bahwa dia mendapat ijin dari orangtua murid untuk memberi hukuman fisik. Orangtua murid mengatakan kalimat yang kurang lebih sebagai berikut, “cubit saja anak saya kalau nakal di sekolah karena kalau dia nakal di rumah, saya juga mencubitnya.” Guru yang bersangkutan juga menyampaikan bahwa murid yang terbiasa mendapat hukuman fisik di rumah, lebih bisa diatur di sekolah ketika dia juga mendapat hukuman fisik di sekolah.

Hal terbaru yang saya temukan adalah sebuah foto yang beredar dengan gambar sebuah surat pernyataan atau perjanjian antara sebuah sekolah terakreditasi A di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan orangtua murid. Dalam foto itu, sekolah meminta orangtua murid menyetujui pemberian hukuman fisik terbatas kepada anak mereka jika sang anak melakukan kesalahan. Selain itu orangtua murid juga setuju untuk tidak akan membawa kasus hukuman fisik ke pihak berwajib.

Ada dua hal dalam kasus hukuman fisik kepada anak di sekolah ini. Pertama mengenai hukuman fisik itu sendiri. Kedua adalah hubungan antara sekolah dan orang tua murid. Mari kita bahas satu per satu.

Hukuman

Pertama, tentang hukuman fisik kepada anak. Saya tidak menyetujui hukuman fisik dalam bentuk apapun kepada murid. Bukan sekedar hukuman fisik saja. Semua bentuk kekerasan, baik itu fisik maupun psikologis harus dihapus dalam budaya sekolah. Kekerasan adalah tindakan yang diberikan kepada pihak lain yang membuat sang penerima kekerasan atau korban tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dalam skala apapun membuat sang korban terluka. Luka ini bisa luka fisik tetapi bisa juga luka psikologis yang dampaknya jauh lebih berbahaya.

Baru-baru ini sebuah media online di Aceh mengedarkan sebuah foto acara buka bersama yang di dalam foto itu dianggap ada penampakan sebuah makhluk halus. Foto terlanjur beredar luas, ternyata berita itu salah. Yang dianggap makhluk halus itu sebenarnya seorang anak kecil yang posisinya di dalam foto itu sedemikian rupa sehingga dianggap makhluk halus. Nasi sudah menjadi bubur, sang anak kecil menangis terus-menerus karena dia diejek oleh teman-temannya gara-gara berita dimuat tanpa cross-check dari sang pewarta. Saya kurang tahu apakah media online tersebut meminta maaf, akan tetapi luka sudah dirasakan oleh sang adik ini; anak kecil yang tidak tahu apa-apa, dan walau sudah ada permintaan maaf, amat sangat tidak mungkin ejekan akan berhenti begitu saja.

Dampak psikologis adalah dampak terbesar dari sebuah tindakan kekerasan, Kita tidak pernah bisa mengukur sebesar apa suatu kekerasan terhadap psikologis seseorang karena kita tidak bisa menyamaratakan kondisi psikologis seseorang. Ada orang yang kuat dan bebal tetapi ada pula yang lemah. Tetapi apakah yang lemah ini lalu boleh dipandang sebelah mata dan dianggap manja? Perjalanan hidup tiap orang berbeda-beda dan kita tidak punya hak untuk menilainya.

Dampak terhadap fisik juga berbeda-beda. Tidak semua orang dilahirkan dengan kondisi fisik yang sama, Juga tidak setiap hari seseorang itu sehat secara fisik. Ketika hukuman fisik diberikan di saat yang tidak tepat, dampaknya bisa jauh berbeda dan bahkan lebih parah dari yang semula disangkakan.

Dengan melihat dua dampak kekerasan di atas, maka hukuman fisik atau tindak kekerasan dalam bentuk apapun amat sangat tidak dibenarkan dalam dunia pendidikan yang tujuannya adalah membangun pribadi yang berkarakter baik. Hukuman fisik membuat murid menjadi gagal paham mengenai apa hubungan antara terlambat sekolah dengan lari keliling lapangan? Tidak masuk akal sama sekali. Selain itu, hukuman fisik bukan membentuk manusia yang cerdas berpikir logis dan kritis, tetapi membentuk manusia yang penakut. Manusia yang tidak melakukan kesalahan karena takut pada hukuman bukan karena paham apa dampak buruk yang terjadi jika dia melakukan kesalahan. Jadi jangan heran jika pelanggar hukum banyak kita temukan di sekitar kita. Mereka ini bukan manusia yang sadar apa dampak negatif dari pelanggaran hukum tetapi manusia yang melihat kesempatan untuk tidak mendapatkan hukuman. Tetapi ketika mereka tertangkap, bisanya cuma cengar-cengir. Lalu apa yang bisa diberikan jika seorang murid melakukan kesalahan? Lebih baik diberikan konsekuensi.

Konsekuensi itu apa? Konsekuensi adalah tindakan logis yang merupakan akibat dari tindakan sebelumnya. Konsekuensi yang saya maksud di sini tidak merujuk hanya pada situasi ketika murid melakukan kesalahan saja, tetapi konsekuensi juga diberikan kepada murid ketika membuat suatu prestasi. Jadi, pemikiran tentang konsekuensi ini berangkat dari pemahaman bahwa di hidup ini ada tindakan yang baik dan ada tindakan yang buruk. Kedua-duanya mempunyai dampak atau konsekuensi.

Konsekuensi yang diberikan adalah hal yang berkesesuaian dengan apa yang telah dilakukan oleh sang murid. Sebagai contoh, jika murid terlambat datang ke sekolah, kerugian apa yang diakibatkan dari keterlambatan ini? Tentu masalah waktu. Murid mengurangi waktu belajar dia di kelas. Karena itu, konsekuensi yang pantas diberikan harus berkaitan dengan waktu belajar. Sebagai contoh, murid terlambat datang ke sekolah 30 menit, maka murid juga harus pulang lebih lambat 30 menit. Jika murid datang terlambat lalu dihukum melakukan push-up atau lari keliling lapangan, apa hubungannya dengan waktu 30 menit yang dia salahgunakan itu? Alih-alih, murid malah masuk ke kelas lebih lambat karena harus lari keliling lapangan terlebih dahulu. Lalu ketika dia selesai lari dan masuk ke kelas, dia kecapekan dan tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Sangat kontraproduktif bukan? Konsekuensi diberikan agar murid paham apa dampak dari kesalahan yang dia perbuat; apa kerugian yang dia dapat ketika dia melakukan kesalahan.

Demikian juga ketika murid membuat sebuah prestasi, maka murid juga harus diberi konsekuensi. Sebagai contoh, jika murid menyelesaikan tugas lebih cepat dari waktu yang diberikan, maka dia boleh mendapat waktu istirahat lebih lama. Tetapi perlu diingat bahwa pemberian konsekuensi untuk kebaikan harus dipahamkan bahwa suatu kebaikan akan berdampak positif dan bukan untuk membangun pemahaman pada murid untuk melakukan kebaikan hanya kalau ada hadiahnya.

Selanjutnya, bagaimana menentukan konsekuensi yang sesuai? Konsekuensi harus ada hubungan logis dengan tindakan yang akan diberi konsekuensi. Contohnya seperti yang saya sudah sampaikan di atas. Konsekuensi juga harus dibuat berdasarkan kesepakatan bersama sehingga ketika suatu konsekuensi diberikan, semua pihak sadar dan menerima dengan baik. Kalau kita berbicara dalam konteks sekolah, maka penentuan konsekuensi harus melibatkan pihak sekolah, orangtua, dan juga murid. Ya, murid harus dilibatkan karena merekalah yang akan mendapat dampak dari penentuan konsekuensi ini jadi mereka perlu terlibat dan didengar suaranya. Murid bukan obyek yang tidak berhak ikut mengambil keputusan dan hanya menerima saja atas apa yang diputuskan sekolah dan orangtua.

Ada pelajaran yang bisa diambil dari pembuatan konsekuensi yang dilakukan secara kolaboratif. Murid belajar bertanggung jawab atas diambilnya suatu tindakan. Selain itu murid juga belajar mencari korelasi antara suatu tindakan dengan tindakan yang lain karena pembuatan konsekuensi tidak dibuat asal-asalan.

Relasi Sekolah – Orangtua Murid

Penanggung jawab utama pendidikan anak berada di tangan orangtua. Sekolah adalah mitra bagi orangtua dalam melakukan pendidikan. Selain itu ada juga mitra yang lain dalam melakukan pendidikan, yaitu masyarakat.

Sering sekali kita temui di masyarakat, ketika bicara tentang pendidikan di sekolah maka orangtua pasrah sepenuhnya kepada sekolah. Orangtua tidak mau terlibat dan pokoknya terima jadi. Kalau ada hal-hal yang merugikan anak di sekolah, orangtua protes dan menyalahkan sekolah dengan alasan karena orangtua sudah membayar pihak sekolah. Di sini ada kesalahan fatal dalam pola pemikiran orangtua. Semua dianggap selesai ketika uang sudah bicara; sudah lepas tanggungjawabnya.

Contoh paling baru dari pola pikir yang salah dari orangtua ini adalah tindakan yang ditunjukkan oleh seorang pejabat negeri ini. Sang pejabat menganggap bahwa kesalahan dia karena meminta fasilitas negara untuk kepentingan anaknya bisa diselesaikan begitu saja dengan memberi uang pengganti bensin dan tidak menyatakan untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Pihak institusi tempat dia berada juga sibuk mencari alasan pembenar untuk kesalahan yang sudah dibuat.

Dalam pendidikan anak, orangtua tidak bisa sekali waktupun boleh melepaskan pengawasan pada pendidikan anaknya. Orangtua wajib hukumnya untuk selalu memantau pendidikan untuk anaknya. Selain itu, orangtua juga wajib untuk belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik, orangtua yang bisa menanamkan nilai-nilai kebaikan dan perdamaian pada anaknya. Bukan orangtua yang malas dan sukanya mencari jalan pintas; menganggap bahwa perbuatan salah yang dilakukan anak bisa diselesaikan dengan memberi hukuman fisik.

Sekarang ini saya melihat ada tren di pendidikan anak usia dini yang melibatkan orangtua dalam pendidikan anak di sekolah. Kegiatan di sekolah selalu diinformasikan pada orangtua bahkan sekolah juga mewajibkan orangtua untuk berpartisipasi aktif. Salah satu cerita yang saya temukan adalah dari Playgroup Milas di Jogja. Saya bertemu dengan Kepala Sekolahnya yang kemudian bercerita bahwa untuk dapat diterima bersekolah di Playgroup Milas, orangtua anak wajib berkomitmen untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan belajar anak; yang artinya orangtua wajib datang di pertemuan rutin antara pihak sekolah dan orangtua yang membahas perkembangan pendidikan anak. Sayangnya, pola seperti ini lebih banyak saya temui di level pendidikan usia dini saja. Ketika memasuki level sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, peran orangtua di sekolah semakin kabur. Mungkin karena dianggap anak semakin besar maka orangtua tidak perlu ikut campur lagi. Padahal pemikiran ini salah. Sampai level sekolah menengah atas, murid-murid ini masih dalam kategori anak. Tidak berbeda dari anak yang bersekolah di pendidikan usia dini. Orangtua tetap wajib aktif ikut serta dalam pemberian pendidikan untuk anak.

Di sinilah letak celah yang mengakibatkan munculnya kasus pelaporan guru oleh orangtua murid. Komunikasi antara sekolah dan orangtua murid yang tidak berjalan intens dan baik. Pertemuan antara orangtua murid dan sekolah hanya dilakukan untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan uang, seperti pembangunan, karya wisata, dan sejenisnya. Pertemuan yang membahas bagaimana rencana pembelajaran oleh guru di kelas dan hal lain yang berkaitan dengan substansi pendidikan tidak dilakukan sehingga orangtua sendiri tidak tahu apa yang terjadi di sekolah. Ketika terjadi suatu masalah pada anak, wajar saja karena tidak ada hubungan komunikasi yang baik antara sekolah dan orangtua murid, maka miskomunikasi terjadi, masing-masing pihak merasa dirinya paling benar. Apa akibat terbesarnya? Anak menjadi korban. Lihatlah bagaimana publik membully anak sang pejabat, atau anak yang dicubit lalu diekspos perilaku merokoknya dan dibully juga secara online.

Mendidik anak itu bukan hal yang mudah tetapi juga tidak membuat kita gampang menyerah. Anak itu titipan Tuhan. Seperti halnya ketika kita mendapat titipan barang dari orang lain, maka kita akan merawat dan menjaganya dengan baik sampai titipan itu diambil lagi oleh pemiliknya. Ya bakal marah kan sang pemilik kalau ketika dia mengambil barang miliknya eh ternyata rusak tidak beraturan, tetapi sang pemilik akan sangat senang jika barang titipannya dirawat dengan baik.

Ketika Tuhan memberikan anak sebagai titipan kepada orangtua, Tuhan juga sudah membekali orangtua dengan kemampuan untuk merawat titipan itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, maukah sang orangtua untuk mengasah kemampuannya sehingga bisa dimanfaatkan untuk merawat titipan Tuhan dengan baik?

Profesi guru juga bukan profesi sembarangan. Profesi guru hanya untuk manusia-manusia yang bersedia bekerjasama dengan orangtua untuk merawat titipan Tuhan. Karena itu bagi para guru, para pendidik, mari kita bertanya kepada diri kita maukah kita berkomitmen untuk membangun kerjasama dan komunikasi yang baik dengan orangtua untuk bersama-sama memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak/murid. Pendidikan yang membuat anak/murid tumbuh berkembang dengan menjunjung tinggi nilai-nilai damai, keadilan, dan nirkekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun