Mohon tunggu...
Dody Wibowo
Dody Wibowo Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti bidang Pendidikan Damai

Konsultan untuk bidang pendidikan damai dan studi perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pukullah Anakmu, Cubitlah Muridmu

2 Juli 2016   10:02 Diperbarui: 2 Juli 2016   12:29 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Konsekuensi yang diberikan adalah hal yang berkesesuaian dengan apa yang telah dilakukan oleh sang murid. Sebagai contoh, jika murid terlambat datang ke sekolah, kerugian apa yang diakibatkan dari keterlambatan ini? Tentu masalah waktu. Murid mengurangi waktu belajar dia di kelas. Karena itu, konsekuensi yang pantas diberikan harus berkaitan dengan waktu belajar. Sebagai contoh, murid terlambat datang ke sekolah 30 menit, maka murid juga harus pulang lebih lambat 30 menit. Jika murid datang terlambat lalu dihukum melakukan push-up atau lari keliling lapangan, apa hubungannya dengan waktu 30 menit yang dia salahgunakan itu? Alih-alih, murid malah masuk ke kelas lebih lambat karena harus lari keliling lapangan terlebih dahulu. Lalu ketika dia selesai lari dan masuk ke kelas, dia kecapekan dan tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Sangat kontraproduktif bukan? Konsekuensi diberikan agar murid paham apa dampak dari kesalahan yang dia perbuat; apa kerugian yang dia dapat ketika dia melakukan kesalahan.

Demikian juga ketika murid membuat sebuah prestasi, maka murid juga harus diberi konsekuensi. Sebagai contoh, jika murid menyelesaikan tugas lebih cepat dari waktu yang diberikan, maka dia boleh mendapat waktu istirahat lebih lama. Tetapi perlu diingat bahwa pemberian konsekuensi untuk kebaikan harus dipahamkan bahwa suatu kebaikan akan berdampak positif dan bukan untuk membangun pemahaman pada murid untuk melakukan kebaikan hanya kalau ada hadiahnya.

Selanjutnya, bagaimana menentukan konsekuensi yang sesuai? Konsekuensi harus ada hubungan logis dengan tindakan yang akan diberi konsekuensi. Contohnya seperti yang saya sudah sampaikan di atas. Konsekuensi juga harus dibuat berdasarkan kesepakatan bersama sehingga ketika suatu konsekuensi diberikan, semua pihak sadar dan menerima dengan baik. Kalau kita berbicara dalam konteks sekolah, maka penentuan konsekuensi harus melibatkan pihak sekolah, orangtua, dan juga murid. Ya, murid harus dilibatkan karena merekalah yang akan mendapat dampak dari penentuan konsekuensi ini jadi mereka perlu terlibat dan didengar suaranya. Murid bukan obyek yang tidak berhak ikut mengambil keputusan dan hanya menerima saja atas apa yang diputuskan sekolah dan orangtua.

Ada pelajaran yang bisa diambil dari pembuatan konsekuensi yang dilakukan secara kolaboratif. Murid belajar bertanggung jawab atas diambilnya suatu tindakan. Selain itu murid juga belajar mencari korelasi antara suatu tindakan dengan tindakan yang lain karena pembuatan konsekuensi tidak dibuat asal-asalan.

Relasi Sekolah – Orangtua Murid

Penanggung jawab utama pendidikan anak berada di tangan orangtua. Sekolah adalah mitra bagi orangtua dalam melakukan pendidikan. Selain itu ada juga mitra yang lain dalam melakukan pendidikan, yaitu masyarakat.

Sering sekali kita temui di masyarakat, ketika bicara tentang pendidikan di sekolah maka orangtua pasrah sepenuhnya kepada sekolah. Orangtua tidak mau terlibat dan pokoknya terima jadi. Kalau ada hal-hal yang merugikan anak di sekolah, orangtua protes dan menyalahkan sekolah dengan alasan karena orangtua sudah membayar pihak sekolah. Di sini ada kesalahan fatal dalam pola pemikiran orangtua. Semua dianggap selesai ketika uang sudah bicara; sudah lepas tanggungjawabnya.

Contoh paling baru dari pola pikir yang salah dari orangtua ini adalah tindakan yang ditunjukkan oleh seorang pejabat negeri ini. Sang pejabat menganggap bahwa kesalahan dia karena meminta fasilitas negara untuk kepentingan anaknya bisa diselesaikan begitu saja dengan memberi uang pengganti bensin dan tidak menyatakan untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Pihak institusi tempat dia berada juga sibuk mencari alasan pembenar untuk kesalahan yang sudah dibuat.

Dalam pendidikan anak, orangtua tidak bisa sekali waktupun boleh melepaskan pengawasan pada pendidikan anaknya. Orangtua wajib hukumnya untuk selalu memantau pendidikan untuk anaknya. Selain itu, orangtua juga wajib untuk belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik, orangtua yang bisa menanamkan nilai-nilai kebaikan dan perdamaian pada anaknya. Bukan orangtua yang malas dan sukanya mencari jalan pintas; menganggap bahwa perbuatan salah yang dilakukan anak bisa diselesaikan dengan memberi hukuman fisik.

Sekarang ini saya melihat ada tren di pendidikan anak usia dini yang melibatkan orangtua dalam pendidikan anak di sekolah. Kegiatan di sekolah selalu diinformasikan pada orangtua bahkan sekolah juga mewajibkan orangtua untuk berpartisipasi aktif. Salah satu cerita yang saya temukan adalah dari Playgroup Milas di Jogja. Saya bertemu dengan Kepala Sekolahnya yang kemudian bercerita bahwa untuk dapat diterima bersekolah di Playgroup Milas, orangtua anak wajib berkomitmen untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan belajar anak; yang artinya orangtua wajib datang di pertemuan rutin antara pihak sekolah dan orangtua yang membahas perkembangan pendidikan anak. Sayangnya, pola seperti ini lebih banyak saya temui di level pendidikan usia dini saja. Ketika memasuki level sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, peran orangtua di sekolah semakin kabur. Mungkin karena dianggap anak semakin besar maka orangtua tidak perlu ikut campur lagi. Padahal pemikiran ini salah. Sampai level sekolah menengah atas, murid-murid ini masih dalam kategori anak. Tidak berbeda dari anak yang bersekolah di pendidikan usia dini. Orangtua tetap wajib aktif ikut serta dalam pemberian pendidikan untuk anak.

Di sinilah letak celah yang mengakibatkan munculnya kasus pelaporan guru oleh orangtua murid. Komunikasi antara sekolah dan orangtua murid yang tidak berjalan intens dan baik. Pertemuan antara orangtua murid dan sekolah hanya dilakukan untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan uang, seperti pembangunan, karya wisata, dan sejenisnya. Pertemuan yang membahas bagaimana rencana pembelajaran oleh guru di kelas dan hal lain yang berkaitan dengan substansi pendidikan tidak dilakukan sehingga orangtua sendiri tidak tahu apa yang terjadi di sekolah. Ketika terjadi suatu masalah pada anak, wajar saja karena tidak ada hubungan komunikasi yang baik antara sekolah dan orangtua murid, maka miskomunikasi terjadi, masing-masing pihak merasa dirinya paling benar. Apa akibat terbesarnya? Anak menjadi korban. Lihatlah bagaimana publik membully anak sang pejabat, atau anak yang dicubit lalu diekspos perilaku merokoknya dan dibully juga secara online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun