Mereka akan memastikan tali-temali dan infrastruktur lainnya di rute yang akan dilalui pendaki yang menjadi kliennya sudah terpasang dengan baik dan relatif aman untuk dilalui meski tidak bisa dijamin benar-benar 100 persen aman karena alam ekstrim di ketinggian sangat sulit untuk diprediksi dan cepat sekali berubah.Â
Para Sherpa juga akan sekuat tenaga memastikan manajemen pendakian sehingga kliennya bisa sampai di puncak, namun mereka bisa juga memberikan masukan kepada pihak ekspedisi bahwa kondisi fisik klien pendakinya tidak memungkinkan untuk mencapai puncak.Â
Saat ini mereka yang ke Everest tidak hanya pendaki-pendaki elite namun ada pula pendaki yang masih kurang pengalaman yang demi ambisinya ingin menggapai puncak Everest. Tidak akan ada ekspedisi pendakian tanpa kehadiran Sherpa di sana. Beberapa di antara para Sherpa bahkan telah memecahkan rekor telah beberapa kali sampai di puncak Gunung Everest ketika memandu para klien pendakiannya.
4. Tragedi yang menenimpa para Sherpa
Karena komersialisasi bisnis pendakian, Gunung Everest menjadi sangat ramai oleh para pendaki. Setidaknya hingga tahun 2018 telah telah ada lebih dari 4,000 pendaki yang mencapai puncak Everest dengan angka kematian sekitar 290-an orang, bahkan di tahun 2019  menurut situs wanadri.or.id pada bulan Mei 2019 sebanyak 885 pendaki berhasil menggapai puncak Everest sekaligus mencatatkan rekor pendakian terbanyak pada musim pendakian gunung tertinggi di dunia tersebut.
Cerita di Everest tidak hanya sekedar kesuksesan menggapai puncaknya saja tetapi juga terdapat kisah-kisah tragedi akibat bencana pendakian yang juga memakan korban jiwa para Sherpa.Â
Salah satu malapetaka tersebut dikisahkan dalam artikel berjudul "This Year Capped The Deadliest 3-Year Period For Sherpas In Everest History" di laman businessinsider.com di mana pada tahun 2014 sebuah longsoran salju (Avalanche) menewaskan 16 orang Sherpa yang merupakan salah satu tragedi terburuk dalam sejarah Sherpa di pendakian Everest.
Menjadi pemandu pendakian adalah salah satu pekerjaan paling beresiko tinggi bagi orang-orang Sherpa. Dalam artikel karya Chip Brown  berjudul "Sherpas: The Invisible Men of Everest" dituliskan adalah sebuah fakta yang menyedihkan bahwa kematian para Sherpa dan pekerja gunung warga Nepal terus meningkat dari tahun ke tahun namun seolah tertutup  tanpa arti karena komersialisasi bisnis pendakian Everest itu sendiri. Kisah mereka tidak selalu menyenangkan terdapat pula sejumlah ketegangan yang terjadi karena keras kepalanya klien yang mereka pandu.
5. Orang Sherpa menjadi bagian dari sejarah baru dunia pendakian ketika Gunung K2 berhasil dipuncaki pada periode winternya di tahun 2021
Jika di masa lalu Sherpa hanya menjadi bagian dari bisnis pendakian Gunung Everest , pada tahun 2021  ini mereka mengukir sejarah baru dalam dunia pendakian. Pada tanggal 16 Januari 2021 lalu 10 orang pendaki Nepal yang mayoritas berasal dari suku Sherpa  menjadi manusia-manusia pertama yang berhasil menggapai puncak gunung K2 pada saat periode musim dingin  (winternya) yang ditahun-tahun sebelumnya dikatakan sebahai sesuaty yang mustahil untuk memuncaki K2 saat winter.
Setelah Gunung Nanga Parbat (8,125 mdpl) sebagai gunung ke-13 yang berhasil dipuncaki saat periode musim dinginnya (winter) di tahun 2016, hanya tersisa K2 sebagai satu-satunya gunung yang tergabung dalam "The fourteen of eight thousanders" yang belum berhasil dipuncaki saat periode winternya setidaknya hingga tahun 2020.Â