Masuk ke bagian dalamnya, Kelenteng ini begitu semarak dengan lampion di atas langit-langitnya. Lilin-lilin besar berwarna merah menyala di tiap-tiap Altar pemujaannya.
 Secara historis Kelenteng Jin de yuan memiliki posisi yang penting bagi umat Konghucu dan Budha di Jakarta.
Dalam buku "Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta" A. Heuken, Sj (1997: 181) menuliskan pada sekitar tahun 1650-an Letnan Tionghoa Guo Xun-guan mendirikan sebuah Kelenteng untuk menghormati Guan-yin di Glodok. Guan yin adalah Dewi belas kasih Budhis yang lazim dikenal sebagai Dewi Kwan-Im.
Lebih lanjut dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada tahun 1755 seorang Kapten Tionghoa menamai kembali Kelenteng yang dipugar ini dengan nama Jin-de yuan- "Kelenteng Kebajikan Emas". Orang setempat menyebut Kelenteng ini Kim Tek I. Pada dasarnya Kelenteng ini bercorak Budhis dan dahulu delapan belas orang biksu tinggal dalam Kelenteng ini. Namun demikian beberapa unsur Taois ditemukan juga.
3. Kelenteng Toasebio (Vihara Dharma Jaya Toasebio)
Tidak jauh dari Kelenteng Jin de yuan dan masih berada di Jalan Kemenangan 3 terdapat Kelenteng Toasebio atau dikenal dengan nama Vihara Dharma Jaya Toasebio.
Setelah memasuki gerbangnya akan terlihat lilin merah menyala yang disusun  sepanjang koridor pintu masuk ke arah dalam Kelenteng. Meski susunan lilin tersebut terlihat instagramable dan bisa menjadi spot foto yang bagus, tingkah laku dan perilaku kita tetap harus dijaga karena Kelenteng adalah sebuah tempat ibadah dan bagi kita yang bertamu harus bisa  menjaga sikap agar umat yang beribadah tidak terganggu kekhusyukannya.
Dalam laman www. viharatoasebio.com dituliskan bahwa Kelenteng Toasebio adalah salah satu Kelenteng tua yang masih berdiri di Jakarta.  Toasebio sendiri adalah gabungan dari dua kata yakni Toase yang berarti pesan dan Bio adalah Kelenteng. Kelenteng yang dibangun di tahun 1755 ini menyembah dewa Qing Yuan Zhen Jun (Tjeng Gwan Tjeng Kun).
Sewaktu mengunjungi Kelenteng ini terlihat banyak orang sedang khusyuk berdoa di bagian dalam Kelenteng. Secara umum Kelenteng atau Vihara ini mempunyai ciri khas yang hampir sama dengan Klenteng-Klenteng lainnya di Jakarta. Kelenteng atau Vihara ini  didominasi warna merah dengan ornamen naga di sudut atapnya.
Menurut sejumlah sumber informasi sejarah, Kelenteng ini menjadi saksi bisu tragedi yang menimpa warga etnis Tionghoa di dalam kota Batavia pada tahun 1740. Tindakan dan kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu A. Valckenier menyulut kerusuhan dan menimbulkan tragedi pada warga etnis Tionghoa di dalam kota Batavia di tahun tersebut. Karena tindakan dan kebijakannya tersebut A. Valckenier ditahan dan dipenjarakan atas perintah pimpinan tertinggi kumpeni di Amsterdam ( A. Heuken Sj, 1997:87).