Aku mulai gugup, tingkah mulai menyalahi kemauan, bibir terasa ragu ingin menampilkan senyum atau bahkan  harus menyembunyikan gelisah di balik bedak yang mempercantik wajah ini.
Perasaanku yang aneh sekarang mengalahkan rasa gugup ketika dilamar oleh lelaki yang sekarang bersanding bersamaku di pelaminan. Lebih gugup dibandingkan saat mendengar kata sah dari para saksi ketika ijab kabul kemarin di KUA.
Sekarang, di pelaminan ini bersama lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku, aku malah merasakan salah tingkah karena menunggu kedatangan sosok yang lain.
Dia akan menjadi tamu istimewaku malam ini, tamu yang akan menghipnotis semua urat sarafku. Dengan senyumnya, wajahnya yang sederhana belum lagi sapaan itu, sapaan yang bahkan hanya dia yang tahu, hanya dia yang menyapaku dengan sapaan aneh itu.
Dia bukanlah orang ketiga dalam hidupku. Karena akan salah menyebutnya orang ketiga, karena aku ini baru saja menikah, bahkan sekarang sedang resepsi acara sakral seumur hidup itu. Jadi tak mungkin aku mengatakan dia adalah orang ketiga antara aku dan suamiku sekarang.
Sebuah nama yang pendek dimiliki sosok itu. Tak lebih tak kurang hanya empat huruf tak banyak. Nama yang aku tulis seminggu yang lalu di sisa - sisa akhir jatah lembaran undangan. Seseorang yang hampir lupa kuundang di hari yang berbahagia ini.
"Tidak ada lagi sayang, atau kamu punya mantan atau orang yang pernah kamu cintai secara diam -- diam."
alon suamiku saat itu yang sebenarnya tanpa sengaja mengingatkan aku dengan sosok ini karena bingung siapa lagi yang akan diundang setelah keluarga dan teman kami berdua yang seingatku saat itu.Â
Dia bukan mantan, tapi kalau kalimat akhir dari calon suamiku saat itu iya, sosok yang di detik - detik akhir kutulis di lembaran undangan itu memang sosok yang pernah aku cintai secara diam - diam. Mencintainya dalam doa, menyayanginya dalam mimpi dan menjadi makmumnya dalam khayal.
"Iya mas, aku lupa seseorang. Tapi jangan liat ya.. malu," jawabku kemudian sambil menulis nama sosok itu di lembaran undangan.
Pelan kutulis namanya, sengaja kututup dengan hijab panjangku agar pasanganku itu tak tahu.
"Cie... nulis nama mantan yaa, ayoo ngaku.. ehem."
Aku hanya tersenyum kala itu, saat menulis nama yang akan membuatku gugup di hari pernikahanku ini.
Masih ramai orang yang datang, tapi tak ada juga kulihat sosok yang membuatku terlihat aneh di mata sang lelaki pujaan di sampingku.
Salaman demi salaman berdatangan membawa sertakan doa restu yang diharapkan. Sudah lebih tiga ratusan batang hidung manusia yang tertangkap mata sigapku. Namun belum juga terlihat batang hidung dari sosok yang membuat gundah hari pernikahanku.
"Kamu kenapa sayang, ingin ke belakang?" tanya suamiku setengah berbisik. Dia tahu aku yang terlihat tak tenang dari tadi di pelaminan.
Aku tak menyahutnya, hanya senyum manis yang kuberikan pada sang lelaki pujaanku itu. Nampaknya dia tak ambil pusing atas kesalah tingkahanku saat ini. Dia tak protes, dia tak cemas hanya sesekali menawarkanku air mineral berharap kiranya gugupku berkurang.
                                      *** Â
Sudah kuperkirakan manusia yang tersisa di ruangan gedung resepsi ini. Sudah mulai sepi, kursi - kursi berbungkus kain merah muda berpita kuning di sana sudah lega nampaknya berdiri tegak tanpa beban para tamu. Para pagarayu yang cantik - cantik itu juga sudah mulai berkemas, bahkan ada yang sudah melepaskan sanggul palsunya karena tak akan ada lagi para tamu yang akan hadir.
Kekakuanku mulai berubah rasa. Kalau tadi aku gugup setengah mati sekarang aku malah lemas seperti kehilangan harapan. Harapan ingin sekali melihat sosok yang tertulis namanya di sisa - sisa lembaran undangan.
Akankah dia datang di hari pernikahankku, memberikan doa restu yang mungkin akan menyempurnakan doa - doa dari tamu yang lain.
Aku masih tertunduk lesu, tak bersemangat menatap kembang yang tersusun indah terbingkai hati di hadapanku.
Harapan yang aneh di hari pernikahan. Kegugupan yang tak wajar menanti seorang pengantin baru. Aku merasa ada pergulatan batin yang tak menentu.
Aku semakin menunduk, masih berharap.
Hingga hal yang tak kusadari terjadi, sebuah sapaan yang tak akan mungkin aku lupakan. Sapaan khas, sapaan istimewa, sapaan cinta barangkali.
"Ci...., hallo..., kok pengantin melamun sih. Bangun donk."
Sapaan itu terdengar, memberi semangat dari kegalauan hatiku, sapaan yang ditunggu - tunggu rasa gugupku sejak tadi.
Ci..., sapaan yang hanya diketahuan sosok orang itu saja. Orang yang di tulis namanya di akhir jatah lembaran undangan. Dia datang, dan sesuai dengan jatah akhir undangannya.Terakhir.
"Samawa ya Ci, moga bahagia, patuh sama suami jangan nakal. Maaf tadi abang ada urusan mendadak jadi tidak bisa berangkat awal ke sini."
Dia menyalamiku dan memberikan doanya, tak lupa senyum khas pemuda ini. Senyum yang nakal namun menyejukkan.
Aku tak membalas. Terdiam, senyumku kaku. Masih tak menyangka kedatangannya. Sekarang dia menghampiri suamiku, memeluknya dan tak lupa memberi selamat. Tubuhku masih terpaku, hanya tatapan yang bebas menyertai kepergian sosok itu. Dia yang mengeluarkan sapaan Ci. Ternyata datang juga, meski di detik - detik akhir pernikahanku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI