"Cie... nulis nama mantan yaa, ayoo ngaku.. ehem."
Aku hanya tersenyum kala itu, saat menulis nama yang akan membuatku gugup di hari pernikahanku ini.
Masih ramai orang yang datang, tapi tak ada juga kulihat sosok yang membuatku terlihat aneh di mata sang lelaki pujaan di sampingku.
Salaman demi salaman berdatangan membawa sertakan doa restu yang diharapkan. Sudah lebih tiga ratusan batang hidung manusia yang tertangkap mata sigapku. Namun belum juga terlihat batang hidung dari sosok yang membuat gundah hari pernikahanku.
"Kamu kenapa sayang, ingin ke belakang?" tanya suamiku setengah berbisik. Dia tahu aku yang terlihat tak tenang dari tadi di pelaminan.
Aku tak menyahutnya, hanya senyum manis yang kuberikan pada sang lelaki pujaanku itu. Nampaknya dia tak ambil pusing atas kesalah tingkahanku saat ini. Dia tak protes, dia tak cemas hanya sesekali menawarkanku air mineral berharap kiranya gugupku berkurang.
                                      *** Â
Sudah kuperkirakan manusia yang tersisa di ruangan gedung resepsi ini. Sudah mulai sepi, kursi - kursi berbungkus kain merah muda berpita kuning di sana sudah lega nampaknya berdiri tegak tanpa beban para tamu. Para pagarayu yang cantik - cantik itu juga sudah mulai berkemas, bahkan ada yang sudah melepaskan sanggul palsunya karena tak akan ada lagi para tamu yang akan hadir.
Kekakuanku mulai berubah rasa. Kalau tadi aku gugup setengah mati sekarang aku malah lemas seperti kehilangan harapan. Harapan ingin sekali melihat sosok yang tertulis namanya di sisa - sisa lembaran undangan.
Akankah dia datang di hari pernikahankku, memberikan doa restu yang mungkin akan menyempurnakan doa - doa dari tamu yang lain.
Aku masih tertunduk lesu, tak bersemangat menatap kembang yang tersusun indah terbingkai hati di hadapanku.