Midnight, our sons and daughters
Cut down, taken from us
Hear their heartbeat
We hear their heartbeat
In the wind we hear their laughter
In the rain we see their tears
(Mothers of Disappeared, U2)
Covid-19 ternyata tak hanya meluluhlantakkan perekonomian dunia. Namun juga mencerabut manusia dari kasih sayang orangtua. Tengoklah wajah Fauzan (23) dan Fathan (15) yang tertunduk lesu di makam bunda tercinta di TPU Rorotan Jakarta Utara (Kompas, 23/8/21). Polah duka mereka yang bersimpuh di antara ratusan atau mungkin ribuan nisan para warga Jakarta korban Covid-19 adalah representasi kegalauan puluhan ribu yatim piatu dengan nasib sama di Indonesia. Diperkirakan 38.127 orang yang bertindak sebagai pengasuh utama (ayah ibu) atau pengasuh sekunder (kakek nenek) harus pergi selamanya terpapar Covid-19. Boleh jadi angka ini hanyalah puncak gunung es yang terlihat di permukaan. Angka sesungguhnya mungkin lebih mencemaskan sekaligus menakutkan. Kehilangan orangtua adalah pukulan hebat mengguncang jiwa. Ini dari sisi mental.Masa depan menjadi suram tanpa kepastian adalah ruang yang mau tak mau harus mereka lalui. Ini dari perspektif ekonomi. Covid-19 menghapus masa depan.
Jauh sebelum badai pandemi virus corona melanda dunia sekelompok ibu-ibu berkumpul di Plaza de Mayo Argentina, sebuah lapangan strategis dekat dengan istana presiden Lacada Rosada.Di antara mereka ada Juana de Pargament (78), Elsa Fanti de Mansotti (40) dan Josefa Donato de Pavvi (69). Meskipun usia mereka tak lagi muda namun mereka punya nasib yang sama: kehilangan anak tercinta.Mereka adalah anggota The Mothers of The Plaza de Mayo yang anak-anaknya desaparecidos, dihilangkan paksa oleh rezim yang berkuasa (Bouvard,1994).
PBB menilai penghilangan paksa adalah tindakan yang dilakukan untuk menyebarkan teror kepada masyarakat.Tindakan yang lebih daripada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) individu ini tak hanya berdampak kepada keluarga korban namun juga menggangu suasana batin masyarakat. Untuk itulah setiap 30 Agustus PBB menetapkan sebagai Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa (International Day of The Victims Enforced Disappearances).
Melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.65/209 menyerukan negara-negara anggota PBB untuk meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for The Protection of All Persons from Enforced Disappearances).Laman Komnas HAM menyebutkan hingga hari ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Konvensi tersebut mendefinisikan penghilangan paksa sebagai penangkapan, penahanan, penculikan atau tindakan lain yang merampas kebebasan yang dilakukan oleh aparat negara atau oleh orang-orang maupun kelompok yang melakukannya dengan mendapat kewenangan, dukungan serta persetujuan dari negara, yang diikuti dengan penyangkalan pengetahuan terhadap adanya tindakan perampasan kebebasan atau upaya menyembunyikan nasib serta keberadaan orang yang hilang sehingga menyebabkan orang-orang hilang tersebut berada di luar perlindungan hukum.
Komnas HAM Â menghitung ada 32.774 korban hilang pada peristiwa 1965/1966 dan 23 orang pada kasus pembunuhan misterius 1983-1985. Komnas HAM juga pernah merekomendasikan kepada presiden untuk mencari 13 aktivis yang hilang secara paksa periode 1997-1998. Nama-nama mereka di antaranya peraih anugerah Yap Thiam Hien 2002 Wiji Thukul, Ucok Munandar, Petrus Bima Anugerah, Dedy Omar Hamdun dan Yani Afri. Merekalah para desaparecidos.
Ibu-ibu Plaza de Mayo menginsipirasi supergrup U2 menciptakan lagu Mothers of Disappeared yang lirih melukiskan penderitaan orangtua yang kehilangan putra putrinya. Pada 9 Desember 2014 di Yogyakarta Presiden Jokowi menyatakan komitmennya di hadapan korban dan penyintas untuk bekerja keras menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Di Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa tahun ini keluarga desaparecidos menanti komitmen pemerintah tersebut. Ketahuilah, jika air mata mereka yang menjadi yatim karena dihilangkan paksa oleh Covid-19 masih basah maka air mata keluarga desaparecidos lama mengering sudah. Ketahuilah, para yatim korban Covid-19 masih bisa bertakziah menabur bunga di pusara. Sementara keluarga yang dihilangkan paksa bertahun-tahun hanya tepekur bertanya dimanakah kuburmu berada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H