Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Habibie dan Surat Tanggal 15 Juli

13 Juli 2019   08:18 Diperbarui: 13 Juli 2019   08:25 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ini dari Pak Habibie siapa?"

"Presiden B.J. Habibie, Bu Profesor".

Percakapan via telepon itu terjadi Rabu pagi 15 Juli 1998. Sang penanya yang bergelar profesor adalah Saparinah Sadli, Ketua Program Studi Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia. Sementara lawan bicaranya adalah staf Presiden Habibie. Ia mengundang Saparinah ke Bina Graha jam dua siang untuk bertemu presiden. 

Kisah ini diungkap Dewi Anggraeni dalam buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan (2014). Buku setebal 214 halaman itu mengungkap benang merah dibalik rentetan peristiwa kerusuhan Mei 1998 seperti kelahiran Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 dan surat yang merupakan pernyatan resmi Presiden BJ Habibie sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang mengutuk aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan termasuk kekerasan terhadap perempuan.

Istilah kekerasan terhadap perempuan adalah istilah menggantikan kata perkosaan. Suatu tindakan keji yang mengancurkan harkat dan martabat seorang perempuan.Laporan TGPF menyatakan kekerasan seksual dalam kerusuha Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan ditempat usaha. 

Sebagian besar adalah perkosaan yang dilakukan beramai-ramai dan kebanyakan dilakukan dihadapan orang lain. Korban kekerasan seksual tersebut tidak hanya perempuan etnis Tionghoa, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual korbannya memang berasal dari etnis Tionghoa dengan latar belakang sosial berbeda-beda.

Menurut Dewi Anggraeni (hlm 6) saat bertemu Presiden Habibie hari itu Saparinah Sadli tidaklah sendirian. Sejumlah aktivis perempuan ikut menemani di antaranya Carla Bianpoen, Mayling Oey-Gardiner, Kuraesin Sumhadi, Hartini Hartarto, Rita Kalibonso, Herawati Diah, Mely Tan,Smita Notosusanto, Kamala Chandrakirana, Myra Diarsi, Sinta Nuriyah Wahid, dan Chusnul Mariyah. 

Mereka semua tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang membuat surat pernyataan mengecam keras perkosaan dan penyerangan seksual yang bersifat sistematis terhadap perempuan pada kerusuhan Mei 1998. 

Surat pernyatan yang dikeluarkan 16 Juni1998 itu mendapat dukungan lebih dari 4000 orang. Surat pernyatan ini menjadi penting karena memuat tuntutan kepada pemerintah mengusut tuntas kerusuhan Mei 1998 dengan membentuk tim penyelidik independen.

Tim penyelidik independen tersebut akhirnya terbentuk dengan sebutan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998. Dari kisah yang dijabarkan Dewi Anggraini ini dapat disimpulkan bahwa TGPF dibentuk untuk mengungkap kasus kekerasan seksual secara masal yang terjadi antara tanggal 13 Mei 1998 hingga 15 Mei 1998. 

Persoalan perkosaan masal ini memang menjadi perdebatan karena mungkinkah peristiwa itu terjadi. Media massa khususnya surat kabar ketika memberitakan kerusuhan13-15 Mei 1998 sama sekali tidak menyinggung  apalagi menyebut peristiwa keji tersebut. 

Padahal peristiwa itu diakui terjadi secara masal dan dilakukan ditengah keramaian massa. Selain adanya pengakuan korban kepada para relawan, peristiwa perkosaan masal ternyata bukanlah yang pertama kali terjadi. Peristiwa yang hampir sama menimpa perempuan di Aceh (1976-2005) dan Timor Leste (1976-1999) (Anggraini,hlm166-17).

Posisi pemerintah terhadap perkosaan massal diwakili oleh Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto yang mengaku sudah mengunjungi beberapa rumah sakit termasuk di Penang. Namun korban perkosaan tidak ditemukan sehingga ia berkesimpulan tidak terjadi perkosaan di tengah kerusuhan (Anggraini, hlm xvi). 

Aparat pemerintah yang juga tidak mempercayai telah terjadi perkosaan masal adalah Menteri Negara Urusan Peranan Wanita melalui sikap diamnya. Kondisi ini disikapi Melani Budianta dengan membuat dengan surat terbuka berjudul "Saya Kapok Jadi Wanita' yang dimuat surat kabar Media Indonesia (hlm 78).

Meskipun peristiwa perkosaan massal tersebut terus dipertanyakan berbagai pihak namun upaya meyakinkan pihak penguasa akhirnya berbuah manis dengan munculnya surat presiden yang mengutuk  peristiwa tragedi nasional tersebut. Surat itu dibacakan Presiden Habibie dan ditayangkan langsung televisi-televisi nasional tanggal 15 Juli 1998. Lengkapnya isi surat tersebut adalah:

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Setelah saya mendengar laporan dari Ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, mengatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Untuk hal itu, saya menyatakan bahwa pemerintah akan proaktif memberikan perlindungan dan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari terulangnya kembali kejadian yang sangat tidak manusiawi tersebut dalam sejarah bangsa Indonesia.

Saya harapkan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera aparat pemerintah jikalau melihat ada kecenderungan ke arah kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga dan di manapun juga.

Oleh karena itu, saya atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, mengutuk berbagai aksi kekerasan pada peristwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan.

Assalamu alaikum Warahmatulah Wabarakatuh

Jakarta, 15 Juli 1998

ttd

B.J Habibie

Dalam perjalanan sejarah surat pernyataan yang memuat sikap resmi pemerintah terhadap perkosaan massal  tersebut jarang disebut, dimuat atau diberitakan pada setiap peringatan tragedi Mei 1998. Padahal surat tertangal 15 Juli 1998 mengawali terbentuknya Tim gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998 dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). 

Sejarah juga mencatat rekomendasi TGPF tidak pernah dilaksanakan pemerintahan Habibie dan presiden Republik Indonesia selanjutnya. Posisi pemerintahan Habibe sejak awal terlihat dengan tidak ada satu pun menteri yang hadir ketika TGPF menyampaikan temuan hasil penyelidian selama tiga bulan. 

Menurut Marzuki Darusman, kondisi ini mengakibatkan temuan sangat penting itu tidak mendapat perhatian publik yang layak (Anggraini,hlm xxii).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun