Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan  hasil pemilihan presiden 2019 dimenangkan pasangan Joko Widodo-Ma'uf Amin. Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 itu  mengajak pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk bersama-sama membangun Indonesia lima tahun ke depan (Kompas, 1/7/19).
Sementara itu wacana media yang berkembang menyoroti berbagai tantangan ke depan pascapemilu. Mulai dari menerawang kabinet Jokowi-Amin, kajian lemhanas agar peserta pilpres lebih dari dua pasang calon dan tentunya upaya rekonsiliasi akibat polarisasi masyarakat selama pemilihan presiden berlangsung.
Membahas persoalan baru mungkin bisa jadi lebih mengasyikkan daripada persoalan lama. Persoalan kabinet periode kedua Joko Widodo apakah ahli atau politik bahkan telah lama mengemuka (Kompas 11/6/19).
Dalam konteks sebagai antisipasi tentu saja sah untuk dilakukan. Apalagi kemenangan capres dan cawapres nomer urut 01 adalah urun rembug dan kerja keras Tim Kampanye Nasional (TKN) yang merupakan koalisi partai politik dan relawan pendukung Jokowi-Amin. Sehingga friksi dan negosiasi tarik ulur kepentingan antarinvestor kemenangan boleh jadi akan hangat dan bahkan keras.
Meskipun demikian tentunya wacana kabinet periode kedua dan antisipasi persoalan lima tahun ke depan seyogyanya tidak melenakan.Â
Hari ini hingga sebelum waktu pelantikan Oktober nanti yang masih bertanggungjawab memutar roda pemerintahan negara  adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla beserta kabinet kerjanya. Panduan kerja bernama Nawa Cita (sembilan cita-cita) tentunya harus diupayakan diselesaikan.
Butir keempat Nawa Cita menyebutkan pemerintahan Jokowi-JK menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Di akhir kalimat penjabaran butir keempat tertulis..."serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu".
Cita-cita menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu menjadi begitu penting karena baru pertama kali dalam sejarah setelah reformasi ada pasangan capres dan cawapres mau memasukkan persoalan masa lalu sebagai agenda kerja yang akan diselesaikan lima tahun ke depan.
Dengan jelas pasangan capres dan cawapes nomer urut dua (saat itu) menjabarkan butir keempat  Nawa Cita adalah menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Khususnya kerusuhan Mei, Trisakti-Semangi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok dan Tragedi 1965.
Dalam perjalanannya upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah tidak muncul dalam laporan kerja nyata dua tahun Jokowi-JK (web.kominfo.go.id). Upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu berhenti pada rencana memverifikasi laporan adanya kuburan massal tragedi 1965 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional sebagai cara penyelesaian kasus masa lalu dengan cara tanpa pengadilan (non justicia). Rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional menimbulkan resistensi para aktivis HAM karena dinilai sebagai upaya menyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar jalur hukum yang akan melanggengkan impunitas dan menambah daftar pelaku kejahatan HAM yang bebas tanpa diadili (Tirto.id).