Dengan sepeda ontel, mereka datang ke wilayah RI dengan membawa hasil buruan dan hasil alam. Mereka membawa cula, tanduk, kulit, dan lain-lain, untuk dijual kepada penduduk RI. Lalu mereka pulang dengan membawa gula, kopi, garam, ikan asin, minyak, rokok, batu batrey, dan barang-barang lain untuk kebutuhan hidup.
Mereka masuk ke wilayah perbatasan RI tanpa pemeriksaan yang ketat. Memang ada selembar surat dokumen yang harus mereka keluarkan, dan polisi di perbatasan memeriksanya, lalu mengijinkan mereka masuk. Di kawasan perbatasan ini, tidak ada pagar, tidak ada benteng yang mentereng.Â
Yang ada hanya tugu Titik 5200 KM, yaitu penanda titik terjauh kawasan RI dihitung dari tugu Titik 0 KM yang ada di Kota Sabang. Satu lagi tugu yang ada di sana, adalah tugu yang menjadi perbatasan RI -- PNG.
Pertahanan RI di kawasan perbatasan itu, bukanlah serdadu, tapi "hati" penduduk. Namun muncul pertanyaan, sampai kapankah mereka memberikan "hati" untuk Nusantara?
Â
Bila kita cermati sebuah surat terbuka yang dikirimkan via milis, miris rasanya. Tidak bisa dimungkiri, ada riak-riak separatisme di Tanah Air ini. Simak saja penggalan tulisan di milis groups yahoo.com (link-nya sudah tidak hidup), yang berbunyi seperti di bawah:
"Dengan menjalankan peran Anda sebagai agen Bupati, berarti Anda sedang dicongar seperti sapi oleh orang-orang non Papua di Merauke untuk memperkuat sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, administratif, dan ideologi yang sepenuhnya dirancang dan diterapkan oleh pemerintah kolonial Indonesia untuk mengindonesiakan kami orang Papua Barat... "
Bupati yang dimaksud dalam surat milis itu, tiada lain adalah Pak Jon yang kata-katanya terdengar filsuf itu. Jika saya sebagai orang luar Papua terpukau mendengar pidato penyambutan yang disampaikan Pak Jon, justru orang Papua sendiri ada yang menilai Pak Jon adalah perpanjangan tangan kolonial RI.Â
Tentu, bibit-bibit seperatisme seperti ini tidak bisa dibiarkan dan dianggap gampangan. Harus diselesaikan sebijaksana mungkin, dan sebenarnya pembesar di republik ini tahu, tindakan apa yang harus diambil.
Seperti dikutip Antara, tindakan yang harus diambil adalah seperti yang dikatakan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu pada upacara pelantikannya.
Barnabas mengatakan, cara terbaik untuk menghambat upaya separatisme di Papua adalah dengan meningkatkan kesejahteraan, memberantas kebodohan dan keterbelakangan agar rakyat Papua hidup sejajar dengan saudara-saudaranya di wilayah lain Indonesia.
"Pada jumpa pers sehari sebelum pelantikan, Senin (24/7/2006), kami telah menegaskan bahwa untuk menuntaskan separatisme di Papua maka jalan satu-satunya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jika rakyat sudah sejahtera maka mereka tidak akan bertindak macam-macam. Orang berteriak karena dia tidak sejahtera," katanya.
RI bisa berharap penduduk Merauke tidak akan terhasut oleh provokasi-provokasi gencar yang disampaikan melalui online. Ada satu falsafah hidup yang patut dicermati dari merauke, yang falsafah itu sering mereka ucapkan, dan mereka tulisan di beberapa tempat yang cukup penting, di antaranya di salah satu gedung Mopah, Bandar Udara Merauke. Falsafah itu berbunyi: Izakod bekai izakod kai (Satu hati satu tujuan).