Tiga Tokoh dan Tembok Absurd
Menurut Gerson Poyk, di dunia ini ada tiga tokoh dalam panggung kehidupan. Yang pertama kesadaran kita untuk mau menyatukan diri dengan dunia di luar diri kita; dan penyatuan diri ini tampaknya tidak mungkin serta sangat kontradiktif. Tokoh kedua adalah kontrakdiksi, sedang tokoh ketigakemustahilan.
Karena ketiganya merupakan sesuatu yang mustahil untuk dijalankan secara bersama-sama, maka muncul tokoh baru yang disebut disebut absurditas,tepatnya tembok atau dinding absurd. Jika kita membunuh salah satu dari tokoh itu, maka kehidupan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan, jika kita membunuh kendala-kendala absurd yang muncul dari keabsuran itu sendiri, kita akan membunuhsemuanya, dalam tindakan itu, tidak lagi terdapat tarian moral.
Untuk mengatasi kendala itu, ada yang membunuh dirinya sendiri, misalnya orang yang putus cinta dengan meminum baygon, atau dengan berperang. Jika kendala itu tidak bisa teratasi juga, maka jalan yang akan diambil adalah sebuah revolusi, dan orang tersebut akan membunuh orang. Untuk menghindari semua itu, diperlukanlah jalan tengah, “Ya, kita memerlukan akrobat moral.” Katanya.
Gerson Poyk mencontohkan seperti olahraga sepak bola, di dalam olahraga itu terdapat banyak kendala. Namun berkat kesatuan tim yang solid yang terlibat di dalamnya, maka kendala yang tercipta bisa diatasi melalui kerjasama. “Jadi olahraga sepakbola merupakan guru besar dalam dalam kehidupan kita.” terangnya. Selanjutnya, ia berpendapat, jalan tengah yang diperlukan harus dituntun oleh hati nurani. Meski bermain bola saling sikut dan saling tendang, namun tetap bermoral, tidak saling membunuh.
Di Indonesia, persoalan antara agama yang satu dengan agama yang lainsangat kontradiktif. Untuk mengatasinya kita harus mengadakan pemberontakan moral, caranya dengan cinta kasih,hati nurani, juga dengan akal sehat dan taktik-taktik jitu secara teratur sepanjang tidak membunuh orang dan tidak bunuh diri. Itulah yang disebut dengan filsafat politik atau moral rebel, seperti yang terdapat di dalam buku Albert Camus.