Mengambil hikmah di balik musibah itu mah fenomena lumrah. Terkadang sikap tersebut dipandang sebagai ekspresi menghibur diri dari situasi terjepit seperti ketika wabah pandemi covid-19 melanda dunia saat ini, mungkin itu ciri khas masyarakat Indonesia atau memang gejala universal dan manusiawi.Â
Untuk bangsa Indonesia yang mayoritas muslim sikap seperti itu merupakan pengamalan ajaran dari sebuah ayat suci yang sangat populer yang menyebutkan bahwa "di dalam kesulitan terdapat kemudahan". Meski banyak ragam caranya tetapi temanya sama dan lumrah, yakni hikmah di balik musibah, maka terkadang tak menarik lagi untuk diceritakan atau disimak ceritanya.Â
Lalu apa yang tidak biasa dan tidak lumrah? Atau barangkali lebih tepat disebut unik karena jarang orang mengalami dan ataupun mengetahuinya. Kedengarannya seperti berbelit, ya? Sebenarnya tidak juga. Karena dua cerita berikut merupakan kisah nyata dan bukan mengada-ada.Â
Satunya tentang musibah di balik hikmah dari sebuah musibah, dan lainnya tentang perilaku cerdas ekonomi di tengah pandemi covid-19. Ini bukan kata penulis, bertutur tentang suatu yang unik, selain menarik juga dapat menjadi pembelajaran agar dapat Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian.
Bagi mereka yang berusia di atas 40 tahun, menghadapi krisis akibat merebaknya wabah pandemi covid-19 saat ini mengingatkan peristiwa ketika Indonesia bergolak dan mengalami krisis multi dimensi  pada tahun 1998 lalu yang di kalangan masyarakat umum disebut sebagai krismon akronim dari krisis moneter.Â
Secara ringkas dapat digambarkan saat gejolak politik dan ekonomi itu meledak kebanyakan rakyat Indonesia boleh dibilang dalam kondisi buta informasi, karena selama rezim otoriter Orde Baru arus informasi melalui media masa memang diawasi pemerintah secara ketat. Sehingga ketika kerusuhan massa terjadi yang dipicu dan diawali insiden tewasnya beberapa mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta dan kemudian meluas ke berbagai kota besar lain telah mendorong masyarakat berduyun-duyun dalam antrian panjang mendatangi kantor bank atau ATM untuk menarik dana yang tersimpan di bank, khususnya bank swasta, sehingga terjadi rush.Â
Pada waktu itu Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang sepenuhnya di bawah kendali lembaga eksekutif pemerintah telah gagal dalam menjalankan kebijakan Makroprudensial Aman Terjaga. Selain menjaga stabilitas sektor perbankan, dan sistem finansial secara keseluruhan, salah satu fungsi BI untuk menjaga stabilitas sistem keuangan pada umumnya dan stabilitas nilai mata uang pada khususnya saat itu terganggu, sehingga nilai rupiah "terjun bebas". Dalam waktu relatif singkat nilai rupiah merosot tajam, dari Rp4.000 merangkak naik hingga menyentuh angka Rp16.650 per dolar Amerika Serikat (AS).Â
Banyak juga orang yang memiliki  simpanan rupiah dalam jumlah besar buru-buru untuk mengalihkan simpananan dana segarnya dalam mata uang dolar AS. Penulis yang saat itu kebetulan memiliki simpanan rupiah dalam jumlah lumayan banyak sempat tergoda untuk menukarkan sebagian dalam bentuk mata uang dolar AS yang cukup murah di kota Jedah, Saudi Arabia, bertepatan saat menunaikan ibadah haji, meski kemudian urung karena istri tidak menyetujui.Â
Selang beberapa lama kemudian ketika terdengar kabar mereka yang memilih untuk menukarkan rupiah dengan dolar AS telah meraup untung besar dengan cara menjual kembali simpanan uang dolarnya sempat membuat hati sedikit menyesal. Tetapi rasa menyesal itu terhibur ketika kembali terdengar kabar salah seorang dari mereka yang mendadak kaya telah lupa diri dengan kawin lagi sehingga kehidupan rumah tangganya yang semula bahagia berakhir hancur berantakan.Â
Jika dalam "ilmu kepribadian" dikenal istilah "inner beauty", maka sikap dan tindakan istri tersebut tergolong Cerdas Berperilaku secara "luar" dan "dalam". Â Karena tak sedikit pula korban lain berjatuhan gegara krisis tersebut yang salah kaprah mengambil langkah, mau untung jadi buntung. Di antaranya terjerat dalam kasus investasi bodong karena terdorong keinginan untuk mempertahankan ataupun mengembangkan nilai asetnya, sehingga tidak dapat Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian.
Berbeda dengan korban terdampak pada krisis 1998 yang sebagian besar  terdiri dari kalangan masyarakat dan dunia usaha kelas menengah ke atas, krisis wabah pandemi covid-19 saat ini korban terdampak kebanyakan adalah kalangan masyarakat ekonomi kelas bawah. Pada krisis 1998 sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) disebut justru mampu bertahan dari terpaan krisis bahkan dapat menjadi penggerak dan penopang pertumbuhan ekonomi nasional.