Pengantar
Pernahkah Anda sekali-sekali menggoda dengan menutupkan selimut ke tubuh anak balita usia sepuluh bulan yang sedang (belajar) duduk? Secara spontan kedua tangannya akan menggapai-gapai, bisa jadi sembari gelagapan, mencoba untuk melucuti selimut yang menutupi tubuhnya.Â
Seketika itu ia pun tertawa jenaka sehingga tampak dua gigi mungilnya yang tumbuh di gusi bawah sembari menghela nafas lega kian menambah lucu wajah yang sudah lucu itu.Â
Begitulah ekspresi panik yang paling innocent dan sederhana. Simulasi tersebut dikombinasi dengan konsep penciptaan Tuhan yang serba dua mengilhami tulisan ini untuk kemudian dimodifikasi sebagai metode pemecahan masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana dan mudah agar dapat Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian.
Panik sebagai akar masalah
Salah satu faktor pemicu panik adalah rasa takut, karena ketidaktahuan. Banyak kejadian memperlihatkan bahwa karena dorongan perasaan panik orang melakukan suatu langkah atau tindakan yang salah, sehingga akhirnya ia malah tertimpa celaka akibat tindakan panik tersebut, bukan dari sesuatu yang membuat ia panik.Â
Kepanikan masyarakat yang melanda dunia tak terkecuali Indonesia akibat dari berjangkitnya pandemi covid-19 dewasa ini disikapi dan diatasi dengan beragam cara sesuai dengan kondisi negara dan kultur bangsa masing-masing.Â
Di Indonesia kepanikan sebagian masyarakat timbul dalam bentuk panic buying atau memborong segala keperluan hidup terutama barang-barang sembako dan alat pelindung diri seperti masker dan bahan disinfektan, sehinggga mengakibatkan barang-barang tersebut "menghilang" dari pasaran dan pada gilirannya membuat harganya melonjak berkali lipat.
Tindakan panik masyarakat yang dikhawatirkan banyak pihak, seperti menarik secara besar-besaran dana tunai yang tersimpan di bank (rush) untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu timbul kekacauan di tengah situasi tak menentu ini nampaknya tak terjadi. Tetapi melakukan transaksi spekulasi sekadar untuk meraih keuntungan pribadi, melakukan panic selling atau panic redeeming mungkin saja terjadi. Padahal bereaksi dan bertindak berlebihan, selain dapat merugikan diri sendiri juga merusak atmosfir yang pada gilirannya dalam jangka panjang akan berbalik merugikan diri sendiri. Gambaran singkat perilaku tersebut sebenarnya kata kuncinya adalah "panik" sebagai akar masalahnya. Oleh karena itu, tulisan ini lebih fokus untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana cara untuk meredam dan atau mengatasi rasa panik, baik secara individual maupun massal, agar dapat melangkah lebih bijak dan waspada. Memang hal tersebut bukan perkara ringan dan mudah, lebih-lebih menyangkut hal yang sangat esensial, yakni keselamatan jiwa dan harta (ekonomi).
Â
Selanjutnya, jika dirunut lebih jauh "anatomi" panik itu sendiri sesungguhnya merupakan manifestasi dari manajemen krisis sebagai bagian dari "manajemen kalbu" yang pernah dijadikan tema dakwah dari ustad kondang KH Abdullah Gymnstiar atau akrab disapa Aa Gym. Perlu dicatat bahwa tulisan ini mengggunakan metode pendekatan Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Lebih-lebih momentumnya bertepatan dengan bulan suci Ramadan. Sungguhpun demikian mengingat tinjauan ini cukup faktual dan rasional, maka hasilnya bersifat universal dan berlaku umum.
Manajemen kalbu sebagai "seni" pada dasarnya bertolak dari sinergitas fungsi 2 (dua) unsur utama manusia, yakni:
1. Â Â Perasaan, dan
2. Â Â Pikiran
Perasaan sebagai ekspresi dan menifestasi dari jiwa (kalbu atau hati) ketika menghadapi hal-hal terutama yang berhubungan dengan sesuatu yang gaib (metafisik atau supranatural), khususnya tentang kematian, maka sebenarnya hanya agamalah yang paling kompeten untuk memberikan jawaban dan kepastian, meskipun bagi sebagian orang mungkin dinilai kurang memuaskan. Dalam pandangan Islam kematian adalah sebuah keniscayaan yang merupakan ketetapan dan otoritas Tuhan. Tidak ada satu pun kekuatan atau kekuasaan selain Tuhan yang dapat mempercepat ataupun memperlambat sebuah kematian. Bahkan secara lugas dan tegas Tuhan menyatakan bahwa bila ajal itu sudah tiba, maka manusia tidak akan dapat lari dari kematian itu sekalipun bersembunyi dalam sebuah "bangker (bunker) baja" yang kokoh. Seseorang yang memahami dan meyakini kebenaran prinsip tersebut sudah barang tentu jiwanya jauh dari sikap panik dan pada gilirannya dapat lebih bersikap arif dan tenang ketika harus berhadapan dengan masalah kematian. Sedangkan akal pikiran yang mewakili raga atau jasmani, seperti ketika menghadapi masalah duniawi pada umumnya dan ekonomi dan keuangan pada khususnya, apalagi dalam situasi dan kondisi krisis, ada baiknya belajar dari sejarah sebagai bahan perbandingan.
Sepanjang perjalanan sejarah negara Indonesia, dua kali bangsa Indonesia pernah mengalami dan menghadapi krisis, yakni pada tahun 1965 dan 1998 yang berpotensi menimbulkan ancaman pada keselamatan jiwa dan harta milik warga bangsa. Tulisan ini memilih krisis multi dimensi 1998 sebagai model perbandingan, selain karena waktu kejadiannya relatif lebih baru, intensitas kegentingannya pun mirip dengan kondisi pandemi covid-19 saat ini. Guna mengambil langkah antisipatif, antara kedua peristiwa tersebut sesungguhnya dapat diperbandingkan guna mengantisipasi secara algoritmik dengan ciri-ciri sebagai berikut:
A- Â Aspek keselamatan jiwa
I. Â Krisis multi dimensi 1998
1). Krisis 1998 hanya terjadi dan terbatas di negara Indonesia, dan
2). Peristiwa tersebut meletus akibat dari krisis politik dalam negeri sehingga pemerintah sempat kehilangan kendali yang dapat membahayakan negara. Dalam situasi demikian keselamatan jiwa sewaktu-waktu dapat terancam, seperti pada orang-orang sebagai berikut:
(a) mereka yang langsung atau tidak langsung terkait dengan krisis politik,
(b) mereka yang berada di lokasi dan atau dalam kerumunan saat terjadi kerusuhan massa.
Â
Ragam respons (khususnya di ibu kota sebagai episentrum peristiwa):
Sosial: Saat itu banyak warga dari etnis Tionghoa serempak buru-buru melakukan eksodus untuk mengungsi keluar negeri karena takut menjadi korban sasaran amuk massa sebagai akibat dari akumulasi kecemburuan sosial selama rezim Orde Baru.
Individual: Pada umumnya warga bersikap mencari selamat sendiri. Banyak juga orang yang mendatangi lokasi kerusuhan massa dan penjarahan supermarket atau toko dengan maksud untuk menonton atau sebagian malah ikut melakukan penjarahan dan akhirnya menjadi korban sia-sia.
Cerdas Berperilaku: Sebagai warga biasa penulis memilih untuk berdiam di rumah bersama keluarga sambil mengikuti perkembangan situasi dari media cetak dan televisi.
II. Â Krisis pandemi covid-19
1) . Â Pandemi Covid-19 terjadi secara mendadak dan melanda hampir seluruh dunia, sehingga sangat berpotensi mengancam keselamatan jiwa semua orang.
2). Â Tidak ada krisis politik dalam negeri. Kekuasaan pemerintahan relatif berjalan stabil dan hadir secara efektif di tengah masyarakat.
Ragam respons:
Sosial: Di samping respons masyarakat seperti diuraikan di atas, nampaknya alih-alih mempercayakan penanganan pandemi covid-19 kepada kebijakan dan kemampuan pemeritah, banyak masyarakat justru tidak menyadari bahwa masalah serta tantangan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah tersebut lebih cepat ditangani sesuai dengan standar protokol WHO bila segenap masyarakat bersatu dan bahu-membahu dalam satu koordinasi.
Individual: Banyak warga alih-alih muncul solidaritas --meskipun belakangan secara sporadis mulai bermunculan aksi gotong royong yang sesungguhnya memang merupakan warisan budaya lama-- cenderung bertindak untuk mencari selamat dan kepentingan sendiri.
Cerdas Berperilaku: Sebagai warga biasa penulis bersama keluarga memilih untuk mengikuti dan mematuhi segala petunjuk atau arahan dari pemerintah tentang apa saja yang harus dilakukan, termasuk tidak mudik. Semua harus bersatu untuk mencegah penularan dan penyebaran pandemi covid-19, agar bencana ini cepat selesai.
B- Â Aspek ekonomi dan keuangan
I. Â Krisis multi dimensi 1998
1). Â Di samping ciri-ciri dan faktor-faktor sebagaimana disebutkan terdahulu (A-I nomor 1 dan 2), ditambahÂ
2).  Selama rezim Orde Baru sistem perbankan dikooptasi pemerintah, tetapi kemudian pemerintah lepas kendali alias tidak mampu mengendalikan Makroprudensial Aman Terjaga sehingga  stabilitas sistem keuangan terganggu dan berujung dengan lengsernya presiden RI ke-2 Soeharto.
Ragam respons:
Sosial: Masyarakat luas beramai-ramai menarik seluruh dana tunai yang tersimpan di bank, baik melalui ATM maupun langsung di kantor-kantor bank meskipun harus berdiri dalam antrian panjang, sehingga terjadi rush. Episode tersebut membuat bank swasta mendadak mengalami kolaps sehingga memerlukan suntikan dana yang kemudian melahirkan kasus korupsi BLBI itu.
Individu: Tak sedikit masyarakat memindahkan dana yang ditarik dari bank kemudian terjerumus dan terjerat ulah para spekulator  dalam bentuk investasi bodong. Saat itu media sosial belum banyak digunakan dan informasi tentang investasi alternatif belum memasyarakat, sehingga sebagian masyarakat mengalihkan simpanan dananya dalam bentuk dollar Amerika Serikat, karena nilai tukar rupiah terjun bebas .
Cerdas Berperilaku: Penulis menarik semua dana yang tersimpan di bank swasta untuk disimpan di bank pemerintah.
II. Â Krisis pandemi covid-19
1). Â Berbeda dengan lingkungan makro ekonomi pada krisis moneter 1998, selain faktor-faktor sebagaimana disebutkan terdahulu (A-II nomor 1.dan 2),Â
2).  Dalam pemerintahan presiden Jokowi sistem perbankan telah mandiri dalam arti tidak ada campur tangan dari lembaga eksekutif ataupun lembaga kekuasaan lainnya. Dengan demikian untuk menjaga kesehatan sistem perbankan, Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan Makroprudensial Aman Terjaga secara mandiri. Sementara untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan dalam rangka untuk melayani kebutuhan individu yang terkendali Bank Indonesia bersinergi dengan lembaga Otoritas Jasa Keuangan.
Ragam respons:
Sosial: Tidak terjadi penarikan dana dari bank secara besar-besaran (rush). Namun transaksi spekulasi sekadar untuk meraih keuntungan pribadi yang dapat mengganggu nilai rupiah dan pasar saham bisa saja terjadi.
Individual: Bertolak belakang dengan saat krisis 1998, sekarang ini masyarakat ekonomi kelas bawah dan jumlahnya mayoritas yang paling terdampak dan menderita. Keinginan masyarakat untuk mudik harus disadari telah mengabaikan keselamatan diri dan orang sekitarnya.
Cerdas Berperilaku: Penulis tidak dirisaukan dengan masalah keuangan, karena tidak lagi produktif sehingga tidak banyak uang seperti tahun 1998.
Berikut kutipan dua ayat Alquran sebagai kerangka teori dan satu ayat pendukung artikel ini.
Perlunya manusia:
1. Â Â Menggunakan akal pikiran (yang sehat).
"...maka tidakkah engkau menggunakan akal?" QS 2:44
"...maka apakah kamu tidak memikirkan?" QS 6:50
2. Â Â Belajar dari sejarah.
"..hendaklah setiap diri mengamati masa lalu untuk (menghadapi) hari esok.." QS 59:19
Â
Konsep penciptaan Tuhan berpasang-pasangan.
"dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan" Â QS 78:8
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H