Dapat dialami dari orang desa hingga orang kota
Lebo adalah sebuah desa yang letaknya di tengah bantaran sawah cukup luas termasuk bagian dari wilayah kecamatan Gringsing (simak: sejarahnya) . Nama Gringsing itu sendiri dulu pernah dikenal sebagai nama salah satu motif kerajinan batik, meskipun sebenarnya tidak ada hubungannya dengan urusan batik.
Tapi sekarang juga dikenal terutama oleh para pengendara mobil jarak jauh di jalan pantura karena pembangunan jalan tol Trans Jawa. Mereka yang menempuh perjalanan jauh hampir selalu melewati jembatan kali Kutho  Gringsing .
Keberadaan jalan tol itu tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh masyarakat setempat. Namun berkat kegigihan presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur perubahan besar tersebut dapat menjadi kenyataan. Letaknya yang sangat berdekatan bahkan bersinggungan langsung dengan jalan tol membuat warga desa Lebo dan sekitarnya sangat jauh berbeda, baik dalam bidang sosial budaya maupun wawasan, jika dibandingkan dengan masa dekade 1950-an, dimana masyarakatnya masih terisolasi secara komunikasi dan kultural.
Sepanjang tahun mereka lebih memilih untuk menjalani hidup sehari-hari dengan tenang dan tenteram dari hasil kesibukan bercocok tanam padi.
Hanya satu tahun sekali menjelang lebaran atau hari raya Iedul Fitri mereka pergi ke pasar Weleri, sebuah kota kecil terdekat untuk berbelanja kebutuhan lebaran sambil menyaksikan ramainya "pasar kembang". Itupun dilakukan oleh sebagian dari mereka yang mampu. Tradisi pasar kembang itu masih berlaku hingga sekarang, yaitu semacam bazaar yang diadakan 1-2 hari menjelang lebaran Iedul Fitri tiba.
Namun memasuki dekade 1960-an suasana tenang dan tenteram itu mulai berubah karena pengaruh perkembangan politik dan ekonomi negara yang morat-marit yang sebenarnya tidak mereka sadari. Kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat setempat kian mencekik, hingga untuk makan sehari-hari saja hampir-hampir tidak dapat terpenuhi, terutama karena pertanian padi kerapkali mengalami puso akibat serangan hama wereng dan tikus.
Dalam kondisi kesulitan ekonomi terasa semakin mencekam karena belakangan muncul gangguan aksi pencurian.
Awalnya warga yang mengalami kecurian diam-diam, mungkin karena malu untuk menceritakan kepada tetangga atau karena barang yang dicuri nilainya tak seberapa, seperti beras atau pakaian.
Orang desa waktu itu tidak terbiasa atau enggan melaporkan kejadian kriminal ke pihak berwajib dalam hal ini kepolisian, apalagi letak pos penjagaannya kebetulan memang cukup jauh dari desa. Tetapi lama kelamaan ketika diketahui semakin bertambah jumlah warga yang menjadi korban penecurian, mereka mulai resah bercampur geram atas kejadian itu.Â
Satu tahun lebih sudah aksi pencurian itu berlangsung secara sporadis, tetapi alih-alih tertangkap pelakunya memergokinya saja belum pernah terjadi. Seiring dengan berjalannya waktu beredar kabar dan dugaan bahwa si pencuri memiliki ilmu "aji sirep" --konon didapat setelah berguru ke Cirebon--, yakni semacam ilmu sihir atau hipnotis yang dapat membuat orang tertidur lelap, sehingga sang pencuri dengan leluasa dapat melakukan aksinya.Â