Mohon tunggu...
D A I N
D A I N Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa yang hobi membaca, menulis, dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalau Ada Apa-Apa Bilang, Ya...

20 April 2024   09:00 Diperbarui: 20 April 2024   09:04 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyenangkan rasanya ketika aku bisa bertemu dengan teman-temanku saat waktu istirahat tiba dan menghabiskan waktu bersama mereka. Berada di kelas sendirian tanpa kehadiran mereka terasa cukup menjemukan. Sesederhana menikmati gado-gado dan minuman dingin buatan ibu kantin di sekolah kami—ditemani langit hari ini yang kelabu, udara yang sejuk dan hiruk-pikuk murid-murid yang lain—sambil mendengarkan mereka bercerita tentang apa saja yang terjadi dalam hidup mereka akhir-akhir ini dan bagaimana mereka melaluinya, cukup untuk membuatku sejenak melupakan tugas-tugas sekolah yang menumpuk, beberapa urusan yang harus kukerjakan sepulang sekolah nanti, keadan di rumah yang semakin hari semakin tidak baik-baik saja, dan pikiran-pikiran lainnya.

"Viola, dari tadi ngelamun mulu. Lagi mikirin apa, sih? Kasiha tuh nasimu nungguin kamu makan." Ucap salah satu temanku, Clara, tiba-tiba dan menyadarkanku dari lamunanku.

"Iya, nih. Kalau kamu nggak mau, kasih aku aja. Aku masih sanggup  menampung nasi pecel kamu kok." Sahut Melani, temanku yang lain yang kemudian dibalas ketus oleh yang lainnya karena kelakuannya.

Aku tertawa kecil menanggapi Melani yang memang suka banyak makan. "Aku nggak mikirin apa-apa kok."

"Beneran? Eh, tapi kamu kelihatan pucet, lho. Kantung mata kamu juga kelihatan item banget. Kamu beneran nggak apa-apa? Kalau ada apa-apa cerita aja ke kita."

Kalau saja aku bisa melakukannya, akan aku ceritakan semua yang aku alami selama ini. Mungkin bisa dimulai dari keadaan keluargaku yang sebenarnya tidak baik-baik saja karena ayahku seorang pemabuk, pemarah, dan ibuku yang sangat patuh, atau lebih tepatnya takut terhadap ayahku. Akibat perangai burukunya tersebut, tidak jarang aku dan ibuku menjadi sasaran pelampiasan amarah ayahku, entah itu karena masalah pekerjaan atau bahkan hal-hal sepele seperti saat ibuku yang hanya membuat nasi dan sayur bening untuk sarapan. Kalau saja dia sedikit peduli dengan urusan di rumah, alih-alih menghabiskan uang hanya untuk alkohol dan bersenang-senang dengan wanita lain, dia akan tahu bahwa tidak ada apapun yang tersisa untuk kami makan selain sedikit beras dan seikat sayur kangkung sisa kemarin. Soal wanita lain itu...ibuku sudah lama mengetahuinya, namun dia lebih memilih diam daripada harus membuat suaminya naik pitam. Kalau sampai terjadi seperti itu, semua yang ada di rumah akan menjadi sasaran amarahnya, dan ibuku rela melihatku merintih kesakitan demi amarah suaminya segera mereda. Akibat ulah ayahku itu aku terpaksa harus menutupi lebam-lebam di beberapa bagian tubuhku dengan riasan.

Cerita yang cukup menyedihkan, ya? Mana mungkin aku akan menceritakan semua itu kepada teman-temanku yang selama hidupnya merasakan kenyamanan dan kehangatan kasih sayang dari orang tua mereka secara cuma-cuma. Mereka tidak akan bisa memahami keadaanku. Lagi pula, jika aku memberitahu mereka tidak akan mengubah apapun yang sudah terjadi. Aku juga tidak ingin mengingatnya selagi aku berada di luar rumah. Terlalu menyakitkan. Alih-alih memberitahu mereka yang sebenarnya, aku hanya membalas, "Oh, ya...akhir-akhir ini aku emang kurang istirahat, sih, gara-gara tugas dari Bu Ifa yang banyak banget. Kalian ada kelas Bu Ifa juga, kan?"

"Iya, bener. Masih banyak tugas dari Bu Ifa yang belum aku kerjain. Belum lagi dari Bu Cindy. Aduh banyak banget ya…"

Semakin sedikit yang mereka tahu tentangku semakin baik. Aku tidak ingin membebani mereka dengan penderitaanku dan aku tidak ingin mereka mengasihaniku. Cukup saja bagi mereka untuk melihatku yang selalu ceria dan memiliki banyak teman. Aku selalu merasa senang ketika berada di sekolah karena aku bisa bertemu dengan teman-temanku dan bersenda-gurau bersama mereka, yang mana tidak pernah bisa aku lakukan ketika di rumah. Tapi, itu hanya sampai jam sekolah usai. Setelah itu aku harus pulang ke rumah. Rasanya berat sekali ketika harus berjalan menuju ke rumah. Aku tidak ingin bertemu dengan mereka, aku bahkan berharap agar aku bisa menjauh dari mereka. Maka, kali ini aku memutuskan untuk berjalan menuju sebuah konstruksi bangunan yang sudah lama terbengkalai setinggi dua puluh tiga meter, tempat favoritku untuk menghabiskan waktu sebelum pulang dari sekolah sampai malam tiba. Lantai paling atas adalah yang paling aku suka.

Menikmati pemandangan lampu kota, mobil-mobil dan kendaraan lain yang hilir mudik di jalan raya dari tepi bangunan, serta suasana sunyi dan tenteram yang menenangkan. Hembusan angin malam yang lembut membelai anak-anak rambutku. Kupejamkan mataku dan kuhirup banyak-banyak udara malam yang menyegarkan, membiarkan oksigen malam itu memebuhi paru-paruku. Rasanya nyaman sekali berada di sini hingga tanpa sadar membuatku membayangkan bagaimana seandainya keadaanku bisa lebih baik dari ini, bagaimana jika aku memiliki keluarga yang harmonis seperti yang lainnya, bagaimana jika ayahku bukan seorang pemabuk dan ibuku bisa memberikan kasih sayangnya padaku, bagaimana jika sedari awal aku tak pernah lahir di dunia? Pasti menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun