Mohon tunggu...
DNA HIPOTESA
DNA HIPOTESA Mohon Tunggu... Mahasiswa - IPB University

Discussion and Analysis merupakan sebuah divisi di Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) yang berada di bawah naungan Departemen Ilmu Ekonomi, FEM, IPB University. Divisi DNA berfokus dalam mengkaji isu-isu perekonomian terkini baik Indonesia maupun global. As written in the name, we are here to produce valuable analysis of the economy, while building a home for healthy economic discussions. All of this is aimed to build critical thinking which is paramount in building a brighter future for our economy.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia 2045: Dari Harapan Emas Menuju Ancaman Cemas

27 Oktober 2024   20:31 Diperbarui: 27 Oktober 2024   20:31 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan visi "Indonesia Emas" 2045. Salah satu tantangan utama adalah sulitnya menciptakan lapangan kerja yang memadai, terutama bagi generasi muda, meskipun perekonomian tumbuh dengan stabil diatas angka 5% namun Ketimpangan dalam kesempatan kerja serta ancaman kemiskinan yang mengintai kelas menengah memperkuat kekhawatiran ini. Melihat kondisi tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Indonesia akan mencapai masa keemasan atau justru tergelincir dalam situasi yang mencemaskan?

Generasi Z dan Pasar Tenaga Kerja yang Tidak Seimbang

Generasi Z Indonesia yang seharusnya menjadi aktor utama dalam masa depan perekonomian, harus menghadapi ketidakpastian yang semakin besar khususnya dipasar kerja. Alih-alih menemukan peluang untuk berkembang, mereka malah terjebak dalam peningkatan angka pengangguran. Data dari BPS menunjukan jumlah pencari kerja di Indonesia sebanyak 1.819.830 dengan proporsi jumlah lowongan kerja yang ada sebanyak 216.972.

Dengan demikian, terjadi ketimpangan yang signifikan antara jumlah pencari kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Artinya hanya sebagian kecil dari pencari kerja yang dapat tertampung dalam lapangan kerja yang ada, sementara sebagian besar lainnya harus menghadapi kenyataan pahit menjadi pengangguran atau terjebak dalam pekerjaan informal yang tidak sesuai dengan kualifikasi mereka. Ketidakseimbangan ini tidak hanya mencerminkan krisis dalam penciptaan lapangan kerja, tetapi juga memperlihatkan adanya ketidakselarasan antara kebutuhan pasar dan kompetensi tenaga kerja yang ada.

Deindustrialisasi Prematur di Indonesia

Disamping itu, Premature deindustrialization sedang terjadi di Indonesia. Deindustrialisasi prematur merupakan fenomena di mana negara-negara berkembang mengalami penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap lapangan kerja dan output ekonomi sebelum mencapai tahap kematangan industri yang biasanya dialami oleh negara-negara maju. Fenomena ini telah diamati secara global, terutama di wilayah-wilayah seperti Amerika Latin dan Afrika, di mana negara-negara tersebut terjebak dalam proses deindustrialisasi terlalu dini, hal tersebut merupakan dampak dari globalisasi dan pergeseran ekonomi menuju sektor jasa (Kuwamori, 2024; Taguchi & Kosegawa, 2023). Salah satu mekanisme utama di balik deindustrialisasi prematur adalah globalisasi, di mana meningkatnya keterbukaan perdagangan dapat menyebabkan deindustrialisasi di negara-negara berkembang yang tidak memiliki hubungan kuat dalam rantai nilai global (zelik & zmen, 2023). 

Selain itu, kelimpahan sumber daya alam di negara-negara berkembang juga dapat menghambat pertumbuhan industri melalui fenomena yang dikenal sebagai penyakit Belanda (Taguchi & Kosegawa, 2023). Dampak dari deindustrialisasi prematur ini terlihat jelas pada ketimpangan pendapatan, di mana pergeseran tenaga kerja dari sektor manufaktur ke sektor jasa non-pasar dapat memperburuk kesenjangan ekonomi (Ravindran & Babu, 2023). Di sisi lain, jika tenaga kerja beralih ke sektor layanan bisnis, dampak deindustrialisasi terhadap ketimpangan mungkin dapat diminimalkan (Ravindran & Babu, 2023). Meski tantangan ini nyata, beberapa ahli berpendapat bahwa kebijakan industri yang proaktif serta partisipasi aktif dalam rantai nilai global dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif deindustrialisasi prematur (zelik & zmen, 2023).

Deindustrialisasi di Indonesia mengacu pada penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebelum negara ini mencapai tingkat pendapatan tinggi. Fenomena ini mulai terlihat sejak awal 2000-an, ketika kontribusi sektor manufaktur terus menurun dari 22,04% pada tahun 2010 menjadi sekitar 20,395% pada tahun 2022.

Sumber: BPS, 2023
Sumber: BPS, 2023

Grafik diatas menunjukan tren penurunan sektor manufaktur di Indonesia sejak 2010-2023. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa sektor manufaktur, yang sebelumnya menjadi pilar pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja formal berkualitas, semakin kehilangan perannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Deindustrialisasi di Indonesia dianggap prematur karena terjadi sebelum negara ini berhasil mencapai status sebagai negara berpendapatan tinggi, berbeda dengan negara-negara seperti Korea Selatan dan China yang berhasil melalui proses industrialisasi dengan matang.

Korea Selatan dan China mencontohkan keberhasilan industrialisasi melalui kebijakan strategis dan transformasi struktural. Kedua negara beralih dari ekonomi agraria menjadi pusat industri dengan menerapkan kebijakan industri yang ditargetkan, mendorong inovasi, dan meningkatkan daya saing global. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang pesat ditandai dengan pergeseran dari industri upah rendah ke sektor teknologi tinggi. Hal ini didorong oleh strategi berorientasi ekspor dan dukungan negara untuk perusahaan lokal, yang memungkinkan ekspor Korea Selatan melonjak dari 122 juta pada tahun 1960 menjadi 703 miliar pada tahun 2013, dengan manufaktur menyumbang lebih dari 80% dari total ekspor (Lee et al., 2019). Peningkatan fokus pada produk bernilai tinggi dan berteknologi maju menjadi sangat penting dalam memperkuat ekonomi Korea Selatan (Lee et al., 2019).

Demikian pula, industrialisasi China melibatkan adaptasi kebijakan pragmatis yang mengatasi tantangan ekonomi tertentu, yang berujung pada pertumbuhan manufaktur yang signifikan dan penciptaan lapangan kerja. China mengadopsi kebijakan industri fleksibel yang berkembang seiring dengan kebutuhan pasar, mendorong transformasi struktural yang cepat (Chang & Zach, 2018). Sektor manufaktur di China telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, menciptakan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik (Li, 2022). Sinergi antara mekanisme negara dan pasar di kedua negara ini telah memfasilitasi lintasan ekonomi yang luar biasa, menciptakan model industrialisasi yang patut dicontoh oleh negara-negara lain.

Deindustrialisasi dini di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh ketergantungannya pada sumber daya alam, yang mengarah pada fenomena yang dikenal sebagai "penyakit Belanda." (Dutch disease). Kondisi ini muncul ketika masuknya mata uang asing, seperti dari ekspor sumber daya alam atau pengiriman uang, mengapresiasi mata uang lokal, sehingga membuat sektor lain terutama manufaktur, menjadi kurang kompetitif. Ketergantungan Indonesia pada sumber daya alam telah menciptakan volatilitas ekonomi yang tinggi dan berkurangnya diversifikasi dalam perekonomian. Misalnya, arus masuk pengiriman uang yang signifikan, yang meningkat dari 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 1984 menjadi lebih dari 9% pada tahun 2020, hal tersebut telah memperburuk efek penyakit Belanda dengan mengapresiasi nilai rupiah, menjadikannya lebih sulit bagi sektor manufaktur untuk bersaing baik di pasar domestik maupun internasional (Wahyudi & Palupi, 2023; Shahvari, 2022).

Implikasi dari ketergantungan pada sumber daya alam ini sangat terasa di sektor ketenagakerjaan. Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam dapat menghambat pembentukan lapangan kerja di sektor lain, karena sewa sumber daya yang tinggi sering kali menyingkirkan pekerjaan di sektor manufaktur (Huo et al., 2023). Selain itu, ketimpangan dalam distribusi kekayaan sumber daya semakin memperburuk fenomena penyakit Belanda, yang pada gilirannya mengakibatkan berkurangnya investasi dalam sektor manufaktur (Behzadan, 2023). Meskipun sektor sumber daya alam dapat memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, seperti peningkatan pendapatan dan ekspor, implikasi jangka panjang dari penyakit Belanda menunjukkan perlunya intervensi kebijakan yang kuat untuk mempromosikan diversifikasi ekonomi. Dengan meningkatkan investasi dalam inovasi, teknologi, dan sektor manufaktur.

Pentingnya Reformasi Untuk Memperbaiki Ekonomi Indonesia

Untuk mengatasi masalah deindustrialisasi dan pengangguran di Indonesia, peran pemerintah sangat penting. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mempermudah proses berbisnis, seperti melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan sistem Online Single Submission (OSS). Kedua kebijakan ini bertujuan untuk menyederhanakan perizinan dan mempermudah para pengusaha, baik lokal maupun asing, untuk berinvestasi di Indonesia (Karina, 2022; Freddy & Saputri, 2018). Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki infrastruktur seperti transportasi dan energi untuk mendukung industri. Dengan adanya infrastruktur yang baik, biaya produksi bisa ditekan, dan produk Indonesia bisa lebih bersaing di pasar global (Hollweg et al., 2016). Penanaman modal asing juga penting karena bisa membawa teknologi baru yang akan meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan kerja baru.

Penerapan meritokrasi di pemerintahan juga sangat dibutuhkan. Meritokrasi adalah sistem di mana orang-orang dipilih untuk jabatan penting berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan karena hubungan pribadi. Dengan sistem ini, korupsi bisa ditekan dan pelayanan publik menjadi lebih baik. Singapura adalah contoh negara yang berhasil menerapkan meritokrasi, dan beberapa kota di Indonesia juga mulai mencoba menerapkan hal serupa dengan hasil yang positif (Sabani et al., 2024; Everest-Philipps, 2016). Selain itu, penting juga untuk mendorong kaum muda Indonesia mengembangkan keterampilan yang sulit digantikan oleh teknologi, seperti kreativitas dan kemampuan berpikir analitis. Hal ini akan membantu mereka bersaing di pasar kerja yang semakin ketat di masa depan. Kolaborasi antara pemerintah yang berfokus pada meritokrasi dan masyarakat, khususnya generasi muda, sangat penting untuk mewujudkan visi "Indonesia Emas" 2045 (Murage, 2021).

Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam mencapai visi "Indonesia Emas" 2045, terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja yang memadai dan mengatasi ketimpangan ekonomi. Ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dan peluang kerja serta fenomena deindustrialisasi prematur menghambat upaya Indonesia untuk mencapai perekonomian yang kuat dan inklusif. Meskipun perekonomian tumbuh stabil di atas 5%, masalah seperti pengangguran, ketergantungan pada sumber daya alam, dan fenomena "penyakit Belanda" terus mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang.

Kisah sukses Korea Selatan dan China dalam menjalani industrialisasi yang matang menunjukkan pentingnya kebijakan industri yang strategis, inovasi, dan daya saing global. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan reformasi struktural yang signifikan, termasuk kebijakan yang mendukung iklim bisnis, infrastruktur yang memadai, penerapan meritokrasi, dan investasi dalam inovasi dan teknologi. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, terutama generasi muda, sangat penting untuk mengatasi tantangan yang ada dan memastikan Indonesia tidak tergelincir dalam situasi yang mencemaskan, tetapi mampu mencapai masa keemasan di tahun 2045.

Referensi : 

Behzadan, M. (2023). The Impact of Resource Dependence on Industrial Development: Lessons from Dutch Disease. Journal of Economic Development, 45(3), 67-89.

Chang, H.-J., & Zach, A. (2018). Industrial Policy in the 21st Century: The Chinese Experience. Cambridge Journal of Economics, 42(5), 1123-1145.

Everest-Philipps, M. (2016). Meritocracy in Government: The Singapore Experience. Public Administration Review, 76(3), 486-492.

Freddy, S., & Saputri, R. (2018). Evaluating the Impact of the Online Single Submission System on Business Licensing in Indonesia. Indonesian Economic Review, 33(1), 45-67.

Hollweg, C. H., Smith, T., & Taglioni, D. (2016). Making Global Value Chains Work for Development. The World Bank.

Huo, Z., Li, J., & Zhang, Y. (2023). Resource Dependence and Job Creation: Examining the Impact of Dutch Disease. Economic Development Quarterly, 37(2), 112-129.

Karina, A. (2022). Regulatory Reforms in Indonesia: A Critical Review of the Job Creation Law. Indonesia Law Journal, 8(2), 34-56.

Kuwamori, S. (2024). Premature Deindustrialization and Its Economic Consequences: A Global Perspective. Global Economic Studies, 28(1), 21-45.

Lee, K., Kim, B., & Cho, J. (2019). The Role of Technological Innovation in South Korea's Economic Miracle. Industrial and Corporate Change, 28(3), 573-595.

Li, X. (2022). The Growth of Manufacturing in China: A Sectoral Approach. Economic Research Journal of China, 40(1), 78-94.

Murage, D. (2021). Youth Employment and the Role of Innovation in Emerging Markets. Emerging Markets Review, 55(2), 135-150.

zelik, H., & zmen, S. (2023). The Role of Globalization in Premature Deindustrialization: Evidence from Emerging Markets. International Journal of Industrial Organization, 50(4), 234-256.

Ravindran, G., & Babu, M. (2023). Premature Deindustrialization and Income Inequality: Insights from Developing Economies. Economic Development and Cultural Change, 71(4), 807-831.

Sabani, A. A., Santoso, A., & Pratiwi, R. (2024). Meritocracy and Economic Development: Case Studies from Indonesia. Asian Economic Policy Review, 19(1), 101-118.

Shahvari, M. (2022). Dutch Disease and its Long-Term Impact on the Industrial Sector: The Case of Indonesia. Energy Economics and Policy Journal, 30(4), 354-369.

Taguchi, H., & Kosegawa, T. (2023). The Premature Deindustrialization in Developing Countries: Analyzing the Causes and Effects. Journal of Development Economics, 105(2), 88-104.

Wahyudi, A., & Palupi, D. (2023). Remittances, Exchange Rates, and the Dutch Disease Phenomenon in Indonesia. Indonesian Journal of Economic Studies, 48(3), 123-142.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun