Demikian pula, industrialisasi China melibatkan adaptasi kebijakan pragmatis yang mengatasi tantangan ekonomi tertentu, yang berujung pada pertumbuhan manufaktur yang signifikan dan penciptaan lapangan kerja. China mengadopsi kebijakan industri fleksibel yang berkembang seiring dengan kebutuhan pasar, mendorong transformasi struktural yang cepat (Chang & Zach, 2018). Sektor manufaktur di China telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, menciptakan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik (Li, 2022). Sinergi antara mekanisme negara dan pasar di kedua negara ini telah memfasilitasi lintasan ekonomi yang luar biasa, menciptakan model industrialisasi yang patut dicontoh oleh negara-negara lain.
Deindustrialisasi dini di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh ketergantungannya pada sumber daya alam, yang mengarah pada fenomena yang dikenal sebagai "penyakit Belanda." (Dutch disease). Kondisi ini muncul ketika masuknya mata uang asing, seperti dari ekspor sumber daya alam atau pengiriman uang, mengapresiasi mata uang lokal, sehingga membuat sektor lain terutama manufaktur, menjadi kurang kompetitif. Ketergantungan Indonesia pada sumber daya alam telah menciptakan volatilitas ekonomi yang tinggi dan berkurangnya diversifikasi dalam perekonomian. Misalnya, arus masuk pengiriman uang yang signifikan, yang meningkat dari 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 1984 menjadi lebih dari 9% pada tahun 2020, hal tersebut telah memperburuk efek penyakit Belanda dengan mengapresiasi nilai rupiah, menjadikannya lebih sulit bagi sektor manufaktur untuk bersaing baik di pasar domestik maupun internasional (Wahyudi & Palupi, 2023; Shahvari, 2022).
Implikasi dari ketergantungan pada sumber daya alam ini sangat terasa di sektor ketenagakerjaan. Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam dapat menghambat pembentukan lapangan kerja di sektor lain, karena sewa sumber daya yang tinggi sering kali menyingkirkan pekerjaan di sektor manufaktur (Huo et al., 2023). Selain itu, ketimpangan dalam distribusi kekayaan sumber daya semakin memperburuk fenomena penyakit Belanda, yang pada gilirannya mengakibatkan berkurangnya investasi dalam sektor manufaktur (Behzadan, 2023). Meskipun sektor sumber daya alam dapat memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, seperti peningkatan pendapatan dan ekspor, implikasi jangka panjang dari penyakit Belanda menunjukkan perlunya intervensi kebijakan yang kuat untuk mempromosikan diversifikasi ekonomi. Dengan meningkatkan investasi dalam inovasi, teknologi, dan sektor manufaktur.
Pentingnya Reformasi Untuk Memperbaiki Ekonomi Indonesia
Untuk mengatasi masalah deindustrialisasi dan pengangguran di Indonesia, peran pemerintah sangat penting. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mempermudah proses berbisnis, seperti melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan sistem Online Single Submission (OSS). Kedua kebijakan ini bertujuan untuk menyederhanakan perizinan dan mempermudah para pengusaha, baik lokal maupun asing, untuk berinvestasi di Indonesia (Karina, 2022; Freddy & Saputri, 2018). Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki infrastruktur seperti transportasi dan energi untuk mendukung industri. Dengan adanya infrastruktur yang baik, biaya produksi bisa ditekan, dan produk Indonesia bisa lebih bersaing di pasar global (Hollweg et al., 2016). Penanaman modal asing juga penting karena bisa membawa teknologi baru yang akan meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan kerja baru.
Penerapan meritokrasi di pemerintahan juga sangat dibutuhkan. Meritokrasi adalah sistem di mana orang-orang dipilih untuk jabatan penting berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan karena hubungan pribadi. Dengan sistem ini, korupsi bisa ditekan dan pelayanan publik menjadi lebih baik. Singapura adalah contoh negara yang berhasil menerapkan meritokrasi, dan beberapa kota di Indonesia juga mulai mencoba menerapkan hal serupa dengan hasil yang positif (Sabani et al., 2024; Everest-Philipps, 2016). Selain itu, penting juga untuk mendorong kaum muda Indonesia mengembangkan keterampilan yang sulit digantikan oleh teknologi, seperti kreativitas dan kemampuan berpikir analitis. Hal ini akan membantu mereka bersaing di pasar kerja yang semakin ketat di masa depan. Kolaborasi antara pemerintah yang berfokus pada meritokrasi dan masyarakat, khususnya generasi muda, sangat penting untuk mewujudkan visi "Indonesia Emas" 2045 (Murage, 2021).
Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam mencapai visi "Indonesia Emas" 2045, terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja yang memadai dan mengatasi ketimpangan ekonomi. Ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dan peluang kerja serta fenomena deindustrialisasi prematur menghambat upaya Indonesia untuk mencapai perekonomian yang kuat dan inklusif. Meskipun perekonomian tumbuh stabil di atas 5%, masalah seperti pengangguran, ketergantungan pada sumber daya alam, dan fenomena "penyakit Belanda" terus mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang.
Kisah sukses Korea Selatan dan China dalam menjalani industrialisasi yang matang menunjukkan pentingnya kebijakan industri yang strategis, inovasi, dan daya saing global. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan reformasi struktural yang signifikan, termasuk kebijakan yang mendukung iklim bisnis, infrastruktur yang memadai, penerapan meritokrasi, dan investasi dalam inovasi dan teknologi. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, terutama generasi muda, sangat penting untuk mengatasi tantangan yang ada dan memastikan Indonesia tidak tergelincir dalam situasi yang mencemaskan, tetapi mampu mencapai masa keemasan di tahun 2045.
Referensi :Â
Behzadan, M. (2023). The Impact of Resource Dependence on Industrial Development: Lessons from Dutch Disease. Journal of Economic Development, 45(3), 67-89.
Chang, H.-J., & Zach, A. (2018). Industrial Policy in the 21st Century: The Chinese Experience. Cambridge Journal of Economics, 42(5), 1123-1145.