Sebagai peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 77 tahun Bank Indonesia resmi mengeluarkan uang kertas baru tahun emisi 2022. Pengeluaran mata uang yang dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ini  merupakan bentuk semangat kebangsaan, nasionalisme, dan kedaulatan untuk menciptakan pemulihan ekonomi nasional yang lebih optimis.Â
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan bahwa rupiah merupakan mata uang yang menggambarkan perjalanan negara Indonesia dan pertama kali disahkan oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta pada 30 Oktober 1946. Pemerintah bersama Bank Indonesia meluncurkan tujuh pecahan uang Rupiah Kertas yang secara resmi berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan di seluruh wilayah Indonesia.Â
Tujuh pecahan uang Tahun Emisi (TE) 2022 terdiri atas pecahan dengan nominal Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, Rp 20.000, Rp 50.000, dan Rp 100.000 di mana setiap nominalnya memiliki telaah visual masing-masing dengan tetap mempertahankan gambar pahlawan sebagai  ikon utama pada bagian depan, serta tema kebudayaan Indonesia tetap di bagian belakang.Â
Hal yang membedakan antara uang kertas emisi 2022 dengan uang kertas emisi 2016 terletak pada pemilihan warna yang lebih tajam, dilengkapi dengan unsur pengamanan yang lebih baik, dan kualitas yang semakin baik.Â
Hal tersebut bertujuan agar uang Indonesia lebih mudah dikenali keasliannya sehingga lebih nyaman saat digunakan untuk bertransaksi serta menjadi simbol dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (BI, 2022).
Dikeluarkannya serta diedarkannya uang kertas emisi 2022 merupakan salah satu upaya merealisasikan amanat UU Mata Uang sebagai bagian dari perencanaan pemenuhan kebutuhan uang masyarakat Indonesia  tahun 2022 sesuai tata kelola yang sudah diatur di dalam undang-undang.Â
Meskipun pemerintah meluncurkan uang baru, namun hal tersebut tidak berdampak terhadap pencabutan atau penarikan uang rupiah sebelumnya. Uang rupiah terdahulu  tetap digunakan sebagai alat pembayaran resmi selama Bank Indonesia belum menarik atau mencabut edaran uang tersebut. Â
Peluncuran uang kertas TE 2022 diharapkan mempermudah penggunanya dalam mengidentifikasi uang tersebut dalam hal ini sudah dikenali keasliannya, nyaman, dan aman digunakan, serta lebih sulit untuk dipalsukan. Meskipun demikian, masyarakat tetap dihimbau untuk waspada terhadap penyebaran uang palsu.Â
Oleh karena itu, kami mengidentifikasi lebih jauh mengenai alasan BI meluncurkan uang kertas dan bagaimana dampak dari peluncuran uang kertas tersebut apakah manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat atau justru memberikan dampak negatif terhadap penggunanya.Â
Alasan BI menerbitkan uang baru
Aspek teknologi tidak lepas dari pertimbangan Bank Indonesia untuk menerbitkan uang edisi baru, dengan beberapa hal yang menjadi pertimbangan seperti mengatasi tindak kriminalitas dan menyesuaikan dengan perkembangan global. Penerbitan ini terbilang paralel dengan perkembangan uang yang beredar di bank sentral negara lainnya.Â
Namun sebenarnya terdapat tiga tujuan utama Bank Indonesia menerbitkan uang edisi baru, di antaranya perubahan desain warna yang lebih jelas, aspek keamanan yang lebih andal, dan dari segi material bahan yang lebih baik.Â
Ketiga tujuan tersebut sebenarnya mengacu kepada usaha represif dalam mengatasi peredaran uang palsu yang diharapkan dengan munculnya uang edisi baru ini mampu memudahkan dalam mengenali ciri keaslian uang.
Penjabaran lebih lanjut mengenai ketiga tujuan ini yaitu, pertama dari segi desain dan warna yang tajam. Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Marlison Hakim mengatakan bahwa masyarakat masih banyak yang sulit membedakan antara uang pecahan Rp 2.000 dengan Rp 20.000 pada edisi 2016 terutama ketika berada di tempat dengan pencahayaan yang kurang.Â
Oleh karena itu, perubahan yang ditawarkan dalam uang edaran baru ini adalah warna yang lebih cerah dibandingkan dengan edisi tahun 2016 kemarin yang berkonsep monokrom. Tetapi untuk warna dasar dari uang tersebut tidak mengalami perubahan, seperti uang pecahan Rp 50.000 yang berwarna biru dan lainnya. Selain itu, perubahan desain ini juga dapat membantu tuna netra dalam mengidentifikasi nominal dari uang tersebut.
Alasan kedua, yaitu terkait dengan peningkatan dari sisi keamanan. Aspek ini ditujukan untuk perbaikan benang pengaman terutama dalam pecahan uang Rp 50.000 dan Rp 100.000. Hal ini dikarenakan kedua pecahan tersebut paling mudah dan rawan pemalsuan.Â
Marlison mengatakan bahwa benang yang digunakan dalam uang edisi terbaru ini terbilang sangat baik. Selain itu, terdapat tambahan area dalam kertas yang dapat disinari ultraviolet dan juga ada color shifting ink dengan menggunakan teknologi optically variable magnetic ink yang lebih tajam.Â
Alasan ketiga, aspek penguatan material yang digunakan. Jenis kertas yang digunakan sebagai bahan dalam uang terbaru ini yakni standar paper dengan berat 90 gsm serta menggunakan teknik cetak yang dipakai yakni varnish atau coating.
Dampak yang kemungkinan akan terjadi
Menurut pandangan Keynes, dijelaskan bahwa uang tidak netral, dalam artian uang mempunyai peranan dalam mempengaruhi sektor riil. Konsep inilah yang menjadi dasar penggunaan jumlah uang beredar sebagai variabel antara dalam sebuah mekanisme transmisi kebijakan moneter.Â
Dalam pelaksanaannya, efektivitas kebijakan moneter moneter tersebut tergantung pada hubungan antara uang beredar dengan variabel ekonomi utama seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi.Jumlah uang beredar merupakan unsur yang cukup signifikan terhadap keadaan perekonomian suatu negara yaitu erat hubungannya dengan tingkat inflasi.
Terbitnya uang rupiah kertas Tahun Emisi (TE) 2022 dapat menyebabkan terjadinya inflasi apabila tidak diiringi dengan penarikan uang lama. Dalam penelitian Nanga (2005) dijelaskan bahwa jumlah uang beredar yang terlalu banyak dapat mendorong kenaikan harga barang barang secara umum (inflasi). Sebaliknya, apabila jumlah uang beredar terlalu sedikit maka kegiatan ekonomi akan menjadi seret.Â
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa berpesan bahwa dengan masih adanya uang dengan nilai Rp 1000 dan Rp 2000, itu artinya seluruh kepala daerah dengan berbagai stakeholder terkait harus bekerja keras mengendalikan inflasi. Jangan sampai nilai yang Rp1000 itu kemudian menjadi turun nilainya.Â
Ungkapan Gubernur Jawa Timur tersebut dinilai berhubungan dengan kondisi saat ini dimana Bank Indonesia belum melakukan pencabutan dan penarikan uang rupiah lama dari peredaran sebagaimana diatur pada Undang-undang Mata Uang.Â
Pengamat Ekonomi DIY, Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. menuturkan bahwa terbitnya uang baru ini tidak akan menyebabkan inflasi apabila diiringi dengan penukaran dan penarikan uang lama serta jumlahnya yang tidak berlebihan di masyarakat. Uang baru ini juga dapat menggantikan uang lama yang telah rusak, ditambah dengan bahan pembuatannya yang lebih berkualitas, sehingga sulit dipalsukan.
Selain itu, secara ekonomi, konsep mencetak uang dengan desain baru tidak akan berdampak sama sekali selama tujuan mencetak uang kertas baru adalah untuk menggantikan uang kertas yang sudah lama beredar dan menghancurkan yang telah rusak.Â
Uang kertas yang lama kemudian akan dikembalikan ke Bank Sentral dan dihancurkan. Namun walaupun populasi uang tahun tertentu berkurang, selama uang tersebut belum dicabut oleh Bank Indonesia, masyarakat pun masih diperbolehkan untuk menggunakannya dalam bertransaksi sesuai dengan nominal yang tertera.Â
Praktik menghancurkan uang oleh Bank Indonesia dapat dikatakan sebuah kegiatan sehari-hari. Uang yang dihancurkan tidak hanya uang lama yang akan digantikan peredarannya dengan uang baru, namun uang reject yang tidak layak edar juga akan dihancurkan oleh Bank Indonesia.
Selama nominal uang desain baru tetap sama dengan yang lama, maka penggunaannya oleh masyarakat pun juga akan tetap sama. Berbeda ceritanya bila Uang yang dicetak memiliki nominal yang berbeda dengan uang yang sudah beredar, hal ini dinamakan redenominasi.Â
Redenominasi diperlukan saat keadaan inflasi tinggi atau hyperinflation, dengan adanya redenominasi maka, jumlah uang kertas yang dibutuhkan tentunya akan berkurang, hal ini dapat berdampak terhadap efisiensi ekonomi, penyederhanaan transaksi, dan mempermudah pencatatan akuntansi.Â
Contoh dari penerapan redenominasi terjadi di Zimbabwe pada tahun 2008, yang menghapus 10 digit angka '0' pada mata uang nya, 10 Miliar Dollar Zimbabwe, menjadi 1 Dollar Zimbabwe. Tetapi bila inflasi tinggi terjadi, redenominasi tidak akan menyelesaikan masalah yang terjadi, karena kebijakan ini hanya akan mempermudah transaksi dengan uang kertas dan pencatatan, tanpa merubah kebijakan inti yang menjadi penyebab inflasi.Â
Redenominasi dapat menjadi salah satu upaya yang efektif untuk mengatasi inflasi apabila diimbangi dengan kondisi perekonomian yang stabil. Pengalaman empiris memperlihatkan bahwa keberhasilan redenominasi di negara Turki diawali dengan stabilitas perekonomian yang terjaga.Â
Selanjutnya redenominasi ditujukan sebagai indikator kesuksesan dalam menekan inflasi. Sosialisasi dalam bentuk komunikasi kebijakan yang baik serta kerjasama antara institusi dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan kebijakan redenominasi di Turki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H