Terbitnya uang rupiah kertas Tahun Emisi (TE) 2022 dapat menyebabkan terjadinya inflasi apabila tidak diiringi dengan penarikan uang lama. Dalam penelitian Nanga (2005) dijelaskan bahwa jumlah uang beredar yang terlalu banyak dapat mendorong kenaikan harga barang barang secara umum (inflasi). Sebaliknya, apabila jumlah uang beredar terlalu sedikit maka kegiatan ekonomi akan menjadi seret.Â
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa berpesan bahwa dengan masih adanya uang dengan nilai Rp 1000 dan Rp 2000, itu artinya seluruh kepala daerah dengan berbagai stakeholder terkait harus bekerja keras mengendalikan inflasi. Jangan sampai nilai yang Rp1000 itu kemudian menjadi turun nilainya.Â
Ungkapan Gubernur Jawa Timur tersebut dinilai berhubungan dengan kondisi saat ini dimana Bank Indonesia belum melakukan pencabutan dan penarikan uang rupiah lama dari peredaran sebagaimana diatur pada Undang-undang Mata Uang.Â
Pengamat Ekonomi DIY, Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. menuturkan bahwa terbitnya uang baru ini tidak akan menyebabkan inflasi apabila diiringi dengan penukaran dan penarikan uang lama serta jumlahnya yang tidak berlebihan di masyarakat. Uang baru ini juga dapat menggantikan uang lama yang telah rusak, ditambah dengan bahan pembuatannya yang lebih berkualitas, sehingga sulit dipalsukan.
Selain itu, secara ekonomi, konsep mencetak uang dengan desain baru tidak akan berdampak sama sekali selama tujuan mencetak uang kertas baru adalah untuk menggantikan uang kertas yang sudah lama beredar dan menghancurkan yang telah rusak.Â
Uang kertas yang lama kemudian akan dikembalikan ke Bank Sentral dan dihancurkan. Namun walaupun populasi uang tahun tertentu berkurang, selama uang tersebut belum dicabut oleh Bank Indonesia, masyarakat pun masih diperbolehkan untuk menggunakannya dalam bertransaksi sesuai dengan nominal yang tertera.Â
Praktik menghancurkan uang oleh Bank Indonesia dapat dikatakan sebuah kegiatan sehari-hari. Uang yang dihancurkan tidak hanya uang lama yang akan digantikan peredarannya dengan uang baru, namun uang reject yang tidak layak edar juga akan dihancurkan oleh Bank Indonesia.
Selama nominal uang desain baru tetap sama dengan yang lama, maka penggunaannya oleh masyarakat pun juga akan tetap sama. Berbeda ceritanya bila Uang yang dicetak memiliki nominal yang berbeda dengan uang yang sudah beredar, hal ini dinamakan redenominasi.Â
Redenominasi diperlukan saat keadaan inflasi tinggi atau hyperinflation, dengan adanya redenominasi maka, jumlah uang kertas yang dibutuhkan tentunya akan berkurang, hal ini dapat berdampak terhadap efisiensi ekonomi, penyederhanaan transaksi, dan mempermudah pencatatan akuntansi.Â
Contoh dari penerapan redenominasi terjadi di Zimbabwe pada tahun 2008, yang menghapus 10 digit angka '0' pada mata uang nya, 10 Miliar Dollar Zimbabwe, menjadi 1 Dollar Zimbabwe. Tetapi bila inflasi tinggi terjadi, redenominasi tidak akan menyelesaikan masalah yang terjadi, karena kebijakan ini hanya akan mempermudah transaksi dengan uang kertas dan pencatatan, tanpa merubah kebijakan inti yang menjadi penyebab inflasi.Â
Redenominasi dapat menjadi salah satu upaya yang efektif untuk mengatasi inflasi apabila diimbangi dengan kondisi perekonomian yang stabil. Pengalaman empiris memperlihatkan bahwa keberhasilan redenominasi di negara Turki diawali dengan stabilitas perekonomian yang terjaga.Â