Perekonomian dunia saat ini sedang mengalami ketidakpastian dan gejolak yang cukup tinggi. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan bahwa ekonomi dunia tahun ini hanya tumbuh 3,6%, lebih rendah dibanding proyeksi sebelumnya yang di atas 4%. Bank Dunia (World Bank) bahkan memproyeksi 2022 hanya tumbuh 2,9%, turun 1,2%.Â
Pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya usai ditambah dengan masih berlangsungnya perang Rusia dan Ukraina menyebabkan dunia mengalami krisis pangan dan energi. Krisis ini pun berdampak pada peningkatan harga-harga komoditas pangan dan energi sehingga menimbulkan inflasi yang tinggi di beberapa negara.Â
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan bahwa tekanan inflasi di AS akan sangat mempengaruhi kesehatan ekonomi dunia karena suku bunga naik sementara likuiditas tetap. Kondisi ini akan mempengaruhi banyak negara, lebih dari 60 negara ekonominya diperkirakan akan ambruk.
Di Amerika Serikat inflasi pada bulan Mei 2022 mencapai 8,6 persen secara yoy, hal ini merupakan tertinggi dalam 4 dekade terakhir. Untuk mengatasi inflasi yang cukup tinggi ini The Fed pun tidak tinggal diam, Bank Sentral AS tersebut menaikan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 1,5% - 1,75%.Â
Kenaikan suku bunga yang agresif ini merupakan kenaikan tertinggi sejak tahun 1994. Banyak pihak termasuk para investor yang khawatir dengan keputusan The Fed dengan menaikkan suku bunga ini akan menyebabkan ekonomi AS mengalami resesi yang selanjutnya akan mempengaruhi perekonomian negara-negara lainnya termasuk Indonesia.
Kondisi ekonomi yang tidak pasti dan adanya kenaikan suku bunga The Fed mengakibatkan investor-investor menjadi lebih selektif dalam berinvestasi, hal ini tentu berdampak pada iklim pasar modal. Banyak perusahaan terutama perusahaan rintisan (startup) mengalami kesulitan dalam hal finansialnya akibat sulitnya mendapatkan pendanaan (funding) dari para investor.
Saat ini startup di seluruh dunia sedang memasuki ke periode yang dikenal sebagai "musim dingin". Di periode ini, sejumlah startup harus mampu memutar otak untuk mengelola sistem pengelolaan dana yang efisien agar dapat terus bertahan, apalagi dibarengi dengan minimnya perusahaan modal ventura memberikan pendanaan (venture capital).Â
Sistem pendanaan ini identik dengan startup yang bergerak melalui skema "bakar uang", startup akan sulit berjalan terutamanya dalam menghasilkan laba tanpa adanya modal yang besar.
Berdasarkan data CB Insights, pendanaan ventura mengalami penurunan pada kuartal pertama tahun 2022. Pendanaan ventura mampu direalisasikan sebesar US$142,4 miliar dengan total 8.876 kesepakatan proyek di tiga bulan pertama tahun 2022.Â
Melihat dari nilai tersebut, pendanaan ventura turun 20,71% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya dan kesepakatan proyek menurun sebanyak 1,39% yang sebelumnya mencapai 9.001 proyek.Â
Pendanaan ventura dunia diperkirakan kian menurun di kuartal kedua tahun 2022 dengan proyeksi nilai sebesar US$115,4 miliar dengan kesepakatan proyek sebanyak 6.904.Â
Sequoia Capital, perusahaan modal ventura yang berbasis di Amerika Serikat sudah mengkhawatirkan akan penurunan pendanaan tersebut. Perusahaan tersebut beranggapan bahwa kasus resesi yang berlarut-larut dan berkepanjangan merupakan penyebab dari minimnya pendanaan.
Y Combinator (YC), salah satu investor yang terdapat di Sillicon Valley mengatakan bahwa terdapat faktor lainnya yang menyebabkan minimnya sumber pendanaan dari perusahaan ventura salah satunya adalah kinerja dari saham teknologi di bursa yang semakin memburuk.Â
YC menambahkan bahwa perusahaan modal ventura kian sulit mengumpulkan uang yang diakibatkan oleh memburuknya kinerja saham teknologi, hal ini dapat dilihat pada Indeks Nasdaq Composite di Amerika Serikat yang memaparkan akan penurunan saham teknologi sebanyak 24,19% di tahun 2022. Di sisi lain, pihak yang menitipkan dananya di perusahaan ventura berekspektasi bahwa uang mereka diharapkan dapat diinvestasikan dengan disiplin.
Di Indonesia sendiri, sepanjang bulan Mei 2022 mengumumkan bahwa terdapat pendanaan sebesar triliunan rupiah yang berlanjut pada investasi ke startup di bidang digital pada gelombang berikutnya di bulan Juni 2022. Di tengah kabar ketidakpastian global, Indonesia justru mendapatkan prospek yang cerah dalam menarik sejumlah investor dalam pendanaan startup di bidang teknologi baru.Â
Di pekan terakhir bulan Mei 2022, Astro mengumumkan bahwa terdapat  tambahan sebesar US$60 juta dalam ronde pendanaan di seri B mereka. Rekor pendanaan terbanyak dipegang oleh Xendit dalam rangka ekspansi bisnis mereka dengan jumlah penerimaan sebesar US$300 juta.Â
Sedangkan di awal Juni 2022, terdapat tiga startup yang mengumumkan terkait pendanaan yang mereka dapatkan, yang mana salah satunya merupakan startup fintech yang mendapatkan dukungan dari perusahaan modal ventura milik Achmad Zaky selaku pendiri Bukalapak.
Faktor-faktor penyebab Permasalahan Startup
Fenomena startup PHK karyawan dinilai menjadi salah satu upaya efisiensi untuk strategi bertahan hidup. Ada beberapa faktor yang menyebabkan startup melakukan efisiensi di masa ini:
Yang pertama, Kondisi ekonomi makro dunia yang tidak menentu pasca pandemi menyebabkan perusahaan startup harus melakukan adaptasi kembali dengan kondisi yang ada sekarang.Â
Hal ini diperparah dengan terhambatnya likuiditas akibat kebijakan ekonomi Amerika Serikat yang meningkatkan suku bunga menjadikan investor mengurangi likuiditas dan lebih selektif dalam memberikan  pendanaan. Alhasil, investor menghindari pembelian saham startup yang persepsi risikonya tinggi. Keterbatasan pendanaan inilah yang menjadi salah satu faktor utama yang mendorong para startup untuk melakukan efisiensi.
Berikutnya ada pengaruh dari faktor internal, yaitu fundamental dan pengelolaan bisnis. Startup yang baik harus memiliki satu lini bisnis yang berperan sebagai sumber pendapatan signifikan. Faktor pengelolaan itu satu hal. Tapi selain itu, sebagian Startup juga belum memiliki fundamental bisnis yang baik. Artinya, startup belum bisa memastikan path to profitability, model bisnisnya belum fit, serta value chain dan market justification masih goyang. Â
Jika perusahaan tidak ditopang dengan fundamental yang kuat, maka akan menyebabkan perlambatan pada startup. Oleh karena itu beberapa startup di Indonesia ada yang melakukan efisiensi dengan mengubah model bisnisnya menjadi B2B pada tanihub, dan pada link aja yang mengubah target pasarnya ke perusahaan BUMN.Â
Faktor selanjutnya yaitu persaingan bisnis di startup yang sangat ketat sehingga harus melakukan inovasi-inovasi yang dibutuhkan pelanggan dan bisa diterima di pasar yang bertujuan untuk bisnis yang berkelanjutan. Startup sangat mengandalkan teknologi yang akan terus berubah dalam waktu yang relatif cepat.Â
Jika tidak melakukan adaptasi yang cepat maka produknya akan kalah bersaing bahkan bisnis dapat kehilangan market share secara signifikan. Saat ini startup yang memiliki model bisnis blue ocean atau dalam artian belum banyak saingan dan business to business (B2B) di nilai lebih menarik investor untuk diberikan pendanaan karena tidak perlu membakar uang berlebih.
Dan faktor yang terakhir yaitu perubahan perilaku konsumen. Selama ini Startup selalu bergantung dengan sistem bakar uangnya untuk meningkatkan brand awareness dan loyalitas konsumen. Namun nyatanya, hal ini tidak sesuai target karena pasar mulai jenuh dan hipersensitif terhadap promo dan diskon, jika aplikasi tidak berikan diskon maka user menurun drastis.Â
Pandangan bahwa pasca pandemi user digital masih akan tinggi juga mulai terbantahkan. Pandemi memaksa masyarakat untuk go digital, tetapi ketika mobilitas dilonggarkan banyak yang gunakan kesempatan untuk belanja di toko fisik. Akibatnya jika startup harus terus melakukan bakar uang, pertumbuhan startup tidak akan sebanding dengan angka kebutuhan pendanaan untuk dukungan modal kerja startup.Â
Â
Dampak Permasalahan Startup
Seperti yang sudah dibahas, kondisi perekonomian yang saat ini dihadapi oleh dunia, sangat tidak ideal. Dengan beragam guncangan makroekonomi yang terjadi pun sangat mempengaruhi produktivitas baik dari sisi penawaran maupun sisi permintaan. Karena sistem perekonomian yang tentunya saling terhubung antara satu sama lain, guncangan ini pun akhirnya ditransmisikan ke berbagai aspek pendukung perekonomian. Salah satu contoh dari pendukung perekonomian yang terkena imbasnya adalah dunia investasi.Â
Seperti yang kita semua ketahui, investasi sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis manusia, yang secara alamiah bersifat risk averse. Alhasil, kondisi dunia yang semakin tidak tentu berdampak pada pemilihan investasi yang dilakukan oleh pemilik modal.Â
Implikasinya, sistem perekonomian yang saling terhubung pun akan "macet" bila aliran modal yang masuk berkurang. Bila perekonomian sudah masuk dalam kondisi tersebut maka harus dilakukan usaha untuk mencapai efisiensi biaya dalam kondisi modal yang kurang. Langkah efisiensi biaya ini pun seringkali berdampak terhadap kehidupan masyarakat umum.
Lantas, bagaimana contoh dari efisiensi biaya yang berdampak terhadap masyarakat? Belakangan ini kita dapat melihat bahwa beragam startup baik di Indonesia maupun di luar negeri melakukan PHK yang cukup besar pada karyawannya. Hal ini merupakan contoh dari efisiensi biaya yang dilakukan saat aliran modal yang masuk berkurang.Â
Secara umum memang tidak diberikan keterbukaan informasi terhadap startup mana yang mengalami pengurangan aliran modal, namun dengan diambilnya langkah efisiensi biaya ini pun tentunya seringkali menandakan ada suatu masalah dalam kondisi keuangan perusahaan.Â
Munculnya budaya startup modern berupa investasi besar-besaran dengan tujuan utama mengarah pada jangka panjang pun akhirnya seringkali menimbulkan tantangan, Tantangan ini muncul dari sifat startup yang tidak profitable di awal keberadaannya dan sangat bergantung pada aliran modal dari luar. bila ada guncangan dalam perekonomian seperti saat ini.Â
Hal ini seharusnya bukan menjadi suatu masalah besar bagi perusahaan bila guncangan terjadi hanya pada jangka pendek, dan akan menjadi normal kembali dalam jangka panjang. Namun, bila guncangan ternyata meninggalkan bekas yang cukup dalam bagi perusahaan, dan berdampak pada produktivitas jangka panjang maka, perusahaan akan masuk ke dalam risiko kebangkrutan.Â
Disinilah masa kritis bagi perusahaan, masa dimana para aktor harus mengambil keputusan-keputusan bisnis yang tepat untuk menunjang keberlangsungan perusahaan.Â
Bila startup mampu untuk bertahan melewati masa kelam ini, maka potensi untuk menjadi pemimpin industri di masa depan tentu semakin cerah. Namun bila keputusan bisnis yang diambil tidak menunjang keberlangsungan startup, maka cepat atau lambat, perusahaan tersebut akan hilang ditelan bumi.Â
Kaitannya dengan Fenomena Bubble BurstÂ
Gejolak makroekonomi yang terjadi pada saat ini tentunya berdampak pada segala hal, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Pandemi Covid 19 dan Perang Rusia Ukraina berimplikasi terhadap naiknya tingkat Inflasi yang tinggi di beberapa negara. Naiknya tingkat inflasi ini tentunya berdampak juga pada naiknya tingkat suku bunga sebagai respon untuk mengurangi tingkat inflasi.Â
Fenomena Bubble Burst pada dasarnya merupakan suatu istilah yang menggambarkan harga suatu aset yang naik  dengan cepat melebihi nilai intrinsiknya, dan juga turun dengan cepat pula.Â
Penjelasan tersebut sangat berkorelasi dengan kondisi startup pada saat ini, karena banyak Startup  yang mengalami penurunan valuasi, ditandai dengan aliran modal yang berkurang dari investor, sehingga mereka harus melakukan beberapa langkah efisiensi, salah satunya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
PHK pada bisnis startup belakangan ini disebut-sebut ada kaitannya dengan fenomena "road to profitability", sebagai antitesis "bubble burst", atau dikenal dengan ledakan gelembung yang terjadi terhadap startup.Â
Sesuai namanya, road to profitability bisa dikatakan fenomena kesadaran startup sebagai peluang berusaha, tidak semata-mata tumbuh dengan membakar uang, tetapi tumbuh dengan fundamental operasi yang kuat. Fokus operasional, sebagai bagian dari langkah memperkuat fundamental bisnis, saat ini menjadi perhatian para startup.Â
Mereka mulai memprioritaskan fokus bisnis dan kinerja operasional bisnisnya. Hal tersebut akan berpengaruh pada beberapa aspek operasional perusahaan, antara lain ketajaman product-market fit, dan efisiensi operasional, dan penciptaan arus kas yang sehat.
Menurunya aliran modal dari Investor, ditengarai karena naiknya tingkat suku bunga yang sangat tinggi sehingga menimbulkan naiknya cost of capital. Hal tersebut membuat  para investor banyak memindahkan asetnya dari perusahaan yang memiliki pertumbuhan tinggi seperti startup, kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki aset relatif  aman seperti komoditas.Â
Fenomena seperti ini, pada dasarnya merupakan suatu hal yang wajar, karena berdasarkan data, hanya 10% startup yang tidak dapat melewati tahun pertama, sementara 90% lainnya tidak dapat melewati tahun kedua, Untuk itu wajar jika ada beberapa startup yang mengalami turbulensi dalam bisnisnya.Â
Oleh karena itu, fenomena yang terjadi saat ini belum dapat dikatakan sebagai Bubble Burst Startup, dan hanya berupa kebocoran kecil saja, karena pada dasarnya masih banyak investor yang masih tertarik startup. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa, Bubble Burst Startup masih sangat mungkin terjadi, apabila banyak startup yang memiliki valuasi yang terlalu berlebihan.
Daftar Pustaka
https://dataindonesia.id/digital/detail/musim-dingin-startup-di-tengah-minimnya-arus-modalÂ
https://teknologi.bisnis.com/read/20220604/84/1539889/era-bakar-uang-startup-berakhir-phk-pun-marak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H