Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ayat ini turun berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali dan sang wali tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu, maka ia ingin mengawininya tanpa memberinya mahar yang sesuai, lalu turunlah ayat ini. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim yang berada di bawah kekuasaanmu, lantaran muncul keinginan kamu untuk tidak memberinya mahar yang sesuai bilamana kamu ingin menikahinya, maka urungkan niatmu untuk menikahinya, kemudian nikahilah perempuan merdeka lain yang kamu senangi dengan ketentuan batasan dua, tiga, atau empat orang perempuan saja. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil apabila menikahi lebih dari satu perempuan dalam hal memberikan nafkah, tempat tinggal, atau kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka nikahilah seorang perempuan saja yang kamu sukai atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki dari para tawanan perang. Yang demikian itu lebih dekat pada keadilan agar kamu tidak berbuat zalim terhadap keluarga. Karena dengan berpoligami banyak beban keluarga yang harus ditanggung, sehingga kondisi seperti itu dapat mendorong seseorang berbuat curang, bohong, bahkan zalim. (Tafsir Kementerian Agama RI)
Isi pesan atau pokok kandungan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan merupakan syarat utama dalam pernikahan. Selain itu, poligami diperbolehkan jika sewaktu-waktu memang dibutuhkan namun diwajibkan untuk berlaku adil sebab jika hal itu tidak dapat dilaksanakan maka haram hukumnya untuk berpoligami sebagaimana keterangan ayat tersebut. Pernikahan juga merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan namun jika terdapat keraguan dalam hati untuk menikah, tundalah terlebih dahulu sebab tergesa-gesa adalah sifat syaitan.
Dalam ayat selanjutnya menjelaskan perihal pemberian maskawin (mahar) kepada perempuan yang ingin dinikahi oleh laki-laki. Selain menjelaskan hukum pemberian maskawin (mahar), ayat selanjutnya juga menjelaskan hukum memberikan maskawin (mahar).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
"Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."
An-Nisā' [4]:4
Sebab turun ayat (asbabu al-nuzul) :
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki (di jaman jahiliah) apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah SWT. Melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Pemberian mahar pada pernikahan adalah wajib. Mahar menjadi salah satu rukun dalam pernikahan. Maka dari itu mahar merupakan hak istri yang harus dipenuhi oleh suami. Mahar tidak boleh dipergunakan atau dimanfaatkan oleh siapapun baik ayah atau siapapun. Namun, istri boleh memberikan sebagian mahar dengan kerelaan hati kepada suami atau siapapun dan nikmati pemberian tersebut dengan senang hati.
Refleksi yang dapat kita ambil adalah sebagai berikut.