Mohon tunggu...
DLIYAUN NAJIHAH
DLIYAUN NAJIHAH Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hanya manusia biasa yang sedang berusaha Rasionalist, Realist, Resilience & Religious

Konon katanya, berkarya bisa menghidupkan yang mati. Dan menulis adalah salah satu caranya, let's see apakah saya bisa menulis sebaik mungkin?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Tiktok Shop Sebelum Menjadi E-Commerce

9 Desember 2023   20:34 Diperbarui: 9 Desember 2023   21:15 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kabarnya, Tiktok Shop bakal balik lagi ke Indonesia setelah ditendang paksa terhitung sejak 04 Oktober 2023. Saya sendiri bukan pengguna Tiktok Shop, namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Tiktok Shop juga sempat mencuri perhatian saya. Bayangannya, sebuah sosial media merangkap menjadi e-commerce, Social Commerce namanya. Sebuah terobosan baru bagi pelaku industri kecil untuk mempromosikan produk dagangan mereka sambil ngonten. Kita bisa belanja sambil lihat barangnya secara live real-time tanpa perlu keluar rumah hanya bermodal scroll dna tap-tap layar smartphone.

Seru, tapi tidak untuk jangka panjang.

Ibaratnya begini, setiap hari kita dibikin dilema dengan hubungan tanpa status. Sudah kepalang nyaman berbelanja lewat Tiktok Shop ternyata aslinya punya sengketa tentang identitasnya. Ini sebenernya sosial media atau e-commerce? Kalau memang merangkap dua-duanya, serakah dong namanya. Akhirnya muncul beberapa permasalahan, puncaknya ada pada sengketa harga pedagang Tanah Abang juga sepinya peminat mereka.

Bukan tanpa alasan, pedagang Tanah Abang mengeluh tentang harga karena ada Predatory Pricing dalam sistem penjualan Tiktok Shop. Mereka tidak bisa bersaing dengan harga penjualan di Tiktok Shop lantaran harga yang dibandrol jauh lebih murah. Dasarnya, harga pada Tiktok Shop merupakan harga yang setara dengan harga pada distributor mereka. Sebagai seller mereka akan mengalami kerugian karena harga distributor adalah harga sebelum mereka ambil keuntungan.

Dari situ semua bermula, bukan seller Tanah Abang yang tidak update dan tidak bisa mengoperasikan Tiktok Shop sebagai media penjualan. Namun, karena kesalahan teknis dan sistem akhirnya menganak pinak menjadi sengketa identitas seperti ini. Wajar, beberapa wacana juga mengatakan bawa Tiktok Shop sempat kisruh perihal perijinan e-commerce. Perijinan Tiktok Shop pada Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asia (KP3A) hanya sebatas sebagai sosial media bukan sebagai e-commerce.

Masuk Lewat Jalur GoTo

Akhirnya pada Desember ini, Tiktok Shop resmi tanda tangan investasi dengan salah satu perusahaan e-commerce di Indonesia. Meskipun ini termasuk terobosan baru ByteDance Ltd untuk menyasar pasar Indonesia namun tetap saja belum sepenuh hati Tiktok Shop bisa ambil alih pasaran e-commerce. Karena yang mereka sasar hanya investasi pada salah satu unit GoTo Group Indonesia yakni Tokopedia.

Mungkin ini adalah solusi bersama, menjembatani regulasi Indonesia dengan mematuhi regulasi yang ada. Karena sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 Tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia. Dari sini sudah dapat dirumuskan bahwa Tiktok Shop memiliki potensi menjadi Sosial Media dan E-commerce secara bersamaan namun harus memiliki ijin e-commerce. Hal ini dilakukan agar tidak ada dualisme dalam satu tubuh.

Lalu, apa kabar dengan Social Commerce lain yang sudah ada? 

Selain Tiktok Shop, fakta lain yang harusnya kita jumpai adalah keberadaan Social Commerce di Indonesia. Ada banyak sekali Social Commerce yang sudah berkembang salah satunya Instagram Shopping dan Facebook Marketplace. Eksistensi mereka memang belum banyak terbaca secara signifikan seperti Tiktok karena sistem pembayaran mereka tetap dilakukan diluar plaform tersebut. Yang artinya Instagram dan Facebook hanya memfasilitasi pemasaran, penjajakan, dan pengelolaan konten promosi saja tidak dengan transaksi penjualan.

Dengan kata lain, semua kegiatan jual beli pada dua platform tersebut dilakukan pada platform namun untuk pembayaran tetap akan dialihkan pada platform lain. Sehingga Instagram dan Facebook masih bisa dikategorikan sebagai platform sosial media, bukan e-commerce. Sesuai dengan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 yang lebih membedakan fungsi e-commerce dan social media selanjutnya namun tetap harus berijin dengan regulasi pemerintah di Indonesia.  

Konsekuensi regulasi tentu dialami oleh bisnis memperkuat pentingnya memahami dan mematuhi persyaratan bisnis di sektor e-commerce. Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya kepatuhan hukum dalam lanskap digital yang berkembang pesat di mana lingkungan peraturan mungkin tertinggal di belakang laju perubahan

Permendag Nomor 31 Tahun 2023 Sebagai Solusi?

Kendalanya dalam menggubah Social Commerce adalah adanya pembatasan aktifitas dari Permendag RI Nomor 31 tahun 2023 ini. Social Commerce sendiri memiliki batasan hanya dalam melakukan pemasaran, pengelolaan tanpa melakukan transaksi pada platform tersebut. Jadi, pembayaran bisa dilakukan melalui pihak ketiga atau langsung pada aplikasi pembayaran yang dimiliki pelanggan. Hal ini tentu sama seperti pengoperasian Social Commerce yang sudah terlebih dahulu berlaku di Indonesia seperti Instagram Shop dan Facebook Shop sendiri.

Untuk mengantisipasi adanya Predatory Pricing atas sengketa harga seperti pengakuan beberapa pedagang di Tanah Abang, Kementerian Perdagangan menetapkan harga minimum sebesar 100 dollar Amerika Serikat per unit untuk barang jadi yang berasal dari luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang ke Indonesia melalui platform e-commerce cross border. Hal in sudah ditetapkan pada platform e-commerce Shopee yang mana pemerintah sudah melarang adanya praktik cross border untuk menyikapi predatory pricing tersebut. Disamping itu juga pemerintah membuat Positive List bagi produk yang akan masuk di Indonesia melalui pedagang PSME.

Selain itu demi mengurangi perlonjakan predatory pricing juga e-commerce dan sosial commerce yang ada di Indonesia dilarang bertindak sebagai produsen. Artinya agar tidak bisa memonopoli harga serendah mungkin produsen harus memiliki setidaknya agen, distributor dan reseller tersendiri pada PSME. Hal ini tentu sudah dinilai memiliki nilai yang adil dan positif bagi sengketa Tiktok Shop di Indonesia sebagai media pembelanjaan dan sosial media dalam satu platform. Karena sudah kita ketahui momok dalam dualisme ini adalah memaksakan sebuah idealisme dalam satu wadah yang akhirnya berdampak pada eksistensi mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun