KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan kajian ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca mengenai topeng.
Harapan kami semoga kajian ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi kajian ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kajian ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengetahuan yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan kajian ini.
Batu, 20 Juni 2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................................. i
DAFTAR ISI
............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
............................................................................................. 1
A. Latar Belakang
........................................................................................ 1
B. Tujuan
........................................................................................ 1
C. Manfaat
........................................................................................ 2
BAB II ISIÂ
............................................................................................. 2
A. Sejarah Potehi
........................................................................................ 2
B. Awal Mula Potehi di Nusantara
........................................................................................4
C. Karakter dari wayang potehi
........................................................................................ 4
D. Lakon Yang Ditampilkan
........................................................................................ 4
E. Akulturasi Budaya Tiongkok-Jawa
........................................................................................ 4
F. Redup dan Bangkitnya Kesenian Wayang Potehi
........................................................................................ 4
BAB III PENUTUP
............................................................................................. 19
A. Kesimpulan
........................................................................................ 19
B. Saran
........................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Potehi adalah tradisi wayang boneka tangan berasal dari negri tirai bambu, yang di bawa masuk ke nusantara. Potehi berasal dari kata pou (kain), te (kantong) dan hi (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan kajian ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui Sejarah dan asal muasal Wayang Boneka Potehi
- Untuk mendeskripsikan dan menganalisis penggambaran karakter masing masing lakon wayang potehi, alat musik yang digunakan saat pertunjukan Wayang Potehi
C. Manfaat
Mempelajari akulturasi dan asimilasi budaya Tionghoa yang berbaur dengan budaya Jawa (Wayang Cina Jawa - Wacinwa).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Potehi
Potehi berasal dari kata pou 布 (kain), te 袋 (kantong) dan hi 戯 (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.
Menurut sejarah, diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin (265-420 Masehi) dan berkembang pada Dinasti Song (960-1279). Â Serta menurut cerita legenda, seni wayang ini ditemukan oleh pesakitan di sebuah penjara. Lima orang dijatuhi hukuman mati.Â
Empat orang langsung bersedih, tetapi orang kelima punya ide cemerlang. Ketimbang bersedih menunggu ajal, lebih baik menghibur diri. Maka, lima orang ini mengambil perkakas yang ada di sel seperti panci dan piring dan mulai menabuhnya sebagai pengiring permainan wayang mereka. Bunyi sedap yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar, yang akhirnya memberi pengampunan.
Oleh sebab itu pertunjukan wayang potehi dijadikan sarana untuk menyampaikan terima kasih, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur. Bukan sekadar seni pertunjukan, Wayang Potehi bagi etnik Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual.Â
Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.Wayang potehi dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang. Pementasan dilakukan di sebuah panggung yang disebut pay low dan berwarna merah. Panggung berbentuk miniatur rumah yang dibuat permanen atau bongkar-pasang.
Untuk memainkan wayang potehi dibutuhkan dua orang, yaitu dalang dan asisten dalang. Dalang bertugas menyampaikan cerita, sedangkan asisten membantu menyiapkan dan menata peralatan pentas seperti wayang, busana, dan senjata serta menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita. Masing-masing dapat memainkan dua wayang. Sebanyak 20-25 wayang bisa digunakan dalam satu kali pementasan.
Pertunjukan wayang Potehi tidak memakan tempat seperti pada wayang kulit yang memerlukan alat musik (gamelan) serta pengiringnya yang banyak. Wayang Potehi hanya memerlukan tempat seluas 3x4 meter setinggi kurang lebih 1,5 meter. Satu pertunjukan hanya melibatkan 5 orang , yaitu satu orang dalang dibantu satu orang asisten dalang dan 3 orang musisi pengiring karena alat musiknya sangat sederhana yaitu gembreng besar (Toa Lo), rebab (Hian Na), kayu (Piak Ko), suling (Bien Siauw), gembreng kecil (Siauw Loo), gendang (Tong Ko), selompret (Thua Jwee). Meskipun alat musiknya ada 7 jenis tetapi pemain musiknya cukup 3 orang karena satu orang dapat memainkan 2 atau 3 alat musik .
Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik Tiongkok seperti legenda dinasti-dinasti yang ada di Tiongkok, terutama jika dimainkan di kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti novel Se Yu (Pilgrimage to the West) dengan tokohnya Kera Sakti yang tersohor itu.
Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng/lo , kecer/simbal cheh dan puah, suling/phin-a , (gitar/gueh-khim ), rebab/hian-a , tambur/kou , terompet/ai-a , dan piak-kou . Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi, yang jika salah pukul akan mengeluarkan bunyi "trok"-"trok" seperti seharusnya.
Panggung wayang potehi juga dibuat lebih tinggi karena memiliki makna pertunjukan tersebut dipersembahkan untuk para dewa. Bagian atas panggung diasosiasikan sebagai tempat para dewa dan bagian bawah panggung merupakan bumi yang menjadi batas antara dewa dan manusia. Sejak wayang potehi mengisahkan kehidupan para dewa, masyarakat Tiongkok mulai beranggapan bahwa pertunjukan wayang potehi merupakan sarana yang tepat untuk menyampaikan puji-pujian kepada para dewa dan juga segala hal yang berkaitan dengan para leluhur. Ataupun sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang diperoleh di bidang usaha, disampaikan melalui pertunjukan wayang potehi.
Mereka meyakini bahwa pementasan wayang potehi di halaman kelenteng mendatangkan berkah dan rezeki yang melimpah untuk kehidupan mereka. Lakon yang dipilih adalah kisah tentang kepahlawanan dan kehidupan sehari-hari, terutama lakon yang memiliki unsur kerja keras dan semangat tinggi dalam menjalani hidup. Pada waktu wayang potehi dipentaskan diluar kelenteng, misalnya, di taman hiburan atau di rumah/pesta, ia berubah fungsi menjadi media kritik sosial dan sarana penyampaian ajaran moral
B. Awal Mula Potehi di Nusantara
Wayang potehi diperkirakan dibawa oleh imigran asal Tiongkok ke Nusantara sekitar abad ke-16 dan menyebar ke beberapa kota di Pulau Jawa. Data yang sahih berupa catatan awal tentang wayang potehi di Nusantara, berasal dari seorang pengelana berkebangsaan Inggris bernama Edmund Scott. Dia pergi ke Banten 2 kali, antara 1602 dan 1625. Ia menyebutkan, pertunjukan sejenis opera, yang diselenggarakan bila jung-jung akan berangkat ke atau bila kembali ke Tiongkok. Ia mengamati dengan teliti, bahwa pertunjukan ini berhubungan dengan penyembahan dan bahwa biarawan-biarawan mempersembahkan kurban, dan bersujud di tanah sebelum acara dimulai.
Scott menuliskan bahwa "mereka sangat menyukai sandiwara dan nyanyian, tetapi suara mereka adalah yang paling jelek yang akan didengar orang". Sandiwara atau  selingan itu mereka selenggarakan sebagai kebaktian kepada dewa-dewa mereka. Pada permulaannya, mereka lazim membakar kurban, para pendeta-nya berkali-kali berlutut, satu demi satu. Sandiwara ini biasa diadakan, apabila mereka melihat jung atau kapal berangkat dari Banten ke Tiongkok. Sandiwara ini kadang-kadang mulai pada tengah hari dan baru berakhir keesokan paginya, biasanya di jalan terbuka, di panggung yang didirikan untuk maksud itu."
Pada abad ke-18, seorang berkebangsaan Jerman yang bernama Ernst Christoph Barchewitz (yang tinggal selama 11 tahun di Jawa) menceritakan bahwa ketika ia sedang berada di Batavia dan melihat pertunjukan-pertunjukan ini diselenggarakan dalam bahasa Tionghoa. Pada masa masuknya pertama kali di Nusantara, wayang potehi dimainkan dalam dialek Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk non-Tionghoa pun bisa menikmati cerita yang dimainkan.
Abad 17 hingga awal abad 19 wayang potehi tersebar ke beberapa kota di pulau Jawa, contohnya Banten, Jakarta, Semarang dan Surabaya. Kota-kota tersebut menjadi pintu gerbang untuk perluasan potehi pada kota lain di pulau Jawa, tetapi perkembangan wayang potehi di abad 19 tidak benar-benar diketahui, karena datanya tidak lengkap.
Wayang potehi akhirnya populer hampir di seluruh kota di pulau Jawa khususnya Jawa Timur (Purwoseputro, 2014 : 42).50 Dari hasil pengamatan selama ini, pentas wayang potehi di Jawa lebih banyak terjadi di daerah Jawa Timur ketimbang di Jawa Tengah atau Jawa Barat. Clara Van Groenendael (1993), mengutip pernyataan Brandon (1967), menyatakan bahwa masuknya wayang potehi di Jawa tidak lebih dari awal abad ke-20 ketika terjadi gelombang imigran besar-besaran masyarakat Tionghoa ke Jawa.
C. Lakon Yang Ditampilkan
Beberapa lakon yang sering dibawakan dalam Wayang Potehi adalah Si Jin Kui (Ceng Tang dan Ceng Se ), Hong Kiam Chun Chiu , Cu Hun Cau Kok , Lo Thong Sau Pak dan Pnui Si Giok . Setiap wayang bisa dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Koan Kong , Utti Kiong , dan Thia Kau Kim , yang warna mukanya tidak bisa berubah.
Beberapa wayang potehi tidak mewakili satu karakter saja, melainkan bisa menjadi tokoh lain. Perubahan tersebut bisa dilihat dari busana dan aksesori kepala yang bisa dibongkar-pasang, disesuaikan dengan lakon yang akan dipentaskan. Namun wayang potehi seperti Sun Go Kong Sn Wkng (Kera Sakti) , Wu Ching Sh Wjng , dan Pat Kai Zh Bji tidak dapat diubah menjadi tokoh lainnya walau pakaian dan aksesorisnya bisa diganti karena wayang tersebut memiliki karakteristik khusus pada rupa wajahnya.
Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak di Jawa. Seperti misalnya tokoh Si Jin Kui yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau jika Anda penggemar berat ketoprak, mestinya tidak asing dengan tokoh Prabu Lisan Puro yang ternyata diambil dari tokoh Li Si Bin , kaisar kedua Dinasti Tong (618-907).
Dari segi kostum, setiap tokoh dalam wayang potehi memiliki ciri khas kostum masing-masing. Kostum wayang potehi meliputi pakaian, penutup kepala dan senjata. Kostum sendiri tidak bisa terlepas dari peran yang akan dibawakan tokoh tersebut, kostum merupakan cerminan dari lakon atau peran. Berikut ini beberapa kostum yang sering dipakai wayang potehi:
- Pendekar atau kesatria Pendekar merupakan rakyat jelata yang mempunyai kemampuan beladiri. Kostum yang digunakan pendekar bersimbolkan huruf Shou (Shu 'Umur Panjang') dan Fouk simbol rejeki, berbentuk lingkaran ditengahnya terdapat simbol huruf Cina, yang mempunyai maksud agar sang pendekar diberkati diberikan umur panjang.
- Unsur visual lainnya terdapat motif sulur pada bagian bawah baju untuk aksesoris penutup kepala atau topi prajurit berdiameter 4-5 cm. Alas kaki yang dipakai meyerupai boot bewarna hitam dengan panjang 6 cm.
- Prajurit: Prajurit merupakan pasukan militer perang dalam membela kerajaan. Warna dasar yang digunakan pada kostum prajurit hanya satu warna. Warna kostum menandakan peerwakilan dari masing-masing kerajaan. Misalnya saja kerajaan A prajurit berkostum merah, maka prajurit B berkostum hijau, hal ini untuk membedakan dari mana prajurit tersebut berasal. Aksesoris pendukung seperti alas kaki menyerupai boot bewarna hitam dengan panjang 6 cm.
- Jenderal perang: Jendral perang merupakan tokoh wayang potehi dari golongan militer, bertugas untuk mengatur strategi perang dan menjadi pemimpin tertinggi dalam suatu peperangan.
- Dalam kostum, jendral perang terdapat motif kepala harimau, garis bergelombang seperti sisik dan motif naga kecil pada bagian bawah baju. Motif kepala harimau hanya dimiliki oleh kalangan militer. Cakar 3 dapat digunakan pada kemiliteran karena jendral perang merupakan kaki tangan raja. Motif sisik diartikan sebagai perisai pelindung yang seolah-olah terbuat dari baja.
- Motif dua naga dibagian bawah melambangkan kekuatan raja selalu menyertai. Warna dasar pada baju bermacam-macam yaitu warna merah, putih, biru dan hitam. Aksesoris kepala menggunakan topi penutup militer yang disebut second grade cap dengan diameter topi 4- 5cm, bentuk topi menyerupai mahkota, terdapat manik-manik dibagian depan dan samping topi.
- Panglima: Panglima merupakan pemimpin pasukan perang yang berada paling depan dan ikut serta bersama prajurit dalam pertempuran. Lambang yang digunakan pada kemiliteran pada umumnya adalah kepala harimau, namun motif dan bentuk kepala harimau sedikit berbeda dengan jendral perang. Bentuk kepala harimau dibuat mulut mengaga lebar sehingga terlihat taring dan gigi dari harimau.
- Selain motif kepala harimau, terdapat pula motif cakar 3 dan bunga teratai yang mengisyaratkan akan keindahan, namun disini lambang teratai mempunyai arti harapan yang indah memperoleh kemenangan dalam pertempuran. Aksesoris penutup kepala yang digunakan adalah topi panglima atau second grade cap dengan diameter 4- 5 cm
- Raja atau Kaisar: merupakan orang berkasta paling tinggi dalam tokoh wayang potehi. Raja merupakan golongan seorang bangsawan. Dalam anggota kerajaan, warna kuning keemasan merupakan simbol warna dari Tuhan. Warna kuning keemasan melambangkan kejayaan dan kebesaran. Menurut kepercayaan Budha bahwa raja merupakan jelmaan dari Dewa yang berwujud manusia.
- Maka dari itu, baju yang dikenakan juga bewarna kuning karena sifat Tuhan yang agung dan besar. Warna kuning mengisyaratkan kesan kekuasaan sang raja sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu pemerintahan, rakyat harus tunduk terhadap segala aturan raja, karena raja sebagai tangan dari Dewa.
- Dalam kostum raja terdapat beberapa motif, pola dan garis, antara lain motif naga, cakar 5, bunga teratai yang berada ditepi baju serta motif awan yang menyerupai ombak pada bagian bawah baju. Motif naga melambangkan kekuatan alam, keadilan, dan juga kebahagiaan
- Permaisuri: Permaisuri merupakan istri dari seorang raja. Motif yang ada pada baju permaisuri yaitu burung hong atau merak, serta rumbai-rumbainnya terdapat motif bunga teratai dan sulur-sulur. Ditengah baju terdapat sebuah persegi panjang yang mirip seperti sebuah ikat pinggang bermotif bunga teratai. Burung hong dalam pakaian permaisuri melambangkan keindahan dan kebaikan. Aksesoris yang digunakan pada kepala adalah sebuah penjepit rambut berbentuk bunga. Alas kaki yang digunakan sejenis sepatu berhak tinggi bewarna hitam.
- Perdana Mentri: merupakan orang yang memiliki kedudukan atau jabatan penting dalam istana. Jabatan perdana mentri dibedakan menjadi dua yaitu Sin Siang dan Tihu Dien Tikwan. Sin Siang merupakan jabatan perdana mentri tertinggi sedangkan Tihu Dien Tikwan adalah jabatan yang terendah. busana yang dipakai perdana mentri bermotif kepala naga, cakar 3 dan motif bunga teratai yang berada di lengan, namun ada juga yang memakai motif sisik. Motif naga melambangkan sebuah kekuatan alam, keadilan, dan juga kebahagiaan. Untuk warna dasar pakain beragam yaitu, putih, hitam dan biru. Untuk alas kaki menggunakan boot bewarna hitam berukuran 6 cm.
- Dewa: Motif pada pakaian yang dipakai Dewa berupa simbol yin - yang atau liang gie. Motif yin yang merupakan lambang keseimbangan hidup, Widodo menjelaskan bahwa maksud dari yin yang adalah sebaik-baiknya manusia pasti ada buruknya, seburuk-buruknya manusia pasti ada baiknya, maka dari itu Dewa adalah penyeimbangnya. Warna dasar baju pada Dewa bermacam-macam. Sebagai contoh Dewa kebaikan menggunakan baju bewarna dasar merah memberikan arti bahwa Dewa tersebut memberikan banyak keberkahan.
- Siluman: Siluman sendiri merupakan jelmaan atau titisan dari binatang. Seekor binatang yang ingin menjadi manusia kemudian bertapa selama ratusan tahun, sehingga dia memiliki kaki dan wujud seperti manusia namun berkepala binatang. Baju yang digunakan bernama baju padri. Baju polos tanpa motif, karena siluman termasuk golongan rakyat jelata. Beberapa lipatan pada kerah baju serta memakai sabuk atau ikat pinggang.
- Rakyat Jelata: Rakyat jelata merupakan seorang yang berstatus rendah dan tidak memiliki pangkat. Kostum tidak bermotif atau polos. Rakyat jelata tidak boleh memakai lambang apapun karena rakyat jelata termasuk dalam strata sosial yang paling rendah.
Dalam pementasan wayang potehi, ekspresi tokoh-tokoh dimainkan oleh sang dalang melalui gerakan-gerakan yang teratur dan ditafsirkan oleh dalang sendiri. Gerakan-gerakan jari tangan yang menggerakkan tokoh-tokoh wayang dalam pementasan wayang potehi, menentukan aspek keserasian gerakan jari tangan dengan variasi bunyi yang mengiringinya. Untuk mendukung berbagai gerakan tokoh yang ada di dalam pentas, maka kekuatan dalang adalah kemampuan ia menirukaan suara perempuan, suara burung, dan suara-suara lainya yang ada di dalam berbagai karakter yang ada pada tokoh wayang potehi. Seorang dalang wayang potehi, harus memahami kostum tokoh, sehingga mereka mampu memberikan irama dan karakter itu akan berhubungan dengan musik dan suara yang dimainkan oleh dalang.
D. Akulturasi Budaya Tiongkok-Jawa
Wayang potehi juga memiliki akulturasi dengan budaya Jawa. Selain bahasa dan dialek yang mengadopsi budaya lokal, akulturasi terjadi pada penggunaan alat musik Jawa seperti bonang, saron, kendang, dan gong. Lagu-lagu Jawa juga sering digunakan sebagai selingan tapi dengan irama musik Tiongkok.
Salah satu faktor yang memperlancar proses akulturasi dan asimilasi budaya Cina-Jawa adalah persamaan nilai-nilai sosial budaya di antara dua atau lebih suku bangsa yang berbeda latar belakang budayanya. Dalam asimilasi ini, yang terpenting adalah peggabungan golongan-golongan yang berbeda latar belakang kebudayaaannya menjadi kebulatan sosiologis dan budaya. Hubungan etnis Cina-Jawa ini melahirkan seni berupa Wayang Potehi dan berkembang menjadi wayang thithi.
Kedua wayang ini termasuk jenis "wayang langka" seperti wayang Betawi, wayang Kancil. Jenis wayang tersebut, penggemarnya hanya terbatas tidak seperti wayang Purwo atau wayang golek. Pertunjukan wayang tersebut hanya digelar pada kegiatan-kegiatan khusus atau berdasarkan pesanan seperti pada tahun baru Imlek, untuk Syukuran, dan pesanan-pesanan khusus.
Tapi Wayang Potehi muncul lebih dahulu sebelum adanya wayang kulit Cina-Jawa (wayang thithi). Ceritanya berasal dari mitos-mitos, legenda seperti Sam Kok, San Pek Eng Tay, Li Si Bin. Bahasa yang dipergunakan pada Wayang Potehi adalah bahasa Melayu sedangkan Wayang Kulit Cina-Jawa( wayang thithi) menggunakan bahasa Jawa. Cerita-cerita lain yang sangat terkenal pada pada tahun 1960 an seperti: Sin Jin Kwie, Hong Kian Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, Poei Sie Giok, Loo Thong Sauw Pak yang mirip dengan lakon-lakon ketoprak.
Kisah yang ditampilkan antara lain: Thing Jing Nga Ha Ping She. Dalam bahasa Jawa diterjemahkan : Rabenipun raja Thig Jing ( Pernikahan Raja Tig Jing). Nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan. Kadipaten, kahyangan, dan lain-lain ditulis sesuai dengan nama aslinya dalam bahasa "Hokkian". Istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain disesuaikan dengan struktur jabatan yang dipergunakan di kerajaan yang berada di Jawa seperti narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumengung,pandita, radyan, dyah, abdi, prajurit.
Pada perkembangannya Potehi bukanlah sekedar simbol Tionghoa, melainkan merupakan sebuah nilai seni yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Tionghoa dan Jawa. Bahkan dalam permainan wayang Tionghoa ini, juga nampak para dalang Potehi yang berasal dari etnis Jawa. Terjadi juga pergeseran regenerasi dari dalang Tionghoa ke dalang Jawa. Wayang Potehi di Jawa ini memiliki karakteristik tersendiri. Pengaruh dari wayang kulit dan wayang golek dari Jawa cukup membawa nuansa tersendiri dalam setiap pementasannya.
Pagelaran wayang thithi hampir sama dengan wayang kulit purwo selain berfungsi sebagai hiburan juga mengandung misi politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Di samping itu terdapat pula fungsi ritual yaitu memuja para dewa dan leluhurnya. Pagelaran wayang thithi dapat diadakan dimana saja seperti: klenteng, rumah penduduk, khususnya yang mempunyai hajatan dalam pernikahan, ulang tahun, syukuran.
Seorang dalang wayang Cina-Jawa ini seperti dalang pada umumnya harus memilki kemampuan dalam mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan . Di samping itu dalang harus dapat menguasi gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai ceritera, dan bahasa Jawa dari segala tingkatan masyarakat seperti bahasa di lingkungan kraton, masyarakat biasa, dewa, pendeta, raksasa.
E. Redup dan Bangkitnya Kesenian Wayang Potehi
Wayang potehi diperkirakan masih eksis sampai tahun 1940-an. Menurut pendapat J.L. Moens dari Belanda, bahwa pertunjukan potehi dapat dijumpai di Semarang dan Surabaya sampai akhir tahun 1940-an. Pertunjukan ini berlangsung seperti biasa di halaman depan klenteng dan lakon yang diangkat dari cerita tradisional Tionghoa (Kong Yuanzhi 2005 : 320).
Masa jaya wayang potehi kemudian mulai memudar seiring dengan diterbitkannya Inpres nomor 14 tahun 1967 yang isinya mengatur larangan pada agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di Indonesia (Mastuti, 2009: 69). Itu berarti wayang potehi tidak lagi dapat dipentaskan dengan bebas kepada masyarakat. Banyak dalang yang kemudian menyimpan wayang potehi dan kehilangan mata pencarian selama puluhan tahun lamanya.
Padahal nilai-nilai Budaya yang dibawa serta oleh orang Tionghoa sejak berabad-abad lalu telah tumbuh bersama budaya lokal dan menjadi Budaya Indonesia. Dalam masa suram itu, Wayang Potehi seolah mengalami pengerdilan. Sangat sulit menemukan pementasannya saat itu. Apalagi jika bukan karena sulitnya mendapat perizinan. Padahal jika diamati para penggiat Wayang Potehi sebagian besar adalah penduduk asli Indonesia. Bayangkan, betapa besar apresiasi mereka terhadap budaya yang bisa dikatakan bukan Budaya asli Indonesia.
Namun setelah reformasi berjalan, angin segar seolah menyelamatkan kesenian ini. Wayang Potehi bisa dipentaskan kembali dan tentu saja tidak dengan sembunyi-sembunyi. Angin segar kembali bertiup bagi wayang potehi setelah Gus Dur mencabut Inpres tersebut dan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat Tionghoa sebagaimana masyarakat lainnya. Para dalang kembali menggeluti profesi lamanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan diatas, maka dapat diambil simpulan bahwasanya Wayang Potehi merupakan salah satu warisan budaya Tionghoa yang memiliki riwayat sejarah yang panjang dan mampu bertahan seiring berjalannya waktu dan berbagai macam keadaan sosial, politik. Keberadaannya, dirasa demikian lama dan tidaklah lekang oleh perkembangan jaman yang serba modern ini. Dari keberadaan Wayang Potehi yang dibawa oleh para imigran-imigran Tionghoa ke Jawa, hingga membuat satu akulturasi budaya dengan budaya setempat.Â
Wayang potehi demikian membumi di tanah Jawa, situasi politik di Indonesia yang pasang surut memang sempat membuat keberlangsungan hidup wayang Potehi seperti diujung tanduk, namun ternyata hal tersebut tidak lantas membuat Potehi menjadi punah. Kehidupan wayang Potehi, selain ditentukan oleh para dalang Potehi juga ditentukan oleh habitus masyarakatnya baik masyarakat Tionghoa maupun Jawa, karena dari peran kedua etnis tersebutlah maka pertunjukan kesenian Tionghoa ini masih tetap diminati oleh masyarakat umum.
B. Saran
       Kajian ini tentulah masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya sangat membutuhkan kontribusi kritik dan saran dari pembaca agar dijadikan sebagai intropeksi bagi kajian ini untuk menjadi lebih baik lagi. Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat untuk mendukung dan membantu agar kajian ini dapat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Salmon, Claudine (1985). Sastra Cina Peranakan Dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.
Antonius Suparno (Tanpa Tahun). Memaknai Kembali Tradisi Wayang Potehi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H