Mohon tunggu...
DKG Foundation
DKG Foundation Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis

Kumpulan Berita seputar museum museum dan barang barang seni

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Kajian Indonesian Heritage Museum : Sejarah Wayang Potehi

30 Juni 2023   15:52 Diperbarui: 30 Juni 2023   22:16 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wayang potehi juga memiliki akulturasi dengan budaya Jawa. Selain bahasa dan dialek yang mengadopsi budaya lokal, akulturasi terjadi pada penggunaan alat musik Jawa seperti bonang, saron, kendang, dan gong. Lagu-lagu Jawa juga sering digunakan sebagai selingan tapi dengan irama musik Tiongkok.

Salah satu faktor yang memperlancar proses akulturasi dan asimilasi budaya Cina-Jawa adalah persamaan nilai-nilai sosial budaya di antara dua atau lebih suku bangsa yang berbeda latar belakang budayanya. Dalam asimilasi ini, yang terpenting adalah peggabungan golongan-golongan yang berbeda latar belakang kebudayaaannya menjadi kebulatan sosiologis dan budaya. Hubungan etnis Cina-Jawa ini melahirkan seni berupa Wayang Potehi dan berkembang menjadi wayang thithi.

Kedua wayang ini termasuk jenis "wayang langka" seperti wayang Betawi, wayang Kancil. Jenis wayang tersebut, penggemarnya hanya terbatas tidak seperti wayang Purwo atau wayang golek. Pertunjukan wayang tersebut hanya digelar pada kegiatan-kegiatan khusus atau berdasarkan pesanan seperti pada tahun baru Imlek, untuk Syukuran, dan pesanan-pesanan khusus.

Tapi Wayang Potehi muncul lebih dahulu sebelum adanya wayang kulit Cina-Jawa (wayang thithi). Ceritanya berasal dari mitos-mitos, legenda seperti Sam Kok, San Pek Eng Tay, Li Si Bin. Bahasa yang dipergunakan pada Wayang Potehi adalah bahasa Melayu sedangkan Wayang Kulit Cina-Jawa( wayang thithi) menggunakan bahasa Jawa. Cerita-cerita lain yang sangat terkenal pada pada tahun 1960 an seperti: Sin Jin Kwie, Hong Kian Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, Poei Sie Giok, Loo Thong Sauw Pak yang mirip dengan lakon-lakon ketoprak.

Kisah yang ditampilkan antara lain: Thing Jing Nga Ha Ping She. Dalam bahasa Jawa diterjemahkan : Rabenipun raja Thig Jing ( Pernikahan Raja Tig Jing). Nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan. Kadipaten, kahyangan, dan lain-lain ditulis sesuai dengan nama aslinya dalam bahasa "Hokkian". Istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain disesuaikan dengan struktur jabatan yang dipergunakan di kerajaan yang berada di Jawa seperti narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumengung,pandita, radyan, dyah, abdi, prajurit.

Pada perkembangannya Potehi bukanlah sekedar simbol Tionghoa, melainkan merupakan sebuah nilai seni yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Tionghoa dan Jawa. Bahkan dalam permainan wayang Tionghoa ini, juga nampak para dalang Potehi yang berasal dari etnis Jawa. Terjadi juga pergeseran regenerasi dari dalang Tionghoa ke dalang Jawa. Wayang Potehi di Jawa ini memiliki karakteristik tersendiri. Pengaruh dari wayang kulit dan wayang golek dari Jawa cukup membawa nuansa tersendiri dalam setiap pementasannya.

guged.net
guged.net

Pagelaran wayang thithi hampir sama dengan wayang kulit purwo selain berfungsi sebagai hiburan juga mengandung misi politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Di samping itu terdapat pula fungsi ritual yaitu memuja para dewa dan leluhurnya. Pagelaran wayang thithi dapat diadakan dimana saja seperti: klenteng, rumah penduduk, khususnya yang mempunyai hajatan dalam pernikahan, ulang tahun, syukuran.

Seorang dalang wayang Cina-Jawa ini seperti dalang pada umumnya harus memilki kemampuan dalam mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan . Di samping itu dalang harus dapat menguasi gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai ceritera, dan bahasa Jawa dari segala tingkatan masyarakat seperti bahasa di lingkungan kraton, masyarakat biasa, dewa, pendeta, raksasa.

E. Redup dan Bangkitnya Kesenian Wayang Potehi

Wayang potehi diperkirakan masih eksis sampai tahun 1940-an. Menurut pendapat J.L. Moens dari Belanda, bahwa pertunjukan potehi dapat dijumpai di Semarang dan Surabaya sampai akhir tahun 1940-an. Pertunjukan ini berlangsung seperti biasa di halaman depan klenteng dan lakon yang diangkat dari cerita tradisional Tionghoa (Kong Yuanzhi 2005 : 320).

Masa jaya wayang potehi kemudian mulai memudar seiring dengan diterbitkannya Inpres nomor 14 tahun 1967 yang isinya mengatur larangan pada agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di Indonesia (Mastuti, 2009: 69). Itu berarti wayang potehi tidak lagi dapat dipentaskan dengan bebas kepada masyarakat. Banyak dalang yang kemudian menyimpan wayang potehi dan kehilangan mata pencarian selama puluhan tahun lamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun