Padahal nilai-nilai Budaya yang dibawa serta oleh orang Tionghoa sejak berabad-abad lalu telah tumbuh bersama budaya lokal dan menjadi Budaya Indonesia. Dalam masa suram itu, Wayang Potehi seolah mengalami pengerdilan. Sangat sulit menemukan pementasannya saat itu. Apalagi jika bukan karena sulitnya mendapat perizinan. Padahal jika diamati para penggiat Wayang Potehi sebagian besar adalah penduduk asli Indonesia. Bayangkan, betapa besar apresiasi mereka terhadap budaya yang bisa dikatakan bukan Budaya asli Indonesia.
Namun setelah reformasi berjalan, angin segar seolah menyelamatkan kesenian ini. Wayang Potehi bisa dipentaskan kembali dan tentu saja tidak dengan sembunyi-sembunyi. Angin segar kembali bertiup bagi wayang potehi setelah Gus Dur mencabut Inpres tersebut dan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat Tionghoa sebagaimana masyarakat lainnya. Para dalang kembali menggeluti profesi lamanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan diatas, maka dapat diambil simpulan bahwasanya Wayang Potehi merupakan salah satu warisan budaya Tionghoa yang memiliki riwayat sejarah yang panjang dan mampu bertahan seiring berjalannya waktu dan berbagai macam keadaan sosial, politik. Keberadaannya, dirasa demikian lama dan tidaklah lekang oleh perkembangan jaman yang serba modern ini. Dari keberadaan Wayang Potehi yang dibawa oleh para imigran-imigran Tionghoa ke Jawa, hingga membuat satu akulturasi budaya dengan budaya setempat.Â
Wayang potehi demikian membumi di tanah Jawa, situasi politik di Indonesia yang pasang surut memang sempat membuat keberlangsungan hidup wayang Potehi seperti diujung tanduk, namun ternyata hal tersebut tidak lantas membuat Potehi menjadi punah. Kehidupan wayang Potehi, selain ditentukan oleh para dalang Potehi juga ditentukan oleh habitus masyarakatnya baik masyarakat Tionghoa maupun Jawa, karena dari peran kedua etnis tersebutlah maka pertunjukan kesenian Tionghoa ini masih tetap diminati oleh masyarakat umum.
B. Saran
       Kajian ini tentulah masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya sangat membutuhkan kontribusi kritik dan saran dari pembaca agar dijadikan sebagai intropeksi bagi kajian ini untuk menjadi lebih baik lagi. Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat untuk mendukung dan membantu agar kajian ini dapat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Salmon, Claudine (1985). Sastra Cina Peranakan Dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.
Antonius Suparno (Tanpa Tahun). Memaknai Kembali Tradisi Wayang Potehi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H