Mohon tunggu...
Djumiatun SR
Djumiatun SR Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Hobi membaca, menambah ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gua Siluman

16 Agustus 2024   14:48 Diperbarui: 16 Agustus 2024   14:59 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teriknya matahari tak lagi kurasa. Terus saja aku melangkah. Ada sesuatu yang menarikku. Sebuah ceruk cukup dalam di dinding tebing tertutup sulur-sulur tanaman liar. Di antara debur ombak, lamat-lamat kudengar teriakan teman-teman, "Diiit! Didiiit! Jangan masuk!"

Ada rasa was-was di hati kecil tapi kedua mataku begitu terpesona seperti menemukan tempat yang sudah lama kucari. Kedua kaki seperti enggan berhenti melangkah. Baru langkah ketiga aku masuk ke dalam, hawa dingin menyergap. Pemandangan di dalam gua langsung berubah. Sinar mentari tertutup gumpalan awan, udara berkabut tipis. 

Aku berdiri di antara dua beringin kurung. Di balik sebuah gapura, berdiri megah sebuah bangunan joglo seperti sebuah kerajaan dalam pertunjukan ketoprak. Gapura dijaga dua orang yang memegang tombak dan tameng. Keduanya berpakaian seperti pemain ketoprak.

Seorang lelaki setengah baya keluar gapura, berlari-lari ke arahku. Aku benar-benar terkejut dan bingung. Keadaan sangat lengang, semilir angin dingin membuat suasana terasa mencekam.

"Njeng Pangeran, kemana saja?" sapanya ramah membuat keningku berkerut.

Tangannya yang dingin menggapai lalu memegang tanganku dengan erat. Tubuhku langsung meremang, otak pun membeku. Seperti robot aku mengayun langkah mengikutinya. Kami sampai di teras sebuah bangunan. Di depan pintu besar dan tinggi, duduk seorang lelaki seumuran denganku. Dengan serta merta dia menyembah takzim. Kami masuk.

"Njeng Pangeran, kepergian yang lama menyebabkan Pangeran lupa segala. Saya Ki Tenoyo, pengasuh Kanjeng Pangeran. Untunglah Pangeran pulang dengan selamat. Sekarang, mandilah lalu istirahat," perintahnya penuh tekanan sambil mengulurkan baju mandi. 

"Nanti malam ada perjamuan makan malam, untuk membicarakan pernikahan Kanjeng Pangeran," lanjutnya mengagetkan.

"Apa!" aku terkejut. Tapi tatapan mata orang bernama Ki Tenoyo itu berkilat merah, bibir menyeringai, dan ... samar-samar terbayang wajah ular hitam menakutkan di wajahnya. Meskipun hanya sekilas, membuat jantungku berdegup kencang susul menyusul. Keringat dingin mengembun. 

Aku pun segera melepas tas punggung, lalu masuk kamar mandi. Sebuah kamar mandi luas dengan peralatan mandi dari emas. Sepert dalami cerita dongeng anak-anak.

Selesai mandi, aku termangu di depan pintu kamar mandi. Hatiku takut sekali. Bayangan wajah ular hitam yang menakutkan menari-nari di pelupuk mataku. Hampir saja aku melorot jatuh.

"Njeng Pangeran," panggil orang itu sambil mengetuk pintu, mengejutkanku. Dengan gemetar kuputar handle pintu terbuat dari emas, lalu keluar.

"Istirahatlah, Pangeran. Tidak usah berpikir macam-macam!" katanya lembut dan sopan. Wajahnya tersenyum, tatapan matanya teduh menenangkan. Ketakutanku pun mereda. 

"Maaf, Pangeran. Makan siang terpaksa sendirian, karena waktu makan siang sudah lewat," katanya menyilakan dengan membungkuk sedikit sambil menunjuk dengan jempol ke arah meja makan kecil di sudut kamar.

"Hamba ijin pamit, Pangeran, sugeng dahar siang," pamitnya sambil membungkuk. Aku mengangguk gamang.

Aku duduk di tepi tempat tidur megah dan mewah seperti di negeri dongeng. Kuucek-ucek mataku, keadaan tetap tidak berubah. Kutepuk-tepuk pipi, lalu kucubit, "auuw, sakit," jeritku lirih sambil mengelus kedua pipi. "Berarti aku tidak sedang bermimpi. Tapi ini di mana? Ke mana gua itu menghilang?" gumamku lirih. Banyak pertanyaan berjubel di benakku.

Melihat hidangan yang lezat terhidang dalam wadah kristal dan sendok perak, perutku langsung lapar berat. Aku makan dengan lahap. Kemudian, pindah ke tempat tidur empuk. Kasur dan bantal guling yang empuk, menenggelamkan diriku dalam tidur nyenyak.

"Didit ... kau ada di mana, Nak? Pulanglah!" Kudengar jeritan Bunda sambil menangis. "Dit ... kau di mana?" ... "Didit ... pulanglah!" jerit teman-teman memanggil dengan khawatir. Jeritan-jeritan diiringi lantunan bacaan ayat-ayat suci Alquran menggaung berputar-putar di telingaku. Geragapan aku terbangun.

"Astaghfirullahaladzim. Ya Allah ampuni aku. Aku telah melupakanmu."

Aku langsung bangkit. Bersyukur bajuku masih ada di kamar mandi. Hatiku tercekat ketika mendapati tas sekolahku tidak ada di mana-mana. Aku langsung ke luar. Kulihat tas berada di tangan petugas jaga pintu, sedang diberikan kepada petugas lain.

"Hai! Itu tasku!" teriakku sambil merebut tas dari tangannya. Aku langsung berlari menuju pintu keluar tempat aku masuk tadi. Langit tertutup lembayung senja. Lampu-lampu sudah dinyalakan. 

Kedua pengawal itu mengejar sambil berteriak, "Pangeran melarikan diri! ... Pangeran melarikan diri! ...." Tidak lama terdengar bunyi kentongan dengan nada titir. Aku terus berlari sambil melafalkan zikir dan surat-surat pendek yang kuhafal. Ayat kursi menjadi andalanku. 

Para pengawal mengepungku, aku tak peduli. Kulihat mereka agak ketakutan. Aku semakin yakin dengan bacaan ayat-ayat Alquran yang kulafazkan. Aku sampai di tengah beringin kurung. Di depanku dengan wajah marah menakutkan Ki Tenoyo menghadang.

Ki Tenoyo yang sebelumnya begitu hormat, tiba-tiba beringas dan wajahnya berubah mengerikan. Wajah tua yang teduh, mata penuh welas asih kini menyorot merah tajam, mulutnya menyeringai. Perlahan-lahan wajahnya menghitam bersisik mengilap, lidah menjulur bercabang dua. 

Ki Tenoyo berubah menjadi ular hitam besar bertanduk perak. Desis kerasnya memanggil ular-ular lain mengelilingiku. Mereka berusaha untuk mematukku. Kuputar-putar tas ranselku mengusir mereka. Begitu menakutkan! Ekor ki Tenoyo menyabet punggungku. Aku tersungkur.

"Aaaa," jeritku. Kumpulan ular di depanku menyibak menghindar. Tubuhku terempas di jalanan keras berbatu. Aku meringkuk kesakitan dan ketakutan. Kembali aku melafazkan zikir yang sempat terjeda sebentar.

Tepat ketika aku mengangkat kepala, ki Tenoyo meluncur ke arahku. Mulutnya menganga siap menerkam. Seketika kupejam mata dan kututup wajah dengan kedua tanganku. 

"Ya Allah lindungi aku!" jeritku lirih. Aku menangis terisak. Aku laki-laki yang menangis layaknya bocah tantrum kehilangan permen yang direbut anak nakal. 

Ular Tenoyo membelit erat tubuhku. Bibir ini bergetar menyebut-nyebut nama tuhan dengan pasrah. Aku benar-benar pasrah kepada tuhan penggenggam nyawa. Napasku mulai tersengal.

Tetiba terdengar ledakan keras. Belitan di tubuhku mengendur lalu lepas. Disusul ledakan-ledakan lebih kecil beruntun. Aku menggulung tubuh meringkuk gemetar sambil membenamkan kepala di kedua lutut. Kedua telinga kututup dengan telapak tanganku.

Hening, sunyi, tanpa suara. Angin pun seolah enggan berlalu. Sebuah elusan lembut terasa di kepalaku. Aku mengintip. Seraut wajah ayu begitu dekat di wajahku. Aroma harum lamat-lamat terhidu olehku. Kubuka kedua mataku. Senyuman lembut menenangkan, memberiku kekuatan.

"Bangunlah! Semua sudah berlalu," katanya halus, lembut dan merdu di telinga.

Perlahan aku bangun. Baru saja aku mau bertanya, jari telunjuk nan lentik menutup bibirnya mengisyaratkan untuk diam.

Kutatap wajah ayu dengan rambut hitam bergelombang panjang melewati pinggang. Kepalanya memakai tiara bertatahkan batu mulia yang berkerelip memantulkan cahaya bulan purnama. Kulitnya halus putih seperti pualam. Memakai penutup dada berwarna merah hati bersulam benang emas. Ikat pinggangnya berwarna merah cerah dengan timang tretes berlian. Selendang sutra tipis warna merah cerah terselip di pinggangnya.

Mataku terus memindai. Sampai di bawah pinggul, jantung terasa berhenti, mataku melotot ngeri, mulut menganga lebar. Peluh sebesar jagung membasahi kening. Akhirnya aku roboh tak sadarkan diri.

_____________________

Jakarta, 16 Agustus 2024

Bionarasi:

Ruby Ng adalah nama pena Atun Nugroho. Beberapa tulisannya masuk buku Antologi Cerpen dan Puisi diterbitkan di beberapa publishing. Buku novel trilogi pertamanya terbit dengan judul Vila di Atas Bukit, Andre, dan Reunion. Penulis juga berkontribusi di platform KBM APP, GWP.ID, Kompasiana.

Penulis dapat dihubungi di: 

IG @ruby.ng52, FB Djumiatun Sr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun